JURAGAN ARJUNA

Bab 32



Bab 32

0"Jadi bagaimana, Juna... kamu itu sudah umur lho. Usiamu sudah tiga puluh lima. Mau menunggu apa lagi? Toh, Biungmu sudah memilihkan seorang calon istri untukmu. Lagi pula, kawan baikmu, Manis, juga sebentar lagi akan menikah. Mau menunggu apa lagi?"     
0

Aku hanya tersenyum tipis, sebelum menjawabi ucapan Simbah Romelah. Simbah itu telah keliru, usiaku baru mau tiga puluh tahun kenapa dia bilang seperti itu. lagi pula, aku ini laki-laki toh. Kok ya seolah menikah seperti halnya perlombaan saja, siapa yang lebih dulu menikah, dialah pemenangnya. Aku yakin jika kalangan perawan yang telah lewat usia mereka menikah pasti akan mendengar ucapan-ucapan itu setiap hari. Kurasa, perawan-perawan itu sangat kuat. Bisa bertahan, dan berlapang dada dengan ucapan yang teramat menyakitkan. Jika itu aku, pastilah sudah ndhak tahan. Terlebih ini dilihat orang-orang. Lihat bagaimana para warga kampung yang kebetulan membantu di sini senyum-senyum sendiri. Tampak jelas kalau mereka sedang menertawakanku. Dasar Simbah, baru juga aku bertandang ke sini setelah sekian purnama. Datang-datang kenapa harus disambut dengan pertanyaan yang ndhak mengenakkan telinga.     

"Nanti, Mbah, tunggu Ningrum besar dulu," kubilang. Sebenarnya, hanyalah gurauan. Tapi sepertinya, Simbah Romelah menanggapinya cukup serius.     

"Lho, Ningrum? Anaknya Muri itu, toh? Dia kan masih kecil, Juna," katanya. Aku mengangguk. "Masih kecil, masih belum matang, tubuhnya masih belum sempurna sebagai seorang perempuan. Atau jangan-jangan, kamu mau seperti Romomu dulu yang menunggu menua demi Biungmu, iya?" tebaknya. Dan itu berhasil membuatku tertawa. Padahal, di zaman ini banyak sekali perempuan yang masih kecil dinikahi oleh pemuda-pemuda sepertiku. Lantas, apa salahnya denganku dan Ningrum. Toh, usia kami hanya terpaut belasan tahun.     

"Lho, justru menikahi daun muda itu sesuatu yang menantang, Mbah. Apa Simbah juga lupa, jika dulu adatnya memang diharuskan seperti itu? Kalau menikahi Ningrum, aku bisa membentuk tubuhnya dengan kedua tanganku sendiri lho, biar bodinya bisa lebih... montok, semok, semlohay, Mbah,"     

Mbah Romelah langsung memukul kepalaku, dan lihatlah. Tawa itu langsung lolos dari mulut warga kampung. Sementara Biung yang sedari tadi ada di sini, senyam-senyum saja. Ndhak ada rupanya barang sedikit saja dia membelaku. Dasar Biung ini! Dan setelah kumencibir, mata Biung malah melotot, kemudian dia berkacak pinggang. Oh, marah juga, toh.     

"Bicara apa, toh, kamu ini!" marah Biung, sambil memukul kepalaku dengan lontar. Kemudian dia duduk di samping Simbah Romelah, yang berhasil membuat Simbah tertawa.     

"Sukurin!" kata Simbah Romelah. Kompak benar kumpulan para Emak ini sekarang. Sepertinya, menjadikanku bulan-bulanan adalah tujuan mereka. Maklum saja, laki-laki yang kebetulan berada di sini aku saja. Sementara yang lainnya, memilih sibuk menebang pohon untuk kayu bakar dan sebagainya.     

"Kok seperti ndhak ada anak perawan saja. Jangan merusak anak orang, toh!" tambah Biung.     

"Lho, aku merusak anak orang siapa, toh, Biung? Aku kan ingin menikahi Ningrum, itu niat baik, lho... mulia," kubilang. Biung kembali memukul kepalaku dengan lontar.     

"Mulia Simbahmu itu! Dia itu masih kecil, masa depannya masih sangat panjang. Biarkan dia mengejar cita-citanya, biarkan dia sekolah setinggi-tingginya,"     

"Kan menikah sambil sekolah ndhak haram, Biung," timpalku lagi. Sebab kurasa, selepas SMU bisalah berumah tangga sambil kuliah, toh?     

"Arjuna!" marah Biung lagi. Rupanya, ideku buruk benar di mata Biung. "Aku paling ndhak suka dengan hubungan seperti itu."     

Ucapan Biung benar-benar menggangguku, apa maksudnya jika dia ndhak suka hubungan seperti itu? Apakah maksudnya jika dia menyesal jika dulu berhubungan di usia belia bersama Romo Adrian? Jika iya, berarti jika ndhak suka juga adanya aku di dunia ini?     

Kutatap wajah Biung yang wajahnya sudah merah padam, sepertinya, Biung benar-benar jengkel denganku. Dan menganggap jika apa yang kulontarkan adalah sebuah keseriusan. Padahal murni, itu hanyalah guyonan semata.     

"Bukankah Biung dulu seperti itu, toh?" kutanya, sambil mengamati ekspresi wajahnya.     

"Makanya Biung ndhak suka!" kata Biung dengan intonasi yang cukup tinggi. Aku benar-benar kaget dengan jawaban Biung itu. "Andai waktu dapat diputar kembali, Biung ndhak mau mengulang kesalahan yang sama. Biung ndhak akan mau menjadi perempuan bodoh untuk laki-laki dewasa yang telah memiliki istri. Karena cinta kami banyak hati yang harus dikorbankan, karena cinta kami banyak nyawa yang harus dikorbankan. Terlebih... banyak kebahagiaan hilang karenanya."     

Hatiku mendadak terasa sakit tatkala Biung mengatakan hal seperti itu. Apa maksudnya itu? Apa Biung menyesal jika dulu telah bersama dengan Romoku? Bukankah Biung sendiri yang bilang jika sampai kapan pun dia ndhak akan pernah melupakan Romo. Sampai kapan pun cintanya ndhak akan terganti.     

Kugenggam dadaku yang terasa nyeri. Mau bagaimanapun, jika Biung berkata menyesal itu bukan perkara yang bisa kuperjuangkan. Seendhaknya aku tahu, jika cinta Biung ke Romo Adrian mungkin benar-benar akan berubah jika waktu bisa terulang lagi. Dan aku pun ndhak menampik, bagaimana bisa biungku, biungku sendiri sudi menjadi simpanan dari seseorang yang telah memiliki dua istri. Gusti, aku ndhak bisa membayangkan jika aku hidup pada masa itu.     

"Bukankah kata Biung cinta Biung kepada Romo adalah kesalahan terindah yang ndhak bisa Biung lupakan? Apa sekarang Biung menyesal telah menikah dengan Romo, dan melahirkanku?"     

"Arjuna—"     

"Aku ada urusan, Biung. Aku pergi dulu," setelah kusunggingkan senyum sekilas aku pun pergi.     

Entah kenapa, hatiku benar-benar ndhak enak dengan ucapan Biung tadi. Atau mungkin, karena hatiku memang benar sedang ndhak menentu perkara Manis, makanya aku menjadi sedikit sensitif.     

Biung, maafkan aku. Bukan maksudnya aku ingin mengadili Biung sekarang, hanya saja dari cara bicaranya seolah kehadiranku ini adalah salah satu penyesalan terbesarnya. Andai Biung tahu, jika apa pun kesalahan Biung, dan Romo lakukan dulu. Aku benar-benar ndhak pernah sekalipun merasa malu. Aku ndhak pernah sekalipun merasa menyesal telah lahir dari rahim Biung, telah lahir dari buah cinta antara Biung, dan Romo. Ndhak peduli seberapa banyak orang menghujatku, aku benar-benar ndhak masalah.     

Lebih baik aku ke rumah Muri, melihat bagaimana bisnis yang dirintis Arni apakah sudah berjalan sukses apa belum. Beberapa minggu ini aku belum sempat ke sana, kusuruh Paklik Sobirin untuk membantu-bantu sedikit di sana. Kurasa, berbincang dengan Muri seperti pagi tadi lebih menyenangkan, dari pada berada di rumah Simbah Romelah. Sudah ditekan dengan pertanyaan kapan menikah, orang yang ingin kuajak menikah malah mau kawin dengan laki-laki lain. Ngenes!     

"Juragan, mau ke mana, toh? Kok ya buru-buru benar? Mobil Juragan ada di sana, lho," kata Paklik Sobirin, sedikit menunduk sambil menunjuk mobilku dengan jempol tangannya.     

"Aku jalan saja, lagi pula rumah Muri dekat dari sini," kujawab, sembari terus berjalan melewati ke arah Paklik Sobirin.     

"Saya ikut, Juragan!" teriak Paklik Sobirin. Aku yakin, dia cukup penasaran, kenapa aku tiba-tiba hendak pergi ke rumah Muri. Tapi, siapa yang akan peduli pikiran Paklik Sobirin?     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.