JURAGAN ARJUNA

BAB 33



BAB 33

0Aku diam saat Paklik Sobirin mengatakan hal itu. Dari pada melarangnya, toh lebih baik jika ada dia. Jadi ada kawan berbincang. Kalau endhak nanti dia akan banyak ucap, terlebih banyak ucap di depan Romo Nathan, dan Biung.     
0

"Bagaimana usaha Arni, apakah semuanya lancar, Paklik? Tadi pagi kutanya Muri, katanya masih belum sepenuhnya selesai berbenahnya."     

"Oh, itu...," kata Paklik Sobirin, mencoba menyamai langkahku, napasnya sedikit tersengal. Kurasa, dia sedang kelelahan. Kupelankan langkahku agar bisa menyamainya, setelah dia mendongak sejenak, dia pun melangkah dengan biasa kembali. "Lancar, Juragan, terlebih Arni kini juga sudah mulai membuka warung sembakonya sedari beberapa hari yang lalu. Hanya saja... hanya saja...." katanya tampak bingung.     

"Hanya saja apa, toh, Paklik? Bangkrut, apa bagaimana?" tanyaku penasaran. Kebiasaan benar Paklik Sobirin ini, kalau ada masalah itu ndhak langsung diberitahukan kepadaku, malah berucap latah-latah. Lak yo aku ini ndhak paham, apa yang hendak ia sampaikan.     

"Hubungan Muri, dan Arni sedikit memanas, Juragan."     

Aku langsung menghentikan langkahku tatkala Paklik Sobirin mengatakan hal itu. Apa maksudnya dengan memanas? Aku benar-benar ndhak paham.     

"Memanas bagaimana, toh, Paklik? Bukankah kemarin semuanya baik-baik saja? Bahkan, keduanya telah berjanji untuk merubah tabiat buruk mereka? Terlebih, tadi pagi baru saja dia bilang kalau dia berterimakasih kepadaku. Kok tiba-tiba Pakilik bilang kalau hubungan keduanya memanas itu, lho. Wah, jangan-jangan Paklik Sobirin sekarang menggantikan posisi Bulik Suminten, yang tukang gosip itu," kutanya, sambil kulempar sindiran kepadanya. Benar, dia ini seperti koran, dan warta-warta yang ada di radio serta televisi. Paling cepat kalau urusan gosip-gosip di kampung. Ohya, di zamanku ini sudah ada televisi, meski kebanyakan salurannya masih hitam—putih.     

Paklik Sobirin tampak mengangguk-anggukan kepalanya, seolah ingin mengatakan suatu hal yang sejalan dengan pertanyaanku tadi.     

"Benar apa yang Juragan katakan jika mereka telah berjanji merubah tabiat mereka, Juragan. Namun sepertinya, rupanya godaan selalu datang bagi para pejuang, toh."     

"Maksud Paklik? Ada orang ketiga? Atau Muri masih ringan tangan lagi?" kutanya. Paklik Sobirin malah tersenyum.     

"Nanti, Juragan bertanya saja kepada Muri."     

Bedebah benar orangtua satu ini, ndhak mau bilang malah menyuruhku bertanya sendiri kepada Muri. Lalu kenapa pula dia harus repot-repot memberi warta seperti itu, seolah membuatku penasaran adalah hal yang paling membahagiakan baginya. Kutebas kemejaku kemudian aku kembali berjalan mendahuluinya. Aku cepat-cepat menuju rumah Muri, biarkan jika Paklik Sobirin ngos-ngosan. Biarkan dia berlali sendiri, rasakan! Memang enak, berani-beraninya bermain-main dengan Juragan Arjuna Hendarmoko!     

"Maumu itu apa, toh, Arni? Sudah kubilang, jaga jarak. Ndhak usah terlalu dekat-dekat dengan bedebah-bedebah berotak busuk itu, aku ndhak suka!"     

Kudengar sayup-sayup suara Muri bernada tinggi, seperti ketika dia bertengkar dengan Arni dulu. Aku lantas cepat-cepat untuk mendekat, namun ndhak mau juga menjadi penengah lagi di antara mereka. Sebab sejatinya, itu adalah masalah mereka berdua. Urusan rumah tangga mereka.     

Kuhela napasku dalam-dalam, rasanya benar-benar sangat menyebalkan. Belum ada sebulan mereka baikkan, masak iya ada masalah yang membuat mereka bertengkar lagi? Ndhak bisakah mereka barang sebentar menahan ego mereka untuk kelangsungan rumah tangga mereka? Apakah membahas, dan menyelesaikan suatu perkara harus wajib dengan adu mulut dan pertengkaran yang ndhak ada ujungnya? Atau malah, aku yang selalu sok tahu jika semuanya bisa dibicarakan baik-baik tanpa ada ribut yang menganggu? Sebab bagaimanapun, aku masih lajang adanya. Aku belum menikah dan berumah tangga. Jadi, sangat salah jika aku menghakimi sikap Muri, dan Arni saat ini. Namun begitu, di rumah aku hampir ndhak pernah melihat Romo, dan Biung bertengkar. Mereka selama ini terlalu adem, ayem dan romantis, sampai-sampai membuatku sebal, dan iri. Kapan, ya, aku bisa seperti mereka.     

"Kangmas, kurasa kamu itu telah keliru. Keliru menilaiku, Kangmas!" timpal Arni. Suaranya juga sedikit meninggi, seolah Arni tengah membela dirinya sendiri. Menegaskan jika benar dia bukan perempuan murahan seperti apa yang telah dituduhkan Muri kepadanya.     

"Kamu tahu bagaimana pandangan mata para laki-laki hidung belang itu terhadapmu? Bahkan, tampak benar dengan jelas di mataku, kamu digoda dan kamu diam saja, Arni! Aku kecewa denganmu tentang itu." marah Muri lagi. kukerutkan keningku semakin bingung. Digoda? Para lelaki? Apakah sekarang Muri sedang memperkarakan pengunjung lelaki yang sedang membeli keperluannya di warung istrinya? Dasar Muri ini, mau berapa lama dia akan hidup dalam bayang-bayang kecemburuan yang amat mendalam? Dia sadar betul, jika istrinya itu benar-benar ayu, dia sadar betul jika istrinya itu tubunya sangat molek. Tapi mbok ya dilihat-lihat, Arni ini perempuan setia, mana mungkin akan tergoda oleh laki-laki lain. Dasar Muri ini, sepertinya aku harus memberitahunya pelajaran tentang sebuah kepercayaan, agar dia bisa sedikit lebih percaya diri atas dirinya sendiri. Jika dia, adalah pemilik sah dari Arni, dan yang paling berhak atas Arni lebih dari soapa pun di dunia ini.     

"Lho, mereka kan pengunjung di sini. Wajar toh jika penjual ramah dengan pembelinya? Toh mereka pun sudah tahu kalau kamu adalah suamiku. Lantas, apa salahnya dengan ini, Kangmas? Kamu terlalu pencemburu!"     

Nah, betul sekali apa kata Arni. Kali ini aku bangga dengan Arni. Tumben benar dia berani membantah. Padahal dulu, jika Muri sedang cemburu seperti itu, yang dia lakukan hanya menunduk diam, kemudian menangis. Jadilah perempuan yang bisa menjaga dirimu sendiri, mencari kebenaranmu sendiri, meski itu dengan suami. Ndhak ada salahnya membantah jika kamu hendak meluruskan atas kebenaran yang ada, bukan hanya diam dan jadi yang tersalah. Sebab seorang laki-laki, sekali ia merasa menang atas apa yang diargumenkan, selamanya akan terus bersikap seperti itu. Ndhak mau membuka mata, jika istri juga ada benarnya. Bukan hanya karena laki-laki tulang punggung keluarga, lantas mereka bisa semena-mena.     

"Halah!" bantah Muri ndhak mau kalah. Dasar bedagul!     

"Aduh!!"     

Aku langsung menoleh tatkala Paklik Sobirin berteriak, bahkan Muri, dan Arni pun sama.     

"Lho, ada apa, Paklik?" tanyaku khawatir. Darah segar keluar cukup deras dari mata kaki Paklik Sobirin. Dan ada luka menganga cukup lebar di sana. Duh Gusti, Paklik Sobirin ini, bagaimana ceritanya dia bisa terluka, toh!     

"Aku terkena beling, Juragaaaan!" teriak Paklik Sobirin sambil menahan tangisnya.     

Duh Gusti, kenapa kok bisa sampai kena beling, toh, orangtua satu ini. Mungkin matanya sudah burem, makanya ndhak bisa lihat pecahan beling sebanyak itu di sana.     

"Sini... ayo, Paklik...," kubilang. "Makanya, toh, kalau kemana-mana pakai sendal. Suka benar nyeker itu, lho, kena beling toh sekarang," nasihatku. Sembari memapahnya untuk masuk ke pelataran rumah Muri, dan kududukkan Paklik Sobirin di dipan yang ada di ujung kanan rumah Muri.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.