JURAGAN ARJUNA

BAB 29 (B)



BAB 29 (B)

0Kuembuskan napasku dengan berat, tatkala melintas nama Manis di otakku. Manis, kenapa hanya sekelebat mengingatmu saja hatiku sudah begitu ngilu? Aku pernah punya mimpi yang benar-benar ndhak ada orang tahu, mimpi yang hanya kusimpan erat di dalam lubuk hatiku. Waktu dulu, saat aku pertama kali mengajaknya untuk bermain di kota. Manis tampak menatapku dengan malu-malu, untuk kemudian dia digoda oleh kawan-kawanku dari Jambi. Mungkin bisa dikatakan, jika saat itu secara ndhak sadar aku telah cemburu. Dan rasa cemburuku membuatku emosi kemudian membabi buta untuk hal ndhak menentu. Bahkan, kawan-kawanku teramat kaget dengan apa yang telah kulakukan kepada mereka, yang bertandang jauh-jauh ke Jawa untuk menemuiku.     
0

"Seharusnya kamu ndhak usah melakukan hal seperti itu, Juragan. Kamu tahu, karena ulahmu, malah membuat kawan-kawanmu merasa segan. Lihat mereka...," kata Manis menggerutuiku, sembari memperban tanganku yang terluka. Dia melirik ke arah salah satu kawanku yang saat ini tampak sebal, memandang ke arahku, sembari sesekali berdecak. Sepertinya, dia hendak mengemas barangnya, dan bersiap untuk kembali. "Mereka jauh-jauh bertandang ke sini, lantas kamu lakukan seperti itu. Apa itu sopan?" kata Manis lagi.     

Jujur, tatkala Manis mengatakan hal itu, hatiku juga benar-benar sakit. Di sisi lain mereka adalah kawan-kawan baikku, kawan yang selama ini selalu berada di sisiku sedari aku kecil sampai dewasa ini. Dan di sisi lain, aku juga ndhak tahu tentang apa yang telah kualami saat itu. Perasan emosi, dan bergejolak begitu nyata menguasai diriku. Bahkan panasnya, seolah membakar jantungku. Aku ini kenapa? Apa karena aku sayang kepada Manis layaknya sayangku kepada Rianti, lantas itu membuatku ndhak suka jika Manis digoda pemuda lain? Atau ada hal lain?     

Berengsek, memang!     

Ndhak mungkin....     

Itu adalah pikiranku saat itu, yang langsung kupatenkan sampai aku baru sadar akan perasaanku beberapa waktu yang lalu. Iya, mungkin aku hanya merasa nyaman, itu sebabnya aku merasa jika setiap kali bersama dengan Manis begitu terasa benar-benar bisa menghabiskan berjam-jam waktu dengan begitu mudahnya.     

Iya, mungkin aku sayang karena dia kawan dari adikku, itu sebabnya aku selalu ingin melindunginya segenap hati, dan jiwaku. Sama halnya jika aku ingin melindungi Rianti dari godaan pemuda-pemuda ndhak tahu diri itu.     

Tapi....     

Tapi, apakah hanya ingin menjadikan dia milikku sendiri itu menjadi perkara yang wajar? Terlebih, ciuman yang telah kita lakukan tatkala di pasar malam itu?     

Endhak, endhak! Ingat kamu, Arjuna! Apa, toh yang kamu pikirkan? Ndhak ada hal yang lebih konyol dari pada hal ini.     

Dan setelah menjernihkan pikiranku, aku buru-buru beranjak dari dudukku. Mendekati kawan-kawanku kemudian meminta maaf.     

Lagi, kuembuskan napasku tatkala mengingat hal itu. Andai saja aku ndhak keras kepala, dan mengikuti kata hatiku lebih awal. Andai saja aku bisa lebih peka dan jujur kepada diriku sendiri. Pasti, pasti perkara yang seperti ini ndhak akan terjadi. Pasti hubungan ini akan berjalan lebih mulus dari biasanya. Pasti hubungan ini ndhak akan aku lakukan sembunyi-sembunyi dari Romo, dan Biung. Dan pasti, pasti orangtuaku akan mengupayakan banyak hal untuk hubungan kami. Pula aku, pasti akan memiliki lebih banyak waktu dan cara untuk merayu agar bisa mendapatkan hati Simbah Manis. Namun sekarang? Semuanya sudah terlambat, semuanya sudah telat. Semua ini karenaku, pemuda yang selalu bimbang, pemuda yang terlalu berhati-hati dalam melangkah. Hingga akhirnya, semuanya menjadi bubrah (kacau), hingga akhirnya semua telah jadi salah kaprah.     

Aku terduduk tepat di teras depan rumah, padahal niatnya tadi, hendak mengambil ontel kemudian aku pergi ke rumah Simbah Romelah. Tapi, kenapa, tenagaku seketika terasa hilang, tubuhku seketika terasa lemas, bahkan untuk berdiri pun rasanya benar-benar ndhak sanggup. Lalu, apa yang harus kulakukan sekarang?     

Lagi, aku menghela napas panjang. Kulihat rembulan yang sudah menampakkan dirinya di ufuk timur. Sementara matahari sudah mulai kembali ke paraduannya. Rasanya, kisah cintaku seperti mentari itu, sudah tamat, atau malah sudah berakhir.     

Mataku menyipit, melihat sosok yang berdiri tepat di depan pagar kediamanku. Sosok itu ada dua, dan salah satunya benar-benar membuatku kaget bukan main.     

"Romo Nathan?" ucapku setengah bertanya.     

Samar, benar-benar samar, aku melihat sosok yang mirip sekali dengan Romo Nathan tampak berdiri memandangku di luar pagar rumah, sosok itu mengikat kedua tangannya di belakang punggung, mengenakan surjan lengkap dengan blangkon, dan selopnya. Sementara di belakangnya, ada sosok laki-laki lain, yang lebih tua dari pada sosok yang seperti Romo Nathan itu. Sosok itu menunduk, persis seperti abdi dalem yang berada di sisi juragannya.     

Aku menelan ludahnya, hendak berdiri untuk mendekat kepada sosok itu. Apakah itu Romo Nathan? Tapi jika iya, siapa gerangan laki-laki di belakangnya yang mirip abdi dalem itu? Dia, mengenakan laken (topi bundar, terbuat dari beludru), dan pakaiannya pun surjan juga. Meski tak semahal surjan yang dikenakan oleh sosok yang mirip Romo Nathan. Tapi jika benar dia adalah Romo Nathan, kenapa bisa? Bukankah selama ini Romo Nathan hampir ndhak pernah memakai surjan jika ndhak dipaksa Biung, atau untuk menghadiri acara-acara penting?     

Langkahku terhenti, saat kukerjapkan mataku untuk ketiga kalinya. Setelah sosok itu tersenyum dengan begitu ramah, sosok itu kemudian menghilang begitu saja bersamaan dengan kabut yang bergeser ke arah timur. Di mana gerangan sosok itu sekarang? Apakah yang kutemui benar-benar Romo Nathan ataukah... ataukah dia adalah....     

Gusti, kenapa bisa aku berpikiran sejauh ini? Bagaimana bisa aku berpikir jika sosok itu adalah Romo Adrian, serta abdi dalem paling setianya. Siapa? Paklik Marji? Ndhak... ndhak mungkin, mereka sudah tiada, dan aku yakin jika mereka sudah tenang di alamnya.     

Kuusap wajahku dengan kasar, kemudian aku berjalan ke arah gudang samping rumah untuk mengambil beberapa barang, sebelum aku mengambil ontelku.     

"Juragan Muda, katanya mau ke rumah Simbah Romelah. Ndhak jadi, ya?" tanya Bulik Sari, aku hanya tersenyum saja mendengar pertanyaannya. "Ndhak jadi?" tanyanya lagi.     

"Omong-omong, Romo Nathan ke mana? Apa dia sedang ada pertemuan penting sampai mengenakan surjan?" tanyaku pada Bulik Sari. Tapi, logat Bulik Sari agaknya bingung, kemudian dia mendekat ke arahku.     

"Juragan Nathan ada di dalam, sedang berbincang dengan Ndoro Larasati. Mereka bahkan sedang menikmati teh yang baru saja saya sajikan tadi. Lagi pula, Juragan Nathan sekarang sedang mengenakan kaus cokelatnya, Juragan. Beliau ndhak sedang mengenakan surjan, apalagi sedang menghadiri pertemuan penting apa pun, lho. Juragan Arjuna ini pertanyaannya ada-ada saja, toh."     

Kulihat, Bulik Sari pergi. Dan jawaban darinya benar-benar membuatku sadar jika apa yang kulihat tadi benar-benar bukan Romo Nathan. Pula aku yakin, jika itu adalah nyata dan bukan halusinasi. Namun, sosok itu siapa? Aku benar-benar ndhak tahu.     

"Ah, berangkat!" gumamku pada diriku sendiri, berjalan ke arah ontelku sambil memeriksanya sesekali. Barangkali ada yang rusak, atau ndhak bisa berjalan, dan lain sebagainya. Sebab sudah lama, ontel ini ndhak kupakai, pernah sekali dipakai oleh Paklik Sobirin, malah dibuat nyemplung ke kali. Dasar memang Paklik itu.     

Kalau aku berdiri di sini, apakah iya jika tiba-tiba Manis akan datang ke sini? Jika aku memutar tubuhku, bisa ndhak Manis akan berdiri di sana? Di depanku? Gusti, Gusti... kenapa Manis terus, Manis terus yang ada di pikiranku ini.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.