JURAGAN ARJUNA

BAB 137



BAB 137

0Semenjak sore, aku, Paklik Sobirin, dan Paklik Junet membawa beberapa barang-barang keperluan Rianti. Bahkan sekarang, aku menghela napas panjang sembari mendengus, metelakkan tas besar yang aku ndhak tahu isinya apa. Kata Rianti, ini ndhak boleh dibuka. Terlebih oleh pemuda yang ndhak tahu diri sepertiku.     
0

Lihatlah beberapa barang yang ada di pelataran ini. Kalau ini sih aku menyebutnya bukan pergi ke rumah Simbah Romelah untuk pindah tidur. Tapi, mau pindah rumah. Bagaimana bisa Rianti menyuruh bawa seranjang-ranjangnya, selemari-lemarinya, beserta semeja riasnya juga. Memangnya dia akan menetap di sana atau bagaimana? Dasar adik perempuanku satu itu memang kadang benar-benar keterlaluan!     

"Dik, apa benar kamu ingin menyuruh Paklik Sobirin, dan Paklik Junet untuk membawa barang-barang sebanyak ini ke rumah Simbah?" tanyaku pada akhirnya, tatkala melihat Rianti yang tampak puas dengan semua barang-barang yang hendak ia bawa. "Kamu tahu, rumah Simbah itu sudah lebih dari penuh dengan barang-barang seperti ini. Dan juga, bagaimana bisa rumah Simbah akan muat dengan barang-barangmu ini, Dik. Rumah Simbah ndhak sebesar rumah kita. Kamar-kamarnya pun ndhak sebesar punyamu di sini. Lagi pula, rumah Simbah itu ndhak jauh, lho. Ndhak di Jakarta, apalagi di luar pulau. Rumah Simbah hanya lima menit kita jalan kaki dari sini," kataku lagi mencoba menerangkan kepada Rianti.     

"Tapi, Kangmas ya mau bagaimana lagi, toh. Aku itu ndhak biasa tidur di rumah orang, meski itu Simbah kita sendiri. Aku pun ndhak bisa tidur kalau bukan di ranjangku,"     

"Ya sudah, kamu ndhak usah ke rumah Simbah. Toh ya kamu sudah baik-baik saja ini," putusku. Sembari menarik tangannya hendak kuajak kembali masuk ke dalam rumah. Tapi, dia ndhak mau. Dia tetap bergeming di tempatnya, sambil mengerucutkan bibirnya.     

"Aku mau di rumah Simbah. Aku mau menemani Simbah. Karena aku tahu, Paklik Junet jarang benar berada di rumah. Simbah pasti kesepian," kata Rianti. Alasan yang sangat masuk akal. Tapi kok dia baru kepikiran sekarang. Tumben benar. Kerasukan lelembut dari mana dia? Sampai memiliki pemikiran seperti ini?     

"Kamu ndhak sedang kesambet toh?" (kesurupan) tanyaku kepadanya, sembari memerhatikan bola mata beserta mimik wajahnya.     

"Kenapa?"     

"Selama kamu hidup, kenapa baru sekarang kamu kepikiran untuk kasihan dengan Simbah? Kenapa ndhak dulu-dulu? Toh, Paklik Junet pun juga sudah sedari dulu jarang tidur di rumah kalau malam," selidikku.     

Rianti agaknya memiringkan wajahnya, seolah hendak mencari jawaban paling tepat atas ucapannya itu.     

"Ya karena gimana lagi, sekarang ada pemuda ndhak tahu diri itu. Jadi aku malas berada di rumah. Nah, berhubung aku malas berada di rumah, bukankah lebih baik aku menemani Simbah. Gimana, aku banar, toh?" katanya kemudian. Susah benar jika bercakap dengan Rianti. Dia itu pandai dalam urusan berbicara.     

"Ada yang ingin kutanyakan kepadamu satu hal. Tapi aku ndhak yakin apa kamu mau menjawabnya apa endhak," kataku padanya lagi. Dia yang sibuk dengan barang-barangnya yang mungkin takut jika ada yang tertinggal pun hanya bergumam, kemudian dia melirik ke arahku.     

"Apa?" tanyanya kemudian.     

"Sebenarnya, kesalahan apa yang dibuat Bima sampai kamu begitu sangat membencinya? Ah, bukan... bukan seperti itu seharusnya pertanyaanku...," kataku, sembari meralat pertanyaanku sendiri kepada Rianti. "Sebenarnya, kalian ada masalah apa, sampai kalian terus bertengkar seperti tikus, dan kucing seperti itu? Sepertinya, melihat kalian rukun barang sebentar saja ndhak pernah,"     

Rianti tampak tersenyum kaku, kemudian dia menunduk. Bisa kulihat dengan ekor mataku, kedua tangannya bergetar hebat. Gusti, ada apa? Apa yang terjadi dengan adikku sampai dia setakut atau malah sebenci itu kepada Bima. Apa yang telah pemuda itu lakukan kepada adikku, sehingga menyisakan luka traumatik tersendiri kepada Rianti. Aku, benar-benar sangat penasaran tentang hal itu.     

"Selain yang itu, memang sedari kami bertemu ndhak pernah rukun, Kangmas," jawab Rianti akhirnya. Selain yang itu? Apa maksud dari selain yang itu? "Kami itu dulunya ndhak sengaja bertemu di ruang dosen Universitas. Dia dengan gaya ndhak tahu dirinya, telah melecehkanku sebagai seorang Ndoro. Mengatakan hal-hal ndhak pantas yang membuatku membencinya. Jadi, Kangmas, cukup, ya, ndhak usah lagi berharap jika barangkali aku akan berdamai dengan pemuda ndhak tahu diri itu. Sebab sampai kapan pun, sebab sampai mati pun, aku ndhak akan pernah mau berdamai dengannya."     

"Tapi—"     

"Apa yang telah dia lakukan kepadaku itu adalah perkara yang benar-benar fatal, Kangmas. Dia ndhak hanya menginjak-injak harga diriku, tapi dia telah benar-benar menghancurkanku. Jadi, cukup, jika denganku jangan lagi membahas dia. Aku menerimanya berada di sini ndhak lain hanya karena sungkan dengan Romo. Sebab bagaimanapun, dia adalah anak dari kawan kental Romo yang ada di Jakarta. Terlebih, kedatangannya ke sini adalah perihal untuk membantumu juga Romo. Meski perih, meski sakit, dan meski enggan aku sejujurnya melihat dia ada di depanku. Tapi, aku tetap harus menerimanya dengan lapang hati. Dan itu, salah satu sebab aku lebih memilih pergi ke tempat Simbah. Jika Kangmas, Biung, dan Romo rindu, datang saja ke sana. Sebab aku ndhak mau ke sini."     

"Lantas bagaimana dengan makanmu? Makanmu itu rewel, aku ndhak mau kehadiranmu malah membuat Simbah yang sudah tua kerepotan," kataku lagi.     

Jujur, aku sangat curiga. Jujur aku ingin bertanya kepadanya. Apakah Bima... apakah Bima yang telah merenggut kesuciannya? Tapi pikiran dan pertanyaan itu seketika kutepis jauh-jauh. Ndhak, ndhak mungkin Bima. Sebab melihat dari bencinya Bima kepada Rianti, tampaknya sangat ndhak mungkin jika pemuda itulah yang telah merampas mahkota Rianti. Dan aku tahu, jika Bima adalah pemuda yang baik.     

"Ya endhak lah! Asal Kangmas tahu, Simbah selalu memanjakanku setiap kali aku berada di rumahnya. Jadi, Simbah pasti seneng kalau aku akan menginap di sana lama,"     

"Kamu kan bangunnya siang-siang, ndhak biasa bekerja. Sebab menurutmu seorang Ndoro itu bak Tuan Putri, yang apa-apa harus dilayani. Kukirim dua abdi dalem untuk merawatmu di sana. Bagaimana?" tawarku padanya. Tapi, Rianti menolak dengan menggelengkan kepalanya.     

Anak ini habsi kebentur apa, toh, kepalanya. Kok ya bisa menjawabi tawaranku dengan gelengan kepala seperti itu.     

"Aku ingin merasakan seperti penduduk kampung biasa, Kangmas. Jadi jangan manjakan aku," dia bilang, tapi aku hanya menghela napas. Sebab aku ndhak yakin itu akan terjadi. Paling-paling besok juga dia sudah menangis meminta abdi untuk membantunya mengurus dirinya sendiri. "Jujur, dikata-katai sebagai perempuan yang sok Ndoro dan ndhak bisa hidup sebagai perempuan biasa saja membuat hatiku sakit. Jadi, aku harus menunjukkan kalau aku bisa."     

"Menunjukkan kepada siapa?" kutanya. Rianti langsung diam. "Sama orag yang mengata-ngataimu itu?" tanyaku lagi, dia malah mengsem. "Memangnya siapa yang mengata-ngataimu itu?" tanyaku lagi, dia malah mengabaikanku. "Bima?" tebakku. Dia langsung melotot, sembari berkacak pinggang.     

"Aku ndhak terima nama itu disebut-sebut, Kangmas!" marahnya.     

Aku langsung angkat tangan, kemudian meminta maaf kepada Rianti. Setelah dia merasa puas dengan hal-hal yang ia periksa, dia pun berdiri, menjauh dari barang-barang bawaannya.     

"Kamu yakin akan membawa semua ini?" tanyaku lagi. Rianti mengangguk semangat.     

"Kangmas bisa membelikanmu benda-benda ini yang baru, dengan ukuran yang lebih kecil agar bisa masuk ke kamar di rumah Simbah," bujukku lagi.     

"Ya sudah aku mau. Tapi untuk sementara aku akan pakai ini."     

"Aku yakin barang-barangmu ini ndhak akan muat di kamarnya Simbah."     

"Ya taruh di luar."     

"Dik."     

"Sudah, Kangmas. Sudahlah, ndhak usah dibantah apa ya!" marahnya. Aku langsung diam mendengar dia tampak marah. Kemudian aku melangkah mengekorinya, yang masuk ke dalam mobil.     

"Katanya mau hidup seperti penduduk kampung. Ke rumah Simbah saja kok malah masuk mobil?" tanyaku. Rianti tampak melotot, dengan wajah bersemu merahnya.     

"Oh ya, aku lupa. Ya sudah aku akan jalan kaki saja."     

"Ndhak pegel nanti kakimu?" tanyaku. Rianti pun menggeleng.     

Dengan semangat yang menggebu, Rianti lantas keluar dari mobil. Berjalan pelan sembari dengan penuh hati-hati keluar ke dalam rumah. Aku hanya melihatnya yang semangat itu, tanpa mau menganggunya. Ya, kurasa adikku sudah tumbuh dewasa sekarang.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.