JURAGAN ARJUNA

BAB 29



BAB 29

0"Sepertinya aku telah salah paham padamu tentang kemarin itu...," kata Puri tatkala aku baru saja mau masuk kamar.     
0

Rupanya, perempuan ini masih berada di sini, toh. Tak pikir, dia sudah pergi sedari aku mengetusinya tadi. Oh, ndhak... tentu saja dia masih berada di sini, bukankah menikahi laki-laki kaya adalah tujuan utamanya? Bahkan, ndhak tahu malu seolah sudah menjadi wajah baru dari Puri. Jika aku berada di posisinya, aku pasti benar-benar sangat malu. Dan memilih mengurung diri di kamar atau sekadar melepas wajahku, atau apa pun itu.     

Aku tersenyum mendengar ucapannya itu. Seolah apa yang ia katakan kemarin itu hanyalah hal yang wajar. Perempuan memang begitu, ndhak akan pernah tahu betapa tinggi ego laki-laki, sehingga ucapannya menyakiti harga diri laki-laki mereka ndhak tahu diri meminta maaf dan merasa itu adalah hal yang lumrah.     

Dan lihatlah, dilihat dari sudut mana pun, bahkan dilihat dari matanya, dia sama sekali ndhak ada sekalipun rasa menyesal. Dasar, perempuan bermuka cobek, benar-benar ndhak tahu diri.     

"Jadi, bisakah kiranya aku meminta maaf akan hal itu? Sebab kurasa, seorang Juragan Besar sepertimu ndhak mungkin memiliki rasa dendam hanya karena hal sepele seperti itu, toh?" katanya lagi. Mendekat ke arahku hendak memegang dadaku.     

Aku langsung menoleh, menarik sebelah alisku sambil menatapnya yang benar-benar tanpa dosa. Lihatlah dandannya itu, benar-benar menor seperti perawan yang telah diperawani. Benar-benar bukan contoh seorang Ndoro yang baik dan benar bagi seorang putri dari seorang Juragan.     

Dan apa yang ia katakan tadi? Masalah sepele dia bilang? Gusti, bagaimana bisa kamu berikan napas kepada perempuan ndhak tahu diri sepertinya. Seharusnya, matikan saja dia sedari lama. Dari pada hidup hanya menjadi sampah masyarakat yang ndhak ada gunannya.     

"Kamu kok ndhak menjawab, toh, Kangmas? Ndhak usah seperti perempuan yang pendendam, toh, ya."     

"Aku bukan seperti perempuan pendendam. Hanya saja, aku ndhak betah dengan bau busuk mulutmu...," jawabku. "Baunya seperti sampah," sindirku lagi.     

Puri tampak tersenyum lagi, langkahku ke kamar langsung dihadang olehnya. Tubuhku dipeluk erat-erat, kemudian sambil menggesekkkan dadanya kepada dadaku. Benar-benar perempuan ndhak tahu malu. Apakah dia pikir, dengan melakukannya seperti itu aku akan langsung menerkamnya saat ini juga? Oh, jangan harap!     

"Ayolah, Kangmas. Kita bisa diskusikan masalah ini, toh? Di kamarmu juga ndhak masalah," godanya lagi, sambil memainkan rambutnya, kemudian sedikit bergoyang seolah dadanya adalah senjata andalan.     

Kutarik saja dia sampai masuk ke kamar, kemudian aku bersedekap. Melihat tingkah menjijikkannya itu. Coba lihat, apa yang hendak ia lakukan denganku di kamar ini.     

"Jadi, tunjukkan kepadaku tentang diskusi yang kamu maksud? Barangkali aku bisa berubah pikiran karena diskusimu itu," pancingku.     

Puri langsung tersenyum, kemudian dia meraba dada bidangku. Mulai membuka pakaiannya tanpa tahu malu. Kemudian dia berkedip nakal.     

"Aku jamin, Kangmas pasti suka," katanya percaya diri.     

Berjalan ke arah ranjang dengan tanpa busana, kemudian dia melambaikan tangannya kepadaku. Aku tertawa saja melihat tingkah murahannya itu. Lihatlah, terlihat sangat lihai, seolah-olah melayani laki-laki di atas ranjang adalah pekerjaan profesionalnya.     

Aku benar-benar ndhak habis pikir, bagaimana bisa kawan karib dari Biung memiliki putri semurahan ini. Dan yang semakin membuatku penasaran adalah, siapa gerangan orangtuanya dari perempuan ndhak tahu diri ini.     

"Lihatlah dirimu sendiri, betapa murahannya kamu. Jadi, katakan padaku berapa banyak pemuda yang kamu rayu dengan cara seperti itu?"     

"M... maksudmu, Kangmas?" tanyanya terbata, matanya melebar, seolah apa yang kutanyakan benar-benar di luar bayangannya sedari tadi.     

"Aku, Arjuna Hendarmoko. Meskipun kamu telanjang sekarang, atau menggodaku dengan cara apa pun. Aku ndhak akan pernah bernafsu untuk melayani perempuan rendahan, dan ndhak tahu diri sepertimu!"     

Aku langsung menutup pintu kamarku dari luar, melangkah lebar-lebar dengan amarah yang hampir saja meledak. Di depan sudah ada Biung, memandangku dengan tatapan bingung. Kemudian Biung membuntuti langkahku, membuatku terpaksa harus menghentikan langkahku.     

"Arjuna, ada apa? Kenapa wajahmu tampak kesal seperti itu, toh?" tanya Biung semakin penasaran, kuembuskan napas dalam-dalam untuk mengatur emosiku. Aku ndhak bisa membayangkan, bagaimana jadinya jika Bulik Amah, atau Bulik Sari masuk ke kamarku, kemudian mendapati perempuan sundal itu ada di atas ranjang tanpa memakai selembar kain pun.     

"Ndhak ada apa-apa, Biung. Hanya saja tadi aku melihat bangkai tikus yang sudah busuk di kamar."     

"Iya, toh? Mana? Biar kupanggil Sobirin untuk mengambilnya," kata Biung lagi.     

Aku pun menggeleng, kemudian kupaksa seulas senyum untuknya. Aku ndhak mau Biung tahu keburukan dari anak kawan baiknya itu. Sebab jika Biung tahu, hatinya pasti akan hancur. Karena bagaimanapun, Puri sudah dianggap Biung seperti putrinya sendiri.     

"Ndhak, Biung. Tikusnya sudah kubuang. Ohya, Biung dicari Romo di pelataran depan," dustaku. Karena kalau Biung masih di sini, pasti dia memaksa untuk masuk ke kamarku dan memeriksanya.     

"Masak, toh? Tapi--"     

"Iya, baru saja. Masalah penting," paksaku lagi. Untuk kemudian akhirnya Biung pun mengikuti langkahku, menuju ke pelataran depan. Padahal di sana, ndhak ada siapa-siapa.     

Aku melirik ke arah lorong, pintu kamarku tampak terbuka. Puri sudah keluar dengan pakaian lengkapnya kembali. Seketika aku langsung menyenderkan punggungku di dinding, lemas, benar-benar lemas. Seolah semua tubuhku remuk redam saat ini juga.     

Gusti, berat benar hidup ini. Dikelilingi perempuan-perempuan ndhak jelas seperti mereka. Rupanya, lebih mudah menjadi orang miskin, yang pasti menemukan cinta sejati tanpa peduli harta milik siapa. Bukan yang seperti ini.     

Aku kembali berdiri mengingat jika Biung berpesan untuk memberitahu Simbah Romelah jika Biung hendak bertemu. Bagaimana bisa aku sampai melupakan Simbah Romelah, padahal tadi dia menyuruhku untuk menjemputnya. Pastilah perempuan satu itu akan marah-marah denganku karena telah lama mengabaikannya.     

Aku segera keluar, rupanya Puri sudah ndhak ada di sini lagi. Di mana pun dia terserah saja, asal ndhak ada di sekitarku, ndhak tampak oleh pandangan mataku.     

Kupandang langit yang sudah tampak teduh. Rupanya, hari sudah sore. Paling enak jika ke rumah Simbah Romelah memakai ontel, sambil pasang senyum termanis untuk penduduk kampung. Siapa tahu, barangkali ada perawan yang lugu nan polos mau denganku. Ah, sudahlah, namanya juga usaha. Dari pada menunggu yang ndhak pasti, atau menunggu Ningrum sampai dewasa nanti. Omong-omong, kenapa pula aku begitu gemar menggoda Ningrum. Terlebih, menggodanya untuk menjadi istriku. Jujur, sebenarnya aku juga takut, jika gurauanku ini benar-benar akan diambil hati olehnya, pula oleh orangtuanya. Dan akan menjadikan hubungan kami renggang seperti tempo dulu. Namun begitu, rasanya ndhak seru juga kalau ndhak menggoda Ningrum barang sebentar. Entah, apa mungkin sudah kupikir, jika Ningrum terasa dekat denganku? Dia, sudah kuanggap seperti putriku sendiri.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.