JURAGAN ARJUNA

BAB 131 (A)



BAB 131 (A)

0"Bagaimana, apakah bibit tembakaunya tumbuh dengan baik?" tanyaku kepada Bima.     
0

Ini baru seminggu Bima mencoba perkara penelitianya, untuk membuat tembakau yang tahan akan hama. Dan menghasilkan tembakau-tembakau berkualitas unggulan, untuk setelah itu, dia akan memberikan bibit-bibit tumbuhan lain, yang akan digunakan untuk menumbuhkan perekonomian penduduk kampung.     

"Baru terlihat tunas-tunasnya, Bang. Sepertinya kita belum bisa menyimpulkan ini akan sesuai dengan harapan kita. Biasanya, kita butuh beberapa kali percobaan untuk melihat hasilnya," jawab Bima.     

Aku hanya manggut-manggut saja, sembari tetap menanam beberapa sayur-mayur serta tembakau sembari menunggu hasil dari penelitian Bima akan berhasil. Seendhaknya bulan depan, atau tahun depan, atau... ah entahlah, aku hanya berharap jika Bima akan segera menemukan caranya.     

Kupijat pangkal hidungku yang tiba-tiba terasa sakit. Kemudian, aku duduk sembari membungkuk.     

"Sepertinya, kamu sedang ada masalah besar, Bang," kata Bima. Duduk di sampingku seraya menyodorkan seputung rokok. Kuambil rokok yang ditawarkan Bima, menaruhnya pada bibirku. Kemudian, kubakar dengan korek api dari Bima.     

Kuhelakan napasku yang rasanya benar-benar berat. Kemudian kulihat wajah Bima yang telah memandangku lekat-lekat.     

"Sepertinya, selama aku belum sepenuhnya rukun dengan Rianti, dan selama aku belum menemukan pemuda berengsek yang telah merenggut kesucian Rianti. Maka selama itu pula sepertinya ada beban berat di sini," kataku, sambil menunjuk dadaku.     

Raut wajah Bima yang awalnya santai pun berubah menjadi kaku, sembari tersenyum getir dia pun menepuk bahuku berkali-kali.     

"Kalau pemuda itu mengaku, apakah Abang akan membunuhnya?" tanyanya hati-hati.     

"Aku akan membuatnya membayar bayaran setimpal atas apa yang telah ia perlakukan," kujawab dengan mantab.     

Kami kemudian saling diam, seolah sibuk dengan pikiran kami masing-masing. Rasanya sungguh aneh, tampak canggung seperti ini. Terlebih, rasa canggung ini tercipta karena pembahasan Rianti lagi.     

"Apa kamu tahu tentang peristiwa itu?" tanyaku tiba-tiba. Bima langsung memandangku, kemudian dia melebarkan matanya.     

"Oh, tidak, Bang," jawabnya cepat-cepat.     

"Bagaimana tidak, bukannya kamu ada di sana. Pasti kamu melihat barangkali ada tingkah yang mencurigakan dari adikku—Rianti?" tanyaku sembari mendesaknya. Barangkali ada sesuatu yang disembunyikan oleh Bima, yang aku ndhak tahu. Dan sesuatu itu harus kuperoleh jawabannya saat ini juga. Kalau jika endhak, aku bisa saja mencurigai Bima kalau dialah pelaku yang sebenarnya.     

"Aku dan Rianti kan tidak akur, Bang. Lagi pula, kurang kerjaan jika aku harus memperhatikannya. Lebih mending aku sibuk dengan yang lain," jawab Bima. Dengan tatapan sebal, kemudian dia berdiri dari duduknya. "Sudahlah, Bang. Sudah siang, aku ada teman untuk mengajakku jalan-jalan ke kota sekadar membeli beberapa kebutuhanku. Aku kembali dulu, Bang,"     

Aku ndhak menjawabi ucapan Bima, aku hanya memandangnya hilang setelah dia menaiki motor. Kuembuskan lagi napasku memandang ke arah Bima. Sudah hampir dua minggu dia ada di sini. Tapi selama itu pula aku sama sekali ndhak melihat gelagat aneh darinya. Sebagai seorang pemuda dari Jakarta, rupanya dia tipikal pemuda yang penurut. Sebab selama dua minggu ini, baru kali ini aku tahu dia hendak ke kota. Untuk selebihnya, dia lebih memilih menghabiskan harinya berada di rumah. Sepertinya, Bima tipikal pemuda rumahan, dan penurut.     

Ah, entahlah. Kenapa aku sering memerhatikan Bima akhir-akhir ini. Seharusnya aku ndhak perlu memikirkannya. Tapi setiap melihat dia dan Rianti bertengkar setiap hari di rumah, itu semakin membuatku penasaran. Bukan perara betapa benci keduanya. Tapi malah-malah perkara seberapa dekat hubungan keduanya.     

"Jun, kenapa kamu duduk sendiri di sini?" tanya Paklik Junet, yang ikut duduk di sampingku. Kemudian dia memakan pisang yang sedari tadi dia bawa tatkala dia berada di sini. "Semuanya semakin aneh, toh? Perihal Rianti, dan anak dari Jakarta itu, dan perihal semuanya."     

"Aneh bagaimana, toh, Paklik?" tanyaku yang kebingungan.     

Paklik Junet menghela napasnya, kemudian dia menyenderkan tubuhnya di tumpukan kayu jadi yang bagian bawahnya sedang aku duduki.     

"Rianti semakin hari tampak semakin galak, ndhak mau kuliah lagi, toh, kata biungmu. Dan pekerjaannya hanya bertengkar terus dengan pemuda dari Jakarta itu. Apa kamu ndhak merasa takut, jika suatu saat bisa saja Rianti akan semakin tertekan karena sebenarnya dia ndhak suka dengan keberadaan pemuda itu, tapi terpaksa untuk menerimanya di rumah karena dia ndhak ada pilihan lain. Sebab menurutku, Jun, yang dibutuhkan Rianti saat ini adalah ketenangan batin. Agar dia bisa benar-benar berdiri, dan kembali menata hidupnya lagi,"     

Mendengar hal itu, aku juga ndhak bisa menyalahkan Paklik Junet. Sebab apa yang telah ia katakan adalah masuk akal adanya. Namun begitu aku pun ndhak tahu harus apa, harus berbuat apa. Terlebih, harus kutaruh di mana Bima kalau Rianti keberatan jika Bima ada di kediamanku? Padahal aku pikir, semuanya akan baik-baik saja. Toh, mereka juga ndhak akan bertemu dengan waktu yang sering. Sebab bagaimapun, kediamanku besar. Jadi, kalau ndhak janjian bertemu di satu tempat, lumayan susah untuk bisa selalu bertemu.     

"Lantas, menurutmu apa yang harus kulakukan untuk menyelesaikan masalah ini, Paklik?" tanyaku pada akhirnya.     

Paklik Junet sekarang tampak mengerutkan keningnya, kemudian dia melempar kulit pisang yang sedari tadi ia mainkan dengan kasar. Lalu, dia menggambar sebuah petak rumah, dan sebuah lagi petak rumah yang lainnya.     

"Untuk sekarang, pilihannya hanya ada dua,"     

"Apa?"     

"Antara Rianti, atau Bima yang pergi dari kediamanmu,��� katanya. Kukerutkan keningku semakin ndhak mengerti.     

"Maksudnya, Paklik?"     

"Kamu harus mencari cara, Juna, untuk membuat romo, dan biungmu menyetujui perkara ini. Antara Rianti yang pindah ke rumah Emak, atau Bima yang pindah di sana. Kurasa, rumah Emak setelah direnovasi oleh biungmu, akan menjadi sangat nyaman untuk disinggahi. Toh, di kamarmu itu yang ada di sana. Lebih dari layak seperti halnya kamar-kamar yang ada di kediamanmu sendiri, toh?"     

Aku terdiam sejenak. Benar, memang. Jika aku memiki kamar khusus di rumah Simbah Romelah. Yang akan selalu kugunakan tatkala hatiku gundah jika berada di rumah. Lantas, apa yang harus kulakukan sekarang? Jika Rianti, apakah dia bisa lepas dari pantauanku, dan orangtuaku? Terlebih, setelah aku melihat Zainal berada di jendelanya tengah malam waktu itu. Aku takut, jika karena dia merasa bebas, Rianti akan mencari celah untuk bertemu dengan Zainal. Yang bahkan, sampai detik ini pun aku sendiri ndhak paham, apa hubungan antara Rianti dan Zainal itu sebenarnya. Dan jika Bima yang kusuruh pindah ke sana, apakah Romo Nathan akan setuju? Kok seperti kurang elok sekali, jika aku menyuruhnya pindah ke sana. Seperti mengusirnya dengan cara halus.     

Gusti, rupanya benar juga perkara seperti ini. Apa yang harus kulakukan sekarang? Aku benar-benar bingung luar biasa.     

"Atau, kamu minta izin saja kepada romomu. Perkara Bima, nanti kita bujuk kita berdua. Toh, dia ndhak suka dengan Rianti. Mungkin dia akan mengerti kemudian berpikir, jika jauh dari Rianti adalah perkara yang bagus. Dan merasa kalau hidupnya akan tenang saat dia di sini, toh?" kata Paklik Junet. Tumben dia punya pikiran seperti itu. Kurasa, dia sekarang mendadak menjadi makhluk sakti.     

Aku mengangguk saja, terserah dialah akan mengaturnya seperti apa. Semoga saja, langkah yang kuambil ini benar-benar akan membuat Rianti sedikitnya lega, sedikitnya ndhak uring-uringan lagi.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.