JURAGAN ARJUNA

BAB 31



BAB 31

0Setelah rasa heranku karena kedatangan Muri, aku pun mencoba bersikap biasa. Melanjutkan kegiatanku yang sempat terhenti, sampai Muri berjalan lebih dekat ke arahku.     
0

"Juragan Arjuna," katanya untuk sekian kali.     

Aku tersenyum saja, bingung harus menjawabi ucapan Muri seperti apa. Aku bukan Gusti Pangeran yang patut diberi ucapan seperti itu. Sebab apa yang kupunya hanyalah titipan semata.     

"Namun begitu, Muri, sebelum aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, aku masih belum bisa memastikan jika keluargamu baik-baik saja, beserta rumah, dan toko barumu itu. Jadi, nanti, kapan-kapan aku akan bertandang ke sana untuk sekadar minum kopi. Apa diizinkan?" kutanya. Muri malah tertawa. "Takutnya, nanti kamu kembali salah paham, kemudian mengira aku ingin merebut istrimu kembali. Kamu, kan, suami yang cemburuan," sindirku.     

"Tenang... tenang...," katanya, menepuk bahuku sambil terkekeh. Kukerutkan keningku ndhak paham, apakah ada yang lucu dariku sampai ia menahan tawa seperti itu. "Pemuda yang selalu gagal menjalin cinta sepertimu, benar-benar ndhak pantas untuk kucemburui!" sialan Muri, dia meledekku rupanya. "Lihat saja, tadi... kamu berpelukan dengan Manis, toh? Jenis pelukan apa itu? Pelukan perpisahan seperti itu?"     

"Cih! Jika kedatanganmu hanya untuk menghinaku, lebih baik enyah saja kamu dari hadapanku!" sindirku.     

Aku benar-benar dalam kondisi hati yang sangat buruk. Aku sedang butuh dukungan sekarang, tapi kenapa semua orang malah semakin bersemangat dalam urusan meledekku. Apakah membuatku semakin terlihat buruk merupakan hal yang membahagiakan bagi mereka?     

"Juragan, aku ini tipikal laki-laki pencemburu. Jadi dari pada kuberikan kamu saran yang menyesatkan, bukankah lebih baik aku mengatakan hal-hal tadi?" Muri tampak membela diri. "Sebab jika kamu mendengarkan saranku, aku yakin semuanya akan menjadi bubrah. Sebab bagiku, ndhak ada yang namanya cinta untuk merelakan, jika keduanya saling memendam rasa. Yang ada hanya, cinta harus diperjuangkan, bagaimanapun kondisinya. Kalau kamu cinta, paksa dia untuk tetap di sisimu, ndhak peduli siapa pun yang akan menentang hubunganmu dengannya. Jangan pernah biarkan kalian berpisah, kecuali lewat kematian."     

Aku merinding mendengar ucapan dari Muri. Rupanya benar, dari pada mendengarkan nasihatnya, lebih baik aku mendengar dia mengolok-olokku tadi. Bagaimana bisa ada manusia seambisius, dan seegois Muri? Ataukah, aku yang terlalu lengah dengan rasa cinta sampai bisa selembek ini?     

Kini Muri kembali tersenyum ke arahku, seolah dia menemukan ide cermelang untuk mengatakan sesuatu.     

"Lagi pula, menurut warta yang beredar dari Junet. Bukankah ada seorang Ndoro yang parasnya sangat luar biasa cantik yang sedang dijodohkan denganmu? Kemarin aku melihatnya,"     

"Lantas?" tanyaku hati-hati. Aku penasaran dengan apa yang hendak ia katakan.     

"Lantas? Kamu mau mendengar bagaimana aku menilai Ndoro dari kota itu?" tanyanya, aku mengangguk seadanya. "Sempurna...," katanya, yang berhasil membuatku menoleh ke arahnya. "Ya, jika dilihat dari fisiknya, sempurna adalah kata yang tepat untuk menggambarkan seorang Ndoro Puri, dan aku yakin kamu juga setuju akan hal itu, toh? Dia jenis sosok yang diciptakan Gusti Pangeran dengan sangat hati-hati, bahkan penggambaran setiap inci wajah, dan tubuhnya adalah detil sempurna dari pewayangan Jawa. Namun begitu,"     

"Nah, aku lebih penasaran dengan ini!" seruku semangat.     

"Matanya ndhak pernah bohong. Dia terlihat sedikit sombong, dan, yah... entahlah, aku ndhak bisa menjelek-jelekan calon istrimu itu, iya, toh?"     

Aku mencibir mendengar penuturan dari Muri, kupikir dia akan mengupas habis barang kali ada satu atau dua hal yang ia tahu, tapi nyatanya sama saja.     

Apa benar aku harus dengan perempuan sundal itu? Menikah dengannya? Apa benar jika aku, dan Manis benar-benar sudah berakhir sekarang?     

Kuembuskan lagi napasku, bingung sebingung-bingungnya, sampai aku sendiri ndhak tahu apa yang hendak kulakukan.     

"Kemarin aku pertmu dengannya, dengan memakai pakaian yang teramat lusuh," kucerita kepada Muri juga perkara ini. "Dan kamu tahu bagaimana perlakuannya kepadaku?" Muri memandangku serius, membuatku tersenyum kecut. "Dia, dan kawan-kawannya, menghinaku habis-habisan. Mengataiku pemuda gembel dengan bau sebusuk sampahnya. Bahkan dia bilang, aku ndhak jauh berharga dari sandal jepit di rumahnya. Apa menurutmu aku harus menikahi perempuan bermulut seperti itu?" tanyaku.     

Kini Muri tampak menundukkan kepalanya, sepertinya dia maklum dengan apa yang kukeluhkan kepadanya sekarang.     

"Sebenarnya, perihal jika dia pernah tidur dengan pemuda mana pun, itu sama sekali ndhak jadi masalah. Hanya saja, aku benar-benar ndhak bisa bersama dengan perempuan yang bahkan mulutnya seperti ndhak bisa disekolahkan. Terlebih lagi, niatnya menikah denganku bukan perkara cinta. Melainkan perkara hartaku semata. Aku jadi ndhak bisa membayangkan, bagaimana nanti jika suatu saat aku jatuh miskin? Pasti, dia adalah orang pertama yang meninggalkanku kalau aku jadi menikah dengannya."     

"Dan sepertinya, umurnya cukup panjang untuk itu," kata Muri. Sambil menunjuk gerombolan permepuan dengan ekor matanya.     

Empat perempuan seperti yang kulihat kemarin di Berjo. Sebuah pemandangan yang mungkin jika aku ndhak tahu perilaku mereka adalah pemandangan yang maha indah. Tapi, aku sudah terlalu malas untuk meladeni mereka ini.     

Puri tampak bersemangat, berjalan mendekat ke arahku. Disusul dengan dua kawannya, sementara kawannya yang lain yang asli Berjo, memilih untuk tinggal di tempat, wajahnya sama seperti beberapa waktu yang lalu. Takut, dan sungkan. Lebih-lebih ketika aku memandangnya.     

"Puri, ada apa, toh? Kenapa kamu mendekat ke sini?" tanya salah satu kawannya yang menyorakiku kemarin itu. Kemudian, dia memandangku sedikit kaget, membuatku memutar mataku. "Oh, pemuda lusuh waktu itu? Dapat pakaian bagus dari mana, dia? Jangan-jangan mencuri pakaiannya orang kaya."     

Gusti, sabar... sabar pantat lebar.     

"Diam kamu, Lis!" marah Puri. Dia sudah tahu siapa aku, makanya dia sok seperti itu. Coba saja kemarin, pasti dia juga sama saja seperti kawannya, akan mengulitiku.     

Aku berjalan mengabaikan mereka, tapi Puri terus saja berusaha mengejar. Tatkala aku sudah berada dekat di depan kawannya yang dari Berjo itu, kawannya menunduk dalam-dalam.     

"Juragan, maafkan aku," dia bilang. Aku hanya tersenyum tipis, menepuk bahunya kemudian melangkah pergi lagi.     

"Kangmas!" teriak Puri, beserta dua kawannya yang tampak pontang-panting, karena langkahku yang lumayan lebar. Sementara mereka, tampak kesusahan dengan rok ketatnya.     

"Apa kamu ndhak malu dilihat banyak orang terus mengejarku seperti ini?" kataku pada akhirnya.     

"Iya, lho, Puri. Buat apa toh mengejar dia? Pakai manggil dia Kangmas segala," kata kawannya lagi.     

"Diam kamu!" bentak Puri lagi.     

Kupandangi mereka yang kini sedang berdebat sendiri, rasanya lucu juga. Seperti ayam-ayam di pelataran belakang rumah tatkala berebut mengambil beras, dan jagung yang diberikan oleh Bulik Amah.     

"Juragan! Juragan Arjuna!"     

Aku menoleh, tatkala mendengar suara Paklik Sobirin berseru memanggilku. Sementara kedua kawan dari Puri, tampak kaget bukan main, memanggilku dengan nama Juragan Arjuna.     

"J... jadi dia?!" pekiknya, yang disikut dengan kasar oleh Puri. Mungkin, Puri jengkel. Tapi siapa peduli.     

"Juragan ini jalan kaki dari rumah ke rumah Bulik Romelah kenapa lama benar, toh? Juragan tahu, ndhak, kalau barang yang Juragan bawa itu sudah ditunggu Ndoro Larasati sedari tadi untuk dimasak,"     

Aku bersedekap mendengar omelan dari Paklik Sobirin. Lancang benar orangtua satu ini mengomeli Juragannya, terlebih ini di depan banyak orang. Apa dia sudah bosan hidup, atau sudah bosan bekerja karena kerbaunya sudah terlalu banyak di rumah?     

"Paklik, lancang benar kamu memarahiku seperti ini? Apa kamu sudah bosan bernapas di dunia ini?" tanyaku.     

Paklik Sobirin langsung menundukkan kepalanya. "Maaf, Juragan, saya hanya terbawa suasana. Mana, barangnya biar saya bawa, Juragan jalan saja," katanya kemudian, mengambil barang-barang yang sedari kubawa, kemudian aku berjalan mendahuluinya. Bercakap dengan Muri, dan mengabaikan keberadaan perempuan-perempuan lelembut itu.     

Sekarang aku tebak ekspresi wajah mereka pasti terlihat semakin kaku. Dan betapa mereka merasa bersalah kepadaku sampai mereka bahkan ndhak bisa tidur karenanya. Terserah, aku ndhak peduli. Yang jelas, setelah hal ini, jika nanti aku bertemu dengan mereka, aku akan benar-benar membuat perhitungan. Aku akan membuat hidup mereka bagai di neraka. Agar mereka tahu dengan jelas, siapa Juragan Arjuna yang sebenarnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.