JURAGAN ARJUNA

BAB 134



BAB 134

0Setelah aku keluar dari hutan, rupanya Paklik Junet sudah berdiri sambil menyenderkan punggungnya pada sebuah pohon pinus yang cukup besar. Kemudian, dia melihatku melangkah keluar dari jalanan setapak.     
0

Paklik Junet langsung melangkah kecil, sebab tanah di sini cukup basah, bebatuan serta rumput-rumputnya pun sangat licin.     

"Dari mana saja, toh, kamu? Dicari sama Mas Nathan sedari tadi itu, lho. Dia khawatir, kalau adikmu mau kamu ajak bunuh diri," kata Paklik Junet.     

Aku tersenyum saja mendengar penuturan itu. Takut tak ajak bunuh diri. Dasar Romo Nathan ini, memangnya ndhak ada perkara yang bagus apa selain mengajak Rianti bunuh diri.     

Aku ndhak mungkin mengajak Rianti untuk bunuh diri. Toh, aku sendiri ndhak memiliki masalah khusus untuk mengakhiri hidupku dengan cara yang teramat sangat bodoh. Dari pada aku ikut bunuh diri Rianti, bukankah lebih baik kugantung saja Rianti di atas pohon randu yang ada di tengah alas tadi itu. Dasar! Untung saja anak kecil itu sudah sadar, coba saja kalau endhak. Mau dibawa ke mana nanti ujung pangkal dari perkaranya. Wong yang punya masalah sendiri, tapi ndhak bisa menyelesaikannya sendiri. Aku tahu, diperkosa adalah perkara yang paling hina. Dan jika aku bertemu dengan pemuda yang memperkosanya pun pasti akan kucincang-cincang saat ini juga. Namun bagaimanapun, mungkin karena aku ini seorang laki-laki, itu sebabnya aku ndhak begitu mengerti apa yang dialami Rianti saat ini.     

"Paklik tahu warung yang ada di perempatan Berjo itu? Warung itu yang jual bubur kacang hijau, toh?" kutanya. Paklik Junet agaknya mengerutkan kening, mencoba mengingat perihal warung yang kumaksud. Maklum saja, sebab dari pada sibuk mengetahui warung penjual bubur, Paklik Junet akan paling hapal perkara di mana warung penjual kopi atau tuak. Wah, hafal benar, dia. Meski itu di Kecamatan jauhnya.     

"Oh, iya... iya, Jun. Tapi kalau kamu ndhak berangkat ke sana segera. Aku yakin, kamu akan kehabisan, sebab menurut orang-orang warung itu terkenal dengan bubur kacang hijau dan serabihnya yang sangat mantab. Belum ada jam sebelas, pastilah yang datang terlambat akan kehabisan. Bahkan katanya, pembeli itu antree-antree sedari pagi-pagi sekali, lho, untuk memesannya."     

Mendengar penjelasan dari Paklik Junet, jujur hal itu membuatku penasaran juga. Saking enaknya sampai semua orang rela antree dengan cara seperti itu. Aku langsung mengikat kedua tanganku ke belakang punggung, kemudian berjalan melewati Paklik Junet.     

"Mau ke mana kamu?" tanyanya, dengan langkah terburu. Yang berhasil membuatnya nyaris terpeleset batu. Aku hampir saja tertawa karena ulah Paklik Junet itu, tapi aku buru-buru berjalan menjauh darinya. Sebab aku tahu, jika nanti aku tertawa, dia pasti ndhak punya muka nanti. Malu.     

"Aku mau ke warung sana dulu."     

"Lha motormu?" tanyanya bingung, sambil menunjuk hondaku. Honda di sini adalah jenis sepeda motor, merk apa pun tapi orang sini rata-rata ya memanggilnya honda. Bahkan motor bermerk yamaha pun akan disebut dengan honda. Kalian paham akan maksudku, toh? Tapi motorku ini benar-benar merk honda. Aku ndhak bohong!     

"Bawa saja, aku mau jalan kaki."     

"Tapi jauh!" kata Paklik Junet, yang kini tampak mendorong hondaku dengan sedikit dipaksa. Padahal, bisa saja dia mengendarainya kemudian dia mengemudinya pelan-pelan. Dasar Paklik... Paklik, kok ya kelakuannya lama-lama ndhak jauh beda dengan Paklik Sobirin ini lho bagaimana. Apa jangan-jangan Paklik Junet telah tertular lemotnya Paklik Sobirin? Ah, dasar!     

Kira-kira lima menit aku berjalan menyusuri jalanan besar namun masih belum beraspal. Jalanan ini masih tersusun dengan bebatuan dengan sangat rapi, dan dengan sedikit terjal. Ada beberapa orang yang berlalu lalang, serta beberapa pemuda kampung yang berkumpul, mungkin saja mereka hendak berkumpul dengan kawan-kawannya. Biasa, masa muda. Ndhak seperti aku, yang masa mudanya ndhak punya kawan baik. Jangankan berkumpul seperti itu, punya kawan karib satu pun endhak. Ya, bagaimana lagi. Sebutan anak haram sudah melekat ketat pada diriku. Dan tapi anehnya, ya, padahal sudah sedari dulu sebutan itu kusandang, sedari dulu juga Rianti itu ndhak paham-paham apa arti anak haram. Atau jangan-jangan dia pikir, jika aku adalah anak hasil di luar nikah dari Romo Nathan, dan Biung? Ah, sudahlah, untuk apa aku memikirkan perkara ini berulang kali? Toh hasilnya sama. Yang terpenting sekarang Rianti sudah tahu keadaan aslinya, yang terpenting Rianti sekarang bisa bangkit dan setegar batu karang.     

Setelah sampai di warung itu pun aku duduk, menyuruh Paklik Junet untuk memesankan bubur kacang hijau, dan serabi. Biarkan Paklik Junet berdesak-desakan dengan para Bulik-Bulik yang ada di dalam, memangnya siapa yang akan peduli.     

Dan tiba-tiba mataku teralihkan oleh sosok yang sedang berjalan dengan kawannya. Sosok itu kemudian mendekat, pakaiannya sama halnya dengan kawan-kawannya lainnya. Kaus oblong warna putih, yang warnanya bahkan telah menguning dan lusuh. Wajahnya pun sama, penuh peluh, mungkin habis dari bekerja di kebun. Atau semacamnya. Kulitnya sawo matang, rambutnya ikal, matanya bulat, dan hidungnya bangir. Iya, memang. Dia ini adalah tipikal pemuda tampan khas Jawa, yang mungkin akan membuat semua perempuan tergila-gila. Namun aku masih heran, kenapa pemuda ini ada di jendela Rianti malam itu? Sebab yang kuingat, keduanya ndhak sedekat itu. Toh faktanya, yang aku tahu adalah Rianti dan dia ndhak begitu akrab, meski mereka berkawan tatkala keduanya sekolah di sekolah dasar.     

"Hey, Nal! Duduk sini saja, toh! Kita berbincang, lama ini lho ndhak bertemu!" sapa seorang pemuda dari Berjo. Pakaiannya nyentrik, dan lumayan bersih, dan rapi. Meski dia sendiri ndhak pandai memadu padankan batik kedodorannya itu dengan celana levis yang komprang. Rambunya yang klimis sesekali disisir sehingga tampak semakin klimis.     

"Oh, To!" jawab sosok yang sedari tadi kucermati itu. Kemudian, dia dan kawannya pun duduk. Mereka duduk berempat, dan tepat membelakangiku. Aku pastikan, jika mereka ndhak tahu tentang keberadaanku. "Tumben, pemuda sibuk sepertimu berada di sini di jam seperti ini? Ndhak ke kota memangnya?" tanya Zainal. Dia lantas mengusap peluh yang ada di keningnya dengan lengan kausnya, kemudian mengipas-kipaskan tangannya pada wajahnya. Muingkin, dia ingin mendapatkan udara segar, karena dia merasa telah kepanasan.     

"Ah, sedang malas aku, Nal. Sekali-kali mbok ya menikmati hidup, ndhak ke kota terus saja. Gara-gara aku ke kota, aku ketinggalan banyak berita, lho. Bahaya sekali ini!" seru pemuda yang dipanggil Zainal To. Mungkin namanya Suminto, Prapto, Narto, atau apa pun yang penting belakangnya To.     

"Berita apa, toh? Kok ya seperti Bulik-Bulik saja, kamu ini, yang sukanya dengan berita. Ndhak jelas pula kebenarannya," celetuk Zainal menimpali. Tapi, masih dengan nada halus sembari bergurau.     

"Ah, kamu ini, kamu kan pemuda Kemuning, masak kamu ndhak tahu berita besar itu?" tanya To yang masih keras kepala. Umpama aku Zainal pun aku juga akan mengatakan hal yang sama. Ndhak tahu apa yang diucapkan oleh To. Memangnya, manusia mana pula yang akan paham dengan ucapannya yang ndhak jelas itu. "Dik Rianti, kembang desa Kemuning, telah dijodohkan oleh seseorang."     

Hening, ndhak ada ucapan dari siapa pun. Aku pun juga ikut terdiam gara-gara ucapan dari To itu. Dijodohkan, dengan siapa?     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.