JURAGAN ARJUNA

BAB 138



BAB 138

0"Aku ini hanya ke rumah Simbah, kok ya yang mengantar banyak sekali, toh, Kangmas," kata Rianti. Sembari menggerutu, sesekali dia menoleh ke arah belakang, dia pun cemberut.     
0

Bagaimana endhak, toh. Dia hanya pindah tidur di rumah Simbah yang jaraknya hanya lima menit jalan saja, ada Romo, Biung, abdi dalem yang membawa barang-barang Rianti. Manis yang kini merengkuh lenganku, aku, dan tentu saja Rianti yang berada di samping kiriku. Benar-benar seperti iring-iringan pengantin. Ndhak jauh berbeda.     

"Ya bagaimana lagi, anak perempuan satu-satunya, anak emas. Pasti mereka khawatir, toh," kata Manis, setengah mengolok-olok Rianti.     

"Pusing ini kepala Ndoro Rianti," keluhnya lagi. Hampir semua penduduk kampung keluar rumah, menyaksikan arak-arakan yang ndhak jelas ini. Maklum saja, kapan lagi mereka melihat keluarga besar Juragan Besar Nathan Hendarmoko keluar rumah terlebih jalan kaki seperti ini. "Malu aku," katanya. Sembari menundukkan wajahnya dalam-dalam. Tubuhnya mendekat ke arahku, sembari menyembunyikan sebagian wajahnya di dadaku.     

"Risiko seorang darah biru, keturunan ningrat," timpal Manis. Keduanya langsung tertawa, membuatku berdehem.     

"Ada banyak orang," tegurku.     

"Wah, Juragan Besar, Ndoro Putri, Juragan Arjuna, Ndoro Rianti. Mau ke mana toh ini? Kok rombongan jalan kaki?" tanya salah seorang penduduk kampung, yang rupanya mereka pun tampak keheranan.     

"Oh, ini lho, Bulik, mau mengantar Rianti. Dia ingin tinggal di rumah simbahnya, menemani simbahnya yang sendirian di rumah," jawab Biung.     

Setelah berbasa-basi sebentar, dan tentu rombongan kami harus rela berhenti karena ndhak enak juga kalau Biung sedang bercakap dengan penduduk kampung tapi kami masih berjalan. Akhirnya pun, kami kembali berjalan, menuju rumah yang ada sudah berada di ujung pandangan.     

Rumah itu, ya, rumah itu. Adalah rumah yang penuh kenangan bagi Biung, kenangan tentang Eyang Buyut, dan kenangan tentang simbahku. Semua kenangan masa kecilnya ada di sana, dan menyatu pada sebuah rumah mungil yang sekarang sudah bagus dengan dinding-dinding kayunya. Rumah yang hangat, dan sangat menyenangkan.     

"Lho, itu lho rumah Simbah. Ibarat bersin saja sudah sampai," kubilang. Melirik ke belakang sembari melihat arak-arakan dan barang-barang bawaan Rianti. Duh Gusti, ini benar-benar seperti sebuah festival karnaval, dan benar-benar sangat memalukan.     

Ohya, aku lupa, di belakang. Bagian paling belakang sendiri, ada Bima. Dia ikut, tentu saja. Awalnya dia enggan, berhubung Romo memaksa akhirnya dia pun ikut juga. Dan tentu, dengan gaya khasnya, menggerutu, dan ogah-ogahan. Terlebih ini perkara pindahnya Rianti. Pastilah dia ndhak akan bahagia jika bisa membantu Rianti. Atau malah, dia merasa jika membantu Rianti adalah suatu karma atau sebuah musibah.     

"Itu tandanya mereka sayang, weeek!" jawabnya, menjulurkan lidah kepadaku kemudian setengah berlari menuju pintu rumah Simbah.     

"Simbah...," katanya, mengetuk pintu dengan tenang. Iya, dia ndhak akan mungkin mencak-mencak. Di depan banyak orang. Gerak-gerik sebagai seorang Ndoro harus sangat sempurna. Beda kalau di depanku, dia bisa marah-marah, memukul, dan melakukan apa pun seenak hatinya. "Simbah, aku ke sini, lho. Aku mau pindah ke rumah Simbah. Aku diusir Romo, dan Biung, Mbah,"     

Ndhak berapa lama, pintu kayu yang telah diplitur itu pun dibuka. Romo segera menyuruh beberapa abdi dalem untuk kembali dulu, membuat kami hanya tinggal keluarga inti, beserta Bima mendekat ke arah rumah Simbah.     

"Lho, Ndhuk... iya Simbah tahu dari biungmu kalau kamu itu mau pindahan ke sini. Tapi, kok...," kata Simbah, sembari melihat ke sekitar. Banyak barang-barang yang dibawa Rianti tentunya membuat Simbah terkejut. Untung saja, lemari beserta ranjangnya ndhak jadi dibawa. Coba kalau dibawa, bisa-bisa Simbah pingsan karena dibuatnya. "Ini lho, banyak benar barang-barangmu. Ini mau ke mana, toh? Mau ke rumah Simbah itu sementara, atau selamanya? Kok ya seperti mau pindahan seperti ini,"     

Biung tersenyum, kemudian memeluk Simbah. Membawa Simbah masuk, dan kami pun ikut masuk.     

"Maklumlah, Bulik, cucumu yang satu ini memang kadang-kadang selalu berlebihan. Padahal, pakaiannya di sini ada satu lemari, pernak-pernik, dan alat rias dirinya lengkap. Masih saja dia merasa kurang, dan ingin membawa semua yang ada di rumah ke sini,"     

Simbah pun tertawa, kemudian kami duduk di kursi panjang yang ada di ruang tamu. Biung, dan Romo duduk di samping kanan—kiri Simbah, aku duduk dengan Manis, dan Bima duduk dengan Paklik Junet.     

"Tak pikir orang sekampung yang bakal tidur di sini," kata Simbah setengah bergurau. "Lho, ini siapa? Bagus (tampan) benar anak ini, anak siapa ini, Ndhuk?" tanya Simbah kepada Biung. Sembari menunjuk Bima dengan dagunya.     

Bima yang ditunjuk pun hanya mengelus rambutnya sungkan, kemudian dia tersenyum tipis sembari menunduk dalam-dalam.     

"Ini...," kata Biung yang kebetulan duduk ndhak jauh dari Bima. "Namanya Bima, anak dari kawan karib Kangmas di Jambi dulu, dan sekarang orangtuanya tinggal di Jakarta. Punya perusahaan besar, Bulik. Ganteng, toh, wajahnya?"     

"Bagus benar wajahnya, anaknya juga sopan. Pantas ini untuk Rianti,"     

"Ndhak sudi!" ketus Rianti, yang rupanya dia mendengar ucapan dari Simbah. Simbah melotot, pun dengan Biung. Sementara Romo malah senyum saja.     

"Hus, ndhak baik seperti itu, menolak seorang pemuda itu ndhak baik, Ndhuk. Nanti sulit jodoh," kata Simbah memperingati.     

Mungkin maksud Simbah adalah, bukan hanya perkara menolak ndhak mau dipersunting Bima. Toh Bima juga ndhak mungkin mau menikah dengan Rianti. Mungkin maksudnya adalah, jangan terlalu berlaku sekasar itu dengan seorang pemuda. Sebab sejatinya bagi penduduk kampung seperti ini, menurut aturannya, seorang pemudalah yang memilih perempuan. Bukan sebaliknya. Dan perempuan seolah ndhak punya hak untuk menolak, apalagi hal untuk mengeluarkan pendapatnya. Sebab kalau perempuan menolak, nanti akan ndhak baik. Bisa-bisa ndhak ada satu pemuda pun yang mau dengannya. Ya, kira-kira seperti itu.     

"Benar, apa kamu itu ndhak takut dapat karma? Atau kena sumpah, Ndhuk?" tanya Romo. "Jangan benci terlalu dalam dengan seseorang, nanti jatuh hati pasti akan malu sendiri," lanjutnya. Aku, dan Manis langsung tersenyum, kemudian saling senggol. Yang berpengalaman, makanya dia berkata seperti itu. Dasar Romo.     

"Aku jatuh cinta sama dia, Romo?" kata Rianti, sembari memekik ndhak percaya. Kemudian dia memandang Bima dari atas sampai bawah. "Ndhak mungkin! Mustahil! Aku adalah Ndoro Rianti yang terhormat, berdarah biru, ndhak mungkin bisa jatuh hati dengan pemuda congkak seperti dia."     

"Dik Rianti!" peringatku, yang kurasa ucapannya sudah ndhak pantas. Dia sudah melewati batasnya sebagai seorang perempuan.     

Rianti ndhak menjawabi lagi, kemudian dia melengos pergi. Masuk ke dalam kamarnya, dan ndhak lupa sebelum itu, dia dan Bima saling pelotot-pelototan satu sama lain.     

"Heran, masih saja ada hubungan aneh seperti mereka. Zaman sudah mulai maju kenapa kisah romansa pemuda-pemudi masih seperti pada zaman kita dulu," kata Romo Nathan, menyenggol lengan Biung sembari mengedipkan matanya nakal.     

Duh Gusti orangtua ini, kok ya ndhak sadar situasi, toh. Ada orang banyak masih sempat-sempatnya sok romantis. Ndhak sadar apa kalau mereka ini sudah punya menantu. Sudah punya cucu. Omong-omong, sepulang sekolah Ningrum akan menyusul ke sini. Rencananya, dia akan menemani Rianti untuk tidur di sini barang beberapa hari. Biarkan, biar Rianti ada kawan, selain Simbah. Biar rumah ndhak sepi. Serta kukirim satu abdi dalem kepadanya. Saat kurusuruh dia memilih, Rianti dengan tegas memilih Sri. Abdi dalem dengan usia yang ndhak cukup jauh darinya. Masih belia dan pekerja keras.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.