JURAGAN ARJUNA

BAB 135



BAB 135

0"Lho, kamu kok malah diam, toh, Nal. Aku dengar kabar ini baru kemarin. Kabarnya, ada pemuda tampan dari Jakarta yang tinggal di rumahnya. Dan pemuda itu adalah calon suami dari Rianti,"     
0

Mendengar ucapan dari To itu sekarang aku mulai paham. Tentang pemuda yang dia bahas sekarang. Yaitu, Bima. Dan aku baru tahu beritanya sekarang. Jika kedatangan Bima di sini malah membuat berita baru. Yaitu, dia datang untuk meminang Rianti. Padahal kedatangan Bima ke sini adalah untuk membantu para pekerja kebun, dalam rangka membuat bibit-bibit perkebunan memiliki kualitas baik, dan tahan hama. Mungkin karena Bima masih muda, dan usianya pun ndhak beda jauh dari Rianti. Mungkin itu menjadi salah satu penyebab pemuda-pemuda ini beramsumsi seperti itu.     

"Katanya sih iya, To. Mereka cukup akrab, sepertinya mereka juga sudah dekat," jawab Zainal. Entah kenapa aku menangkap sebuah nada yang aneh di suara Zainal. Jenis suara hambar yang tampak enggan membahas perkara itu. Ada apa? Aku benar-benar sangat penasaran dibuatnya.     

"Wah, kita telah, Nal! Kita kecolongan! Bukankah kita sepakat untuk memuja Dik Rianti kita? Bukankah kita sepakat untuk bertarung secara adil untuk mendapatkan Dik Rianti. Namun bagaimana tiba-tiba ada pesaing dari luar yang mengambil kesempatan kita dengan begitu mudahnya?"     

Zainal tampak diam, aku pun ikut diam. Melihat mimik wajah Zainal tampak jelas jika pemuda itu sedang... patah hati. Apa benar terkaanku jika Zainal sedang patah hati? Apa benar terkaanku jika Zainal ada hati dengan adikku—Rianti?     

"Ah, itu hanya guyonan semasa muda semata, toh, To. Kamu masih pantas jika hendak mengejar Ndoro Rianti. Sementara aku?" Zainal tampak tersenyum hambar kemudian dia menepuk-nepuk bahu To. "Aku ini apa, toh, hanya pemuda kampung. Sudah pemuda kampung, ndhak berpendidikan, miskin, pula. Bagai kodok yang mengharapkan rembulan, To. Mimpi, mimpin di siang bolong seperti ini, lho!" serunya. Meski terdengar sedih, nada yang dikeluarkan oleh Zainal itu tampak sedang bercanda. Dan hal itu kok ya tiba-tiba membuat hatiku iba juga.     

"Jun, ini lho! Pegel aku ini nunggu serabinya mateng!" seru Paklik Junet, yang berhasil membuat ke empat pemuda itu menoleh ke arahku.     

Ada rasa terkejut, kaget, dan panik tatkala mereka mengetahui jika di sini ada aku, Kangmas dari perempuan yang sedari tadi mereka bicarakan dengan sangat serius. Untuk kemudian, si To itu menundukkan wajahnya, wajahnya merah padam, kemudian dia menundukkan wajahnya dalam-dalam.     

Sementara Zainal, langsung berdiri. Kemudian dia mendekat ke arahku. Dia ndhak duduk, berdiri sambil menautkan kedua tangannya di depan, tentu dengan sembari menunduk.     

"Juragan Arjuna, maafkan kami bila kami telah membicarakan Ndoro Rianti—adik dari Juragan Arjuna. Namun ketahuilah, pembicaraan ini hanyalah guyonan semata. Dan ndhak ada niat sedikit pun di antara kami untuk merendahkan, atau apa pun itu. Saya—"     

"Aku paham," putusku tatkala ia hendak bicara panjang lebar. Sembari menikmati serabiku, kulirik dia sekilas, yang tampaknya sedikit lega dengan raut wajah yang tampak mengendur itu. Kemudian dia tampak tersenyum manis. "Sini, duduklah," kubilang. Dia tampak menolah-noleh dengan bingung, mungkin dia bingung hendak duduk di mana. Mengingat di sini hanya ada satu kursi panjang yang muat empat orang. Jika dia duduk, pastilah duduk di sebelahku. Dan aku yakin, dia akan teramat sungkan dengan perkara itu. Ndhak sopan, itu adalah pikirannya. Meski aku merasa jika perkara itu adalah baik-baik saja.     

"Duduk, Zainal, di sini lho. Di sebelah Arjuna," kata Paklik Junet menegaskan, kemudian dia beranjak dari duduknya, sembari membawa serabi yang dibungkus dengan daun jati itu. "Aku mau ke sana dulu, ada kawanku. Kalian kalau mau berbincang, berbincanglah," putusnya kemudian. Rupanya, Paklik Junet sekarang lebih peka dari pada yang kubayangkan. Terimakasih, Paklik.     

"Sini, duduk. Ndhak usah sungkan," kubilang lagi, sembari menggeser posisi dudukku. Barangkali dia masih sungkan jika duduk dekat-dekat denganku.     

Zainal masih dengan gayanya itu, sungkan, dan malu-malu. Dia kemudian duduk, dan takut-takut melihat ke arahku.     

"Ada apa, Juragan? Adakah perkataan saya yang barangkali salah?" tanyanya hati-hati. Aku masih dengan menikmati serabiku, yang ternyata rasanya memang benar-benar luar biasa.     

"Kamu ini anak dari Pakdhe Bejo, toh?" tanyaku. Seingatku Zainal ini adalah anak dari salah seorang pemetik teh di kebun. Entah benar atau salah ingat, kurasa memang seperti itu kebenarannya.     

"Benar, Juragan. Saya adalah anak dari Bapak Bejo. Yang kebetulan beliau adalah abdi dalem paling setia di keluarga Juragan," jawabnya. Mengangguk kuat-kuat dengan senyuman semangatnya.     

Aku kembali tersenyum melihat semangat yang tampak membara itu. Zainal ini, rupanya lucu juga.     

"Tapi omong-omong, Juragan. Adakah hal yang salah dari ucapan saya sampai membuat Juragan memanggil saya ke sini?" tanyanya lagi, lebih hati-hati dari tadi.     

"Kenapa kamu begitu ketakutan seperti itu. Apakah kamu pikir, aku ini seorang Juragan pemarah sampai membuatmu ketakutan setengah mati?" tanyaku. Zainal pun menggeleng. "Lantas kenapa kamu sampai setakut, dan sesungkan itu kepadaku?"     

"Saya hanya ndhak mau, jika percakapan saya dengan kawan-kawan saya membuat Juragan tersinggung. Sebab jujur, dari dalam lubuk hati kami. Kami ndhak ada maksud sedikitpun untuk menyinggung Juragan Arjuna, sungguh, Juragan!"     

"Apa kamu jatuh hati dengan Rianti?" tanyaku yang berhasil membuat Zainal kaget bukan main. Nada suaraku sengaja kukecilkan, agar kawan-kawannya ndhak mendengar.     

Wajah Zainal memerah saat itu, kemudian raut wajahnya berubah menjadi sangat tegang. "Juragan, maafkanlah saya jikalau pertanyaan Juragan ini menyangkut dengan keberadaan saya yang berada di jendela Ndoro Rianti beberapa waktu lalu. Saya bisa jelaskan, Juragan. Saya ndhak ada maksud sama sekali untuk melakukan tindakan tercela, saya benar-benar ndhak ada maksud apa-apa, sungguh, Juragan. Saya ndhak bohong!"     

Lihatlah betapa gugup dirinya, bahkan dia harus berkata panjang lebar seperti itu hanya sekadar meyakinkanku, jika waktu itu benar dia ndhak melakukan apa pun. Tapi tetap saja aku merasa curiga. Jika dia ndhak melakukan apa pun, lantas untuk apa dia jauh-jauh ke kediamanku? Toh sejatinya aku tahu, jarak rumahnya dan rumahku teramatlah jauh. Rumahnya itu dekat dengan rumah pintar.     

"Lantas, untuk apa kamu berada di jendela Dik Rianti waktu itu? Bisa kamu jelaskan kronologinya dengan rinci?" tanyaku pada akhirnya. Apa aku salah? Endhak, toh? Ini adalah salah satu tanggung jawabku sebagai seorang Kangmas untuk melindungi, untuk mengetahui siapa saja kawan dari adikku. Agar apa? Agar aku tahu, jika adikku berkawan dengan orang-orang baik. Karena aku ndhak mau kecolongan lagi. Sudah cukup adikku dijadikan bahan lecehan oleh orang-orang ndhak bertanggung jawab. Dan aku ndhak akan membiarkan itu terjadi lagi, dan lagi.     

Kulihat Zainal yang masih diam, membuatku semakin penasaran dengan jawabannya. Entah, apa yang hendak ia katakan saat ini. Asal ndhak berbohong, apa pun itu akan kumaafkan dengan hati lapang.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.