JURAGAN ARJUNA

BAB 133



BAB 133

0"Lantas setelah itu, Kangmas?" tanya Rianti, yang masih dengan mata nanarnya. Dia mengusap wajahnya dengan kasar. Tapi pandangannya ndhak lepas dariku sama sekali.     
0

"Biung ndhak menerima kenyataan kalau romoku meninggal, Dik. Dia bahkan mengunci pintu kamarnya dari dalam dengan rapat-rapat, dan dia ndhak mengizinkan barang seorang pun masuk, dan mengusiknya bersama jasad romoku waktu itu. Sebab dalam keyakinannya, romoku ndhak meninggal, romoku masih hidup, dan dia hanya sedang tidur saja. Padahal sedari tengah malam waktu itu, seluruh penduduk kampung Ngargoyoso dan Karanganyar sekalipun, melihat pertanda-pertanda Gusti Pangeran itu. Bahkan mereka tanpa sadar menitikan air mata dan berpondong-pondong bertandang ke kediaman kita sambil membawa obor. Mereka... mereka menangisi kepergian romoku di saat Biung yang saat itu masih menyangkal jika romoku telah meninggal,"     

Duh Gusti, entah kenapa, semua rekaman masa lalu itu melintas sangat lancar di memori otakku. Adegan demi adegan pahit yang telah dilalui orangtuaku, seolah aku melihatnya tepat di depan mataku. Dan itu benar-benar sangat nyata. Sebenarnya, apa yang telah terjadi kepadaku ini, Gusti? Katakan kenapa?!     

"Dan pada akhirnya, hanya Romo Nathanlah yang berhasil membujuk Biung, agar Biung bisa melepaskan kepergian Romo Adrian. Karena saat itu posisinya Biung tengah hamil besar, Romo Nathan ndhak tega jika aku lahir tanpa adanya seorang Romo. Dan menurut kepercayaan Jawa, jika hendak melangsungkan pernikahan dan waktu itu ada kerabat terdekat meninggal, pilihannya hanya ada dua. Yang pertama, menikah saat itu juga tepat di depan jenazah kerabat kita, dan yang kedua menunggu satu tahun lagi untuk bisa menikah. Dan posisinya, perut Biung sudah besar. Dan sebentar lagi aku akan lahir. Merasa bertanggung jawab atas aku, dan Biung sebagai titipan dari Romo Adrian membuat Romo Nathan mengambil keputusan untuk mengawini Biung. Kemudian, hubungan suami istri itu terjadi. Meski untuk urusan ranjang, mereka harus puasa dalam waktu yang cukup lama."     

"Kenapa Romo mau melakukan itu, Kangmas? Bukankah dia tetap bisa merawatmu sebagai keponakannya? Dia juga bisa merawat Biung sebagai Ndoro Putri, atau Mbakyu iparnya?" tanya Rianti yang agaknya bingung. Aku tersenyum tipis tatkala dia bertanya seperti itu. Sepertinya, pembahasanku kali ini akan membuatnya agak terkejut.     

"Ada rahasia yang kamu ndhak tahu itu, Dik. Apa kamu ingin tahu apa rahasianya?" tanyaku, dia pun mengangguk semangat. "Sebenarnya, telah lama juga Romo Nathan telah jatuh hati kepada Biung. Bahkan, jauh sebelum Biung bertemu dengan Romo Adrian."     

"Hah, benar, toh, itu, Kangmas?"     

Aku pun mengangguk menjawabi ucapan Rianti, kemudian dia terdiam sejenak. "Tapi, jatuh hati Romo Nathan itu agaknya diutarakan dengan cara berbeda. Dibanding dengan mengejar, Romo Nathan rupanya lebih memilih untuk mengajak Biung bertengkar setiap saat. Bertengkar dengan jenis pertengkaran yang kata Paklik Sobirin seperti pertengkaranmu sama Bima itu."     

"Kangmas!" marah Rianti.     

Kemudian dia kembali menunduk, sambil memilin-milin ujung roknya. Wajahnya memandangku, tatapannya sudah ndhak mengisyaratkan jika dia telah benci kepadaku. Sama seperti dulu lagi. Rasanya sangat lega, bisa mengetahui semua itu.     

"Kangmas kamu pikir Bima itu pemuda yang baik?" tanyanya tiba-tiba. Aku kemudian terdiam, sebab aku ndhak begitu paham tentang apa yang ditanyakan Rianti kepadaku.     

Jika dia tanya Bima apakah pemuda yang baik, maka jawabannya adalah iya. Bahkan kurasa, orang buta pun akan mengatakan hal yang sama. Sebab kurasa, hampir ndhak ada satu celah keburukan pun yang tampak pada diri Bima.     

"Kurasa, selama aku mengenalnya beberapa waktu ini dia cukup baik. Kenapa kamu bertanya seperti itu, Dik? Apakah karena kamu masih kesal, dan ndhak suka dengannya. Itu sebabnya kamu ndhak bisa menilainya dengan cara seksama?" selidikku. Rianti lantas menggeleng lemah.     

"Jikalau suatu saat Kangmas tahu keberannya, semoga Kangmas ndhak murka...," katanya. Aku kembali bingung, dengan ucapan ndhak jelas Rianti itu. "Ohya, kata Paklik Junet, dia hendak mengajak Bima untuk tinggal di rumah Simbah Romelah?" tanyanya lagi. Aku pun mengangguk. "Jangan, Kangmas. Biarkan dia tinggal di kediaman kita saja. Rasanya kok ndhak elo, dia sebagai tamu seolah mengusir dengan cara halus, seharusnya jika memiliki pemikiran seperti itu, seharusnya sedari awal dia bertandang (datang) ke sini, toh. Toh, Romo tahu, jika dia memiliki seorang anak perempuan lajang. Kok ya masih menerima seorang pemuda lajang untuk menginap di rumahnya, itu, lho. Meski dia anak kawan Romo, tetap saja, itu ndhak elok. Itu bukan perkara yang baik."     

"Lantas, apa yang sebaiknya kamu lakukan? Aku hanya ndhak mau kamu merasa keberatan, dan terganggu kalau Bima masih tinggal bersama denganmu, Dik," kataku meyakinkannya.     

Rianti lantas menggenggam tanganku dengan lembut, kemudian dia tersenyum. Seolah, dia telah memiliki jawaban dari apa yang telah kuresahkan selama ini. Dan semoga, apa pun jawabannya nanti ndhak menyakiti dirinya sendiri.     

"Biarkan aku saja yang pindah ke rumah Simbah Romelah," putusnya, yang berhasil membuatku kaget.     

"Lho, kok seperti itu, Dik? Di rumah Simbah Romelah? Apa kamu bisa?" tanyaku yang masih ndhak percaya. Bagaimana aku bisa percaya, sebab biar bagaimanapun, Rianti itu adalah seorang anak dari Juragan tersohor yang apa pun maunya serba mewah. Bahkan kontrakan di Jakarta saja, lebih mirip seperti hotel kecil. Hanya saja, ndhak ada abdi dalem di sana setelah Manis ikut tinggal di sana. Sebelumnya, Biung memberikan Rianti dua sekaligus.     

"Kangmas, aku ingin mengenal Biung. Aku ingin menikmati hari-hariku di tempat yang sepi. Aku ingin lebih dekat dengan masa lalu Biung. Dan dengan aku berada di sana, aku ingin lebih banyak bercakap dengan Simbah Romelah, perkara masa lalu Biung terdahulu, bagaimana masa kecilnya, masa remajanya, dan ketika dia telah menikah dan menjadi seorang Ndoro Putri seperti sekarang ini. Jujur, Kangmas. Aku benar-benar merasa bersalah, aku merasa tertampar dari apa yang telah Kangmas katakan kepadaku tadi."     

Aku diam, belum bisa menjawab ucapan dari Rianti itu. Semua pikiran berkecamuk jadi satu di otakku. Ini bukan hanya perihal bagaimana manjanya seorang Rianti. Hanya saja, apa aku bisa percaya kepadanya begitu saja? Maksudku, entah kenapa setelah kejadian Zainal mendekat di jendelanya di tengah malam itu membuatku benar-benar takut. Aku ndhak mau Rianti menjadi perempuan bodoh. Cukup Biung, cukup aku yang melakukan kesalahan bodoh semasa kami muda dulu.     

"Ndhuk, boleh aku bertanya kepadamu?" tanyaku kepadanya dengan hati-hati. Aku takut jika nanti dia akan tersinggung, atau malah akan semakin marah kepadaku perkara pertanyaanku ini.     

"Apa, Kangmas?"     

"Soal yang kulihat di kamarmu malam itu. Baik Zainal atau pun Bima. Kalian bertiga, ada hubungan apa?"     

Mendengar hal itu, Rianti langsung memandangku dengan tatapan kagetnya itu. Matanya melebar, bahkan nyaris ndhak berkedip sama sekali. Wajahnya memerah, untuk kemudian dia langsung memalingkan wajahnya dariku. Dia diam, diam seribu bahasa. Ndhak menjawab pertanyaanku satu kata pun. Untuk kemudian, dia berdiri sembari memunggungi tubuhku.     

"Kangmas, sudah siang. Ayo kita pulang," putusnya. Sembari berjalan menuju ke tempat Manis, dan Wangi. Kemudian ketiganya berjalan keluar dari hutan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.