JURAGAN ARJUNA

BAB 132



BAB 132

0Pagi ini, agaknya aku tengah menculik Rianti. Memaksanya keluar dan menuju ke salah satu hutan yang ada di Berjo. Aku ndhak sendiri, selain ada Rianti, di sini juga ada Wangi.     
0

Kami duduk berdua, di sebuah gubug tua yang ndhak jauh dari danau, di depan gubug itu ada sebuah pohon cukup besar. Membuat suasana semakin tampak rindang. Ya, kalau siang. Entah bagaimana kalau sore, sampai malam. Terlebih, banyak benar tumbuhan rimbun di sana-sini, membuat suasana semakin menyeramkan. Seram dalam artian ndhak perkara lelembutnya saja, akan tetapi hewan liar yang mungkin akan berada di sini kapan saja.     

Rianti masih diam, mimik wajahnya tampak begitu galak. Tadi, dia sudah sumpah serapah, dan menolakku mentah-mentah. Beruntung ada Paklik Sobirin, setengah kubopong, Rianti kumasukkan ke dalam mobil. Jadi, dengan ndhak maunya dia yang tinggi itu, dia tetap ikut juga.     

"Kamu tahu, dulu di tempat ini adalah salah satu tempat bersejarah untuk orangtua kita. Antara Biung, romomu, juga romoku...," kataku membuka suara. Rianti masih ndhak menggubris sama sekali ucapanku, dia tampak menyibukkan diri dengan kuku-kukunya, memeriksa barangkali ada yang kotor, atau panjang. Tapi, aku harus menahan diri. Menamparnya sekali ndhak bisa, maka aku harus menamparnya lagi di bagian yang benar-benar membuatnya membuka matanya lebar-lebar. "Dulu di gubug ini Biung diasingkan, setelah dia ketahuan menjadi simpanan dari romoku. Di gubug ini dia beserta Bulik Sari, dan Bulik Amah tinggal. Jauh dari keramaian, jauh dari kata aman, dan sangat... menakutkan."     

Seketika, aku dan Rianti langsung menebarkan pandangan kami. Pada gubug yang dipan depannya telah kami duduki. Gubug ini sudah sangat lapuk, genting-genting yang terbuat dari bahan seadaannya, kayu-kayu penopang rumah yang terbuat dari kayu-kayuan yang mudah lapuk, diikat dengan sedimian rupa dengan tali rotan. Untuk bagian lantainya diberi anyaman bambu, meski ada beberapa yang terlihat dari tanah. Mungkin, tempat ini akan lumayan hangat. Tapi jelas, tempat ini bukanlah tempat yang tepat bagi seorang perempuan untuk tinggal. Dan bagaimana rasa sakit itu semakin menyeruak hatiku, tatkala tahu jika dulu Biung diasingkan dengan cara yang sangat menyakitkan. Hanya karena sebuah kata... cinta.     

"Romoku adalah anak pertama dari Eyang Kakung kita, di mana anak pertama laki-laki bagi seorang Juragan Besar harus mengemban amanat yang sangat besar. Pertama, dia harus menjadi penerus kerajaannya, beserta tetek bengek peraturan ketat yang melekat pada dirinya. Dua, ndhak hanya urusan kehidupan, bahkan pasangan hidup pun harus dipilihkan tanpa protes, ndhak peduli jika itu adalah perkara yang paling ndhak suka sekalipun. Termasuk, pantangan bagi seorang berdarah biru jatuh hati dan menikah dengan perempuan kampung yang ndhak sederajat dengannya. Itu sebabnya, dulu masih banyak benar simpanan-simpanan atau cinta terlarang yang terjadi antara seorang Juragan dengan perempuan kampung. Sebab itu semua, ndhak melulu karena nafsu, kamu tahu, kadang karena cinta mereka ndhak bisa bersatu," aku menghela napas panjang setelah mengatakan perkataan panjang bak rel kereta api itu. Tapi, Rianti masih diam membisu. "Dulu, romoku sangat ingin meminang Biung. Tapi, Eyang Kakung ndhak merestuinya. Malah-malah, beliau meninginkan Biung untuk jadi salah satu dari simpananya. Bagaimana menurutmu dengan perkara ini? Dan di sisi lain, romoku ndhak bisa membantah. Karena apa? Karena ada satu nyawa yang harus dia lindungi, yaitu nyawa Eyang Putri kita. Apa kamu tahu akan hal itu?"     

Rianti menunduk, kemudian dia menggeleng lemah. Syukurlah jika kini dia mau menjawab ucapanku meski itu hanya sekadar isyarat tubuh semata. Aku sudah syukur.     

"Waktu itu, Eyang Putri dipasung di gudang kediaman Eyang Kakung. Dan untuk membuat Eyang Putri ndhak diapa-apakan oleh Eyang Kakung romoku rela menjadi budaknya. Romoku rela melakukan apa saja. Dia menjadi anak penurut yang pernah ada. Bahkan tatkala dia berontak karena ingin memperjuangkan cintanya, apa yang ia dapatkan? Fitnah demi fitnah yang dilakukan istri-istri hasil perjodohan itu terus berdatangan. Sampai Biung berakhir di tempat perasingan ini," aku kembali menebarkan pandanganku, sambil begidik ngeri dengan tempat ini. "Sekarang saja tempat ini tampak sangat mengerikan, toh? Lembab, rimbun, dan sangat mengerikan. Apalagi dulu, di tahun 60an, pasti jauh lebih mengerikan dari ini, toh. Biung, dibuang di sini, Dik. Hanya karena ingin memperjuangkan cintanya, dan difitnah oleh orang-orang yang membencinya. Apakah menurutmu itu hal yang pantas?"     

Lagi, Rianti terdiam. Agaknya dia tertegun dengan perkataanku. Entah apa yang membuatnya seperti itu. Seolah, dia bisa memposisikan dirinya sebagai Biung saat itu.     

"Dan setelah semua kesedihan yang dialami Biung adalah, tatkala ia di posisi yang sudah merasa serendah-rendahnya, di posisi yang sudah merasa sehancur-hancurnya. Masih ada orang-orang jahat menyuruh gerombolan pemuda ndhak tahu diri untuk memperkosa Biung. Apakah menurutmu itu adil, Dik? Bayangkan... Biung, diperkosa oleh beberapa pemuda. Ndhak hanya satu. Bayangkan bagaimana hancurnya jadi Biung saat itu? Dan aku yakin kamu bisa merasakannya. Ndhak bisa bersatu dengan orang yang dia cinta, diusir dari kampung, disiksa semua orang, dan diperkosa. Hal itu benar-benar adalah hal paling suram bagi Biung."     

Tiba-tiba Rianti langsung menangis sejadi-jadinya. Membuat Wangi yang sedari tadi memilih untuk melihat-lihat di sekitar pun mendekat. Mungkin dia pikir, aku telah memukul Rianti atau apa. Tatkala kusuruh Wangi untuk jangan mendekat, dia pun menurut. Tapi tampak dari belakang gubug, ada Manis, yang mungkin dia menyusul karena tahu, kalau aku dan Rianti sedang ndhak ada di rumah saat ini.     

"Maafkan aku, Biung, maafkan aku!" isak Rianti di tengah tangisannya. Dia menunduk dalam-dalam, membuatku merengkuh tubuhnya. Kemudian, dia membalas dekapanku dengan sangat erat. "Maafkan aku, Kangmas, maafkan aku," katanya lagi.     

Dia benar-benar terpukul, dan aku sama sekali ndhak menyangka. Jika ucapanku akan membuatnya sampai seperti ini. Jika dengan membawanya di sini, akan berdampak sampai sebesar ini. Seolah, dia tengah merasakan apa yang telah Biung rasakan dulu. Seolah, dia sekarang ada di posisi yang sama. Jatuh hati kepada seseorang yang ndhak bisa bersama, dan nasib tragis menimpa dirinya. Semoga aku salah, sebab jika iya, aku ingin dia jujur, siapa pemuda yang telah membuatnya jatuh hati itu.     

"Biung adalah wanita terhebat yang pernah ada, Ndhuk. Asal kamu tahu, itu. Sebab apa, setelah dia berhasil bersatu dengan orang yang dicintai, setelah dia bisa menikah. Di saat-saat bahagia-bahagianya, di saat-saat dia hamil besar dan menunggu untukku dilahirkan, kejadian-kejadian selalu menimpa Biung. Sampai pada malam di mana, romoku, Pakdhemu, meninggal dunia karena telah disantet. Dan kamu tahu siapa yang menyantet romoku saat itu?" kataku terhenti, Rianti yang tadinya menenggelamkan wajahnya di dadaku pun mendongak. Matanya masih berkaca-kaca, pipi dang ujung hidungnya tampak memerah. "Eyang Kakung, Kakek kita sendiri,"     

Diam, Rianti ndhak mengatakan apa pun lagi. Pupil matanya mengecil, pertanda dia tengah terkejut dengan apa yang telah aku katakan.     

"Sebenarnya, Romo memiliki penangkal atas santet itu. Tapi jimat penangkalnya dipakaian pada Biung agar Biung bisa selamat, dan merelakan dirinya yang menjadi korban atas keserakahan Eyang Kakung kita. Kamu pikir, bagaimana Biung saat itu? Tatkala melihat orang yang dia sangat cinta meninggal dalam dekapannya di malam yang sangat sunyi. Hanya ada Biung, dan juga romoku. Keduanya sendiri, menghabiskan malam terakhir romoku.     

"Lantas setelah itu, Kangmas?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.