JURAGAN ARJUNA

BAB 136



BAB 136

0"Percaya apa endhak, tapi ini yang hendak aku ceritakan kepada Juragan. Saya harap Juragan akan percaya...," kata Zainal yang benar-benar berputar-putar ndhak pada tempatnya. Aku berusaha untuk diam, untuk sabar yang sesabar-sabarnya mendengarkan penuturan Zainal yang mungkin akan sangat membosankan. "Sebenarnya, malam itu sama halnya dengan malam-malam biasanya, Juragan. Juragan tahu sendiri, kalau saya lahir dari keluarga kurang mampu. Untuk mencari tambahan uang selain bekerja di siang hari, malamnya aku mencari bekicot. Dan pekerjaan mencari bekicot itu ndhak pasti di satu titik saja. Aku mencari di kebun-kebun, dan tempat-tempat yang mungkin menjadi sarang bekicot-bekicot itu berada. Dan pada malam itu...," ucapan Zainal kembali terhenti. "Tatkala saya sedang mencari bekicot, saya melihat di kediaman rumah Juragan tampak lampunya masih terang, dengan jendela yang terbuka dengan sangat lebar. Awalnya aku pikir, jika saat itu barangkali Juragan telah lupa untuk sekadar menuntup jendela kamar itu. Sebab waktu itu sangatlah larut. Saya taruh tempat meletakkan bekicotku, kemudian saya mulai mendekat. Namun bayangan yang tampak bukan bayangan seorang laki-laki, melainkan seorang perempuan yang tengah menyisir rambutnya. Jujur, sebenarnya saat itu saya sangat takut. Karena sejatinya saya tahunya Ndoro Rianti itu sedang kuliah di Jakarta. Dan itu pula ndhak mungkin bayangan dari Ndoro Putri Larasati. Jadi, untuk memastikan saya memberanikan diri untuk melangkah semakin dekat. Tatkala aku tahu jika rupanya sosok yang kulihat itu bukanlah lelembut melainkan Ndoro Rianti, jujur saya kaget. Dan jujur pula saya terpana dengan paras ayunya (cantiknya)," sejenak Zainal tampak terdiam, wajahnya bersemu merah, kemudian dia semakin menundukkan wajahnya dalam-dalam. "Karena saya terkesima, secara ndhak sadar langkah kaki saya malah mendekat ke arah jendela. Terlebih, tatkala melihat Ndoro Rianti juga berjalan di depan jendela. Dan akhirnya, kejadiannya sama persis seperti apa yang Juragan Arjuna lihat. Ndhak kurang, dan ndhak lebih. Itulah yang sebenarnya terjadi, Juragan."     
0

Entahlah, meskipun dia berusaha mengatakan hal yang sebenarnya secara rinci. Tapi aku ndhak tahu kenapa, ada hal yang coba ia tutup-tutupi. Entah hal apa itu, rasanya hanya sedikit mengganjal di hatiku. Dan aku cukup penasaran, meski aku juga ndhak punya hak untuk memaksanya mengatakannya kepadaku.     

"Lantas setelah itu, kamu mulai jatuh hati kepada Rianti?" tanyaku kepadanya.     

Awalnya, dia memandangku kaget tatkala pertanyaan itu kulontarkan kepadanya. Namun kemudian dia kembali menunduk, sembari tersenyum getir. Jenis senyuman aneh yang benar-benar membuatku semakin penasaran.     

"Mana mungkin saya berani, toh, Juragan, untuk jatuh hati kepada Ndoro Rianti. Dilihat saja lho untuk sekadar bermimpi seperti itu benar-benar perkara lancang. Ndoro Rianti itu siapa, aku ini siapa. Kami seperti dua orang yang ada di dunia yang berbeda. Jadi, sejatinya Juragan ndhak usah dipikirkan terlalu jauh perihal itu. Sebab bagaimanapun, bagiku, bagi kami, aku dan kawan-kawanku. Ndoro Rianti itu adalah rembulan, adalah sosok dewi yang menjelma sebagai manusia, yang hanya bisa kami jadikan buah bibir. Di setiap kami berkumpul seperti ini. Hanya bisa mengagumi, tanpa berani untuk melangkah lebih dari itu, Juragan," kini jawaban dari Zainal tampak tenang dan mantab. Sebuah jawaban dewasa dengan penuh kejujuran di dalamnya, aku bisa melihat mimik wajah keseriusan begitu terpancar di sana. Jika iya, maka jawaban itu benar-benar menjadi jawaban yang luar biasa sekali. "Lagi pula, sekarang ini Ndoro Rianti telah memiliki calon suami. Sangat ndhak elok jika ada percakapan-percakapan seperti ini. Saya merasa ndhak enak dengan calon suaminya, Juragan."     

"Tahu dari mana kamu kalau pemuda yang bertandang di kediamanku itu adalah calon suami dari Dik Rianti?" tanyaku yang sebenarnya ini merupakan kebingunganku yang lainnya perkara warta (kabar) jika Rianti telah memiliki seorang calon suami yaitu Bima.     

"Maaf, Juragan. Pemuda kota sendiri yang mengatakan kepada saya, dan kawan saya kalau dia adalah calon suami Ndoro Rianti."     

Diam, kaget, dan ndhak tahu harus berbicara apa itulah yang kurasakan sekarang ini. Bima? Seorang Bima yang teramat sangat membenci Rianti berujar seperti itu? Aku langsung mengerutkan kening, sembari memandang ndhak percaya kepada Zainal. Namun tatapan matanya benar-benar ndhak ada kebohongan sama sekali di sana. Apa benar Bima mengatakan hal itu? Tapi jika iya, aku rasa pasti ada sesuatu yang dia rencanakan. Maksudku, ada alasanya Bima mengatakan jika Rianti adalah calon istrinya. Bisa jadi dia ingin memberikan efek jera kepada Zainal, mengingat Zainal pernah dipergoki dia berada di jendela kamar Rianti. Atau, yang lainnya. Entahlah, kenapa aku malah menjadi bingung dan sok mengurusi urusan pribadi Rianti, toh. Gusti... sepertinya aku sudah sangat kelewatan sekali.     

"Juragan, jika sudah ndhak ada yang ingin ditanyakan boleh saya pamit dulu? Serabi saya sudah jadi, dan saya harus mengantarkannya kepada Emak," izin Zainal.     

Bahkan aku sampai lupa, jika dia bertandang ke sini untuk membeli serabi bersama kawannya tadi. Kok ya bisa-bisanya malah kuajak bercakap sampai lupa waktu.     

"Oh, ya, pergilah, dan hati-hati," kubilang.     

Zainal langsung masuk ke dalam warung, kemudian dia mengambil serabi pesanannya. Mengajak kawan jalannya untuk berpamitan dengan aku, dan To, kemudian dia berjalan pergi menuju kembali ke kampung Kemuning.     

Dan ndhak lama setelah itu, Paklik Junet pun langsung mendekat, duduk di sampingku seraya membuka buntalan serabi kedua yang ada di meja. Aku pikir, kaki Paklik Junet akan kesakitan. Karena sedari tadi kulihat dia duduk berjongkok sendirian di sisi belakang warung.     

"Ada apa?" tanyanya kepadaku. Kutarik sebelah alisku ndhak paham dengan pertanyaannya, kemudian aku memakan bubur kacang ijo pesanannku. "Kamu itu ada apa? Ada urusan apa dengan Zainal? Tumben benar kamu berbincang dengannya. Padahal selama ini, aku pikir kamu ini ndhak cukup akrab dengan pemuda kampung mana pun. Malah lebih-lebih, aku merasa kalau selama ini kamu selalu menghindar bergaul dengan mereka."     

Aku hanya diam, ndhak mengatakan apa pun kepada Paklik Junet. Benar, memang jika aku menghindar berkawan dengan mereka. Mau bagaimanapun itu memang benar adanya. Entahlah, aku hanya merasa traumaku dulu selalu membuat bayangan yang menyakitkan. Aku takut, mereka akan mengata-ngataiku, kemudian mereka akan mengujat dan mengucilkanku, sebab aku bukanlah anak yang lahir dari sebuah hubungan resmi. Dan tampaknya perkara itu mereka gunakan sebagai senjata pamungkas untuk menjatuhkanku. Jadi, bukankah lebih baik aku menyendiri. Jika aku sendiri ndhak akan ada orang yang akan menghinaku, menghina biungku, dan menghina keluargaku. Aku sudah cukup bahagia memiliki Paklik Sobirin, Paklik Junet, Suwoto, keluarga dan abdi dalem yang begitu setia kepadaku. Aku telah memiliki mereka semuanya, dan aku ndhak membutuhkan yang lainnya lagi.     

"Kalau sudah kenyang ayo kita pulang, Paklik. Jangan lupa pesankan sekalian untuk orang-orang yang ada di rumah."     

"Semua?"     

"Iya, semuanya. Apa kamu ndhak kasihan melihat mereka? Pekerjaannya banyak, mereka nyaris ndhak mendapatkan waktu untuk sekadar merasakan hal-hal yang mereka inginkan. Serabi ini, seendhaknya bisa mereka gunakan untuk mengisi waktu luang di satu balai, sambil mereka bercakap santai dengan kita."     

Paklik Junet langsung menepuk bahuku, kemudian dia tersenyum dengan sangat lebar. "Ini, keponakan kebanggaanku. Seorang Juragan yang bisa melihat para abdi. Aku salut padamu. Baiklah, aku akan pesankan. Kamu tunggu di sini dulu!"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.