JURAGAN ARJUNA

BAB 125



BAB 125

0Setelah aku masuk ke rumah, dan menuju ruang sarapan. Aku agaknya tersenyum, sebab Rianti sudah duduk di sana. Meskipun masih dengan wajah seramnya itu, mata sembab, dan lain sebagainya. Tapi seendhaknya, dia sudah mau untuk sarapan bersama, keluar kamar, dan mau bertemu dengan orang rumah.     
0

Dan lihatlah, betapa bahagia raut wajah Biung. Bahkan sedari tadi Biung tampak mengelus lembut tangan Rianti. Seolah dia sangat bersyukur jika putrinya sudah mau keluar dari kamar.     

Di sisi lain, ada Romo Nathan Nathan tampak sibuk bercakap dengan Bima. Dan Manis, tampak telaten mengurui Ningrum.     

Gusti, betapa bahagia aku menyaksikan pemandangan yang sangat hangat ini. seolah-olah, tanpa aku pun sepertinya mereka akan hidup bahagia selamanya. Melihat mereka bisa rukun, benar-benar seperti potret keluarga yang utuh.     

Tanpa sadar, Romo Nathan sudah menangkap kedatanganku. Dia pun melambaikan tangannya ke arahku. Seolah memberi isyarat untukku mendekat, ikut berkumpul dalam cengkrama yang hangat itu. Dan menikmati pagi hari kami yang kembali menjadi indah lagi.     

"Kamu itu, melamun saja. Kesurupan, toh? Atau membayangkan apa?" tanya Romo Nathan, tatkala aku sudah duduk di samping Manis.     

Aku tersenyum sebentar ke arah Manis, dan Ningrum. Kemudian, abdi dalem menata piringku. Hendak menyajikan makanan untukku, tapi aku tolak. Sebab aku bisa sendiri, sudah kebiasaan. Toh, seleraku itu ndhak ada yang tahu.     

"Seneng, melihat kita bisa kumpul seperti ini, Romo. Lengkap. Benar-benar seperti potret keluarga yang bahagia saja," kubilang.     

Romo tertekekeh mendengar penuturanku. Sepertinya, penuturanku itu adalah hal yang sangat lucu. "Kalau ini potret sebuah keluarga, berarti Bima adalah anggota keluarga kita, toh? Jangan-jangan, kamu berharap kalau Bima akan menjadi adik iparmu," guraunya.     

Kulirik Bima, dan Rianti. Keduanya tampak mencibir, raut wajah mereka langsung menjadi masam. Lihatlah mereka ini, kalau ndhak suka, mbok ya biasa saja. Ndhak perlu ditunjukkan dengan sangat nyata seperti itu, toh.     

"Ndhak usah bergurau seperti itu, ah, Romo, ndhak sopan. Lagi pula, Rianti baru saja mau keluar kamar. Sementara Bima, pasti telah memiliki tambatan hatinya di kota. Hormati urusan pribadi mereka," kataku memperingati.     

Kini, Romo Nathan tampak mengangguk-anggukan kepalanya, pertanda jika dia setuju atas ucapanku. Setelah itu dia memandang Rianti, yang saat ini sudah makan dalam diam. Rianti benar-benar diam, ndhak mengatakan apa pun saat ini.     

"Romo senang kamu sudah mau keluar kamar. Seendhaknya, biungmu ini lho, ndhak sedih lagi."     

Tapi, ucapan Romo sama sekali ndhak dihiraukan oleh Rianti. Membuat Manis menyenggol lenganku. Tapi, itu ndhak jadi masalah. Biarkan saja perempuan itu bisu, toh ndhak ada pengaruhnya. Yang penting dia keluar kamar dulu, urusan bersuara apa endhak, nanti juga akan terlihat seiring berjalannya waktu.     

"Oh, ya, Nak Bima... kamu ini keturunan asli Sumatera, atau ada darah lain, toh?" tanya Biung mengalihkan pembicaraan.     

Bima yang saat itu sudah selesai makan, dan hendak mengusap salak pun memandang Biung lekat-lekat.     

"Tidak tahu pasti, Tan. Hanya saja kata Ayah, semasa penjajahan dulu banyak kompeni-kompeni yang melepaskan hasrat seksualnya kepada penduduk pribumi. Dan meski Kakek, dan Nenek asli Sumatera, aku baik Ayah, dan Aku seperti ini. Seperti Bule, katanya," jawabnya, seraya tersenyum renyah. Seolah, hendak bergurau. Tapi entah kenapa, di telingaku itu, ndhak lucu sama sekali.     

"Pantas saja, wajahmu itu, lho. Khas... khas sekali, umpama penduduk pribumi, tidak ada itu yang bisa menyamai," kata Biung lagi. Ucapannya memang benar Bahasa Indonesia semua. Tapi logat medoknya, benar-benar sangat kentara. Bahkan, aku nyaris tertawa mendengar ucapan Biung yang seperti itu.     

"Tante bisa saja. Biasa aku mah," jawab Bima. Sembari meminum teh yang ada di depannya, kemudian dia tiba-tiba menyemburkan teh yang baru saja masuk ke dalam mulutnya.     

Sontak, hal itu membuat Romo Nathan, dan Biung panik. Sementara abdi yang ada di belakang langsung ambil sikap, membawa kain berserih untuk membersihkan meja Bima.     

"Lho, kenapa? Panas kamu minum?" tanya Romo Nathan agaknya bingung. Tapi, Bima menggeleng. Sembari menjulurkan lidahnya keluar, dan mengusap-usap lidahnya.     

"Tidak, Paham. Tapi ini... tapi, asin!"     

"Minum itu teh dengan darah haid," celetuk Rianti. Ucapan pertama yang ia keluarkan pagi ini, tapi kata yang benar-benar membuatku menghentikan kegiatan minumku.     

Lihatlah, mata Bima langsung melotot. Wajahnya tiba-tiba langsung merah padam karena penuturan dari Rianti.     

"Endhak kok, Mas Bima. Ini bukan teh dari darah haid, saya sendiri yang membuatnya," Bulik Sari buru-buru menerangkan. Sebab dia ndhak mau disalahkan oleh Romo, dan juga Biung.     

��Cewek sialan kamu," celetuk Bima yang berhasil membuatku kaget. Dia berani mengumpati Rianti tepat di hadapan Romo, dan Biung tanpa sungkan.     

"Kamu tahu aturannya, saat di meja makan dilarang keras untuk berbincang...," sungut Rianti ndhak mau kalah. "Oh ya, aku baru tahu. Kamu ini siapa? Kamu bukan keturunan darah biru, rakyat biasa yang berlagak seperti raja," sindir Rianti lagi.     

Aku baru tahu, lho, kalau adik perempuanku, bisa berkata sekasar ini. Terlebih kepada seorang pemuda. Aku benar-benar baru tahu ini. Pantas saja waktu di Berjo kemarin, Bima mengatakan hal itu kepadaku. Rupanya, ini adalah benar adanya. Dan aku menjadi paham, bagaimana para pemuda menjadi membencinya karena sikapnya yang ndhak sopan serta kurang ajar seperti ini. Duh Gusti, adikku—Rianti.     

"Meski aku bukan keturunan darah biru, meski aku bukan dari kalangan bangsawan. Tapi, uangku cukup untuk menyumpal mulut kotormu itu, sialan!" dengus Bima.     

Aku hendak melerai, tapi Romo Nathan melarangku. Betapa lebih kaget aku, melihat Romo Nathan, dan Biung malah senyum-senyum sendiri. Duh Gusti, kesambet (kerasukan) apa, toh, mereka ini? Kok ya mereka masih sempat-sempatnya senyum di saat ada dua orang yang lempar ucapan kasar tepat di depan mereka. Sungguh, ini bukanlah perkara yang sopan. Terlebih, ini ada di meja makan.     

Rianti tampak berdiri, kemudian dia melihat Bima dengan tatapan garangnya. Aku pikir, dia telah tersinggung dengan ucapan Bima tadi.     

"Jaga mulut rendahanmu itu! Mulutmu bahkan tidak pantas berbicara sepatah kata pun kepadaku. Aku adalah seorang Ndoro, tidak pantas berdebat dengan pemuda tidak jelas sepertimu," Rianti hendak beranjak dari tempatnya, tapi Bima tampak berdecak. Membuat langkah Rianti kembali terhenti.     

Sementara Bima masih dengan senyuman mengejeknya, pandangannya lurus tertuju kepada Rianti. Berjalan mengitari meja makan, kemudian berdiri tepat di depan Rianti. Memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana, lalu pandangannya kini tampak menilai Rianti, dari bawah sampai atas berkali-kali.     

"Cewek kotor sepertimu ini seorang Ndoro?" ujarnya, dan senyuman mengejek itu ndhak lepas dari sudut bibir kirinya. Kemudian dia tampak terkekeh. "Bahkan harga tubuhmu tidak sebanding dengan harga mobil paling jelekku di rumah,"     

"Kamu...." Rianti hendak menampar Bima, tapi pemuda itu sudah pergi dari sana. Lihatlah betapa kesal Rianti, sepertinya baru kali ini Rianti mendapatkan lawan yang imbang.     

"Melihat mereka, seperti nostalgia," gumam Romo Nathan. Yang masih cekikikan bersama Biung, yang benar-benar membuatku bingung.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.