JURAGAN ARJUNA

BAB 34



BAB 34

0Iya, Paklik Sobirin ini benar-benar. Kata Romo Nathan, sedari bersamanya dulu, sampai detik ini ndhak pernah sekalipun memakai sendal jepit. Apalagi pakai sepatu. Kalau musim hujan, Bulik Sari, dan Bulik Amah suka menggerutu. Sebab, lantai kediamanku pasti kotor karena kaki Paklik Sobirin. Padahal, di samping pintu telah disediakan segentong air untuk cuci kaki. Tapi tetap saja, ndhak bersih sama sekali.     
0

"Duh Gusti, Paklik... bagaimana toh kok bisa itu, lho," kata Arni. Mengabaikan pertengkarannya dengan Muri, kemudian membantu memapah Paklik Sobirin untuk duduk.     

Paklik Sobirin tampak meringis menahan sakit yang ia tahan dari luka yang tampak menganga. Aku bahkan bisa merasakan, bagaimana nyeri dan perihnya luka itu. Bakal ndhak mandi berhari-hari itu pasti Paklik Sobirin. Sebab selain ndhak pernah memakai sendal, Paklik Sobirin juga terkenal manusia yag paling malas mandi. Jadi ndhak usah heran, jika penampilannya sedikit kumal. Kumal-kumal begitu, kerbaunya banyak, lho.     

"Orang suka ndlamak ya seperti ini, toh. Kena beling, untung kakinya ndhak terkena kotoran kerbau-kerbaunya yang banyak itu," sindirku.     

"Juragan...." Paklik Sobirin hendak menggerutu, tapi yang ada dia malah memandangiku dengan kedua mata yang sudah merah itu. Aku yakin, dia mati-matian menahan sakit. Ketahuilah, Paklik Sobirin adalah laki-laki yang paling ndhak bisa terluka. Jangankan dirinya sendiri, lha wong pas Bulik Amah lahiran saja, dia yang meraung-raung ketakutan melihat istrinya kesakitan hendak melahirkan.     

"Lagi pula, untuk apa kalian kok ya berada di samping rumahku dengan cara mengendap-endap seperti itu? Kalian sedang mengintipku?" tanya Muri. Rupanya, dia telah mencurigaiku, dan Paklik Sobirin telah menguping pertengkarannya dengan Arni tadi.     

"Dari pada mengintip dirimu lebih baik aku mengintip perawan mandi, pisang ulin mau diintip apanya!" seruku. Muri tampak melotot. "Aku sedang menyaksikan keseruan sepasang suami-istri memadu kisah kasih mereka. Tampak jelas begitu sangat saling sayang dan akur," sindirku. Sambil melirik ke arahnya, kemudian kembali fokus pada kakinya Paklik Sobirin.     

"Cuih!" kata Muri. Tampaknya, dia benar-benar emosi. "Arni ini, bokongnya ditoel-toel laki-laki hidung belang, ndhak suka aku! Jualan macam apa itu? Dia sedang membuka toko sembakau, dia bukan penjual jamu yang dengan mudah digoda laki-laki sialan, toh," cerita Muri. Oh, jadi ceritanya seperti itu. Aku jadi seidkit paham sekarang kenapa Muri sampai emosi seperti ini. Bahkan jika itu aku, aku juga akan melakukan hal yang sama. Atau malah, mematahkan tangan laki-laki ndhak tahu diri yang telah menoel bokong istriku.     

"Bukan seperti itu," bantah Arni dari dalam, sambil membawa air yang ditaruh di dalam bak, beserta lapnya. Membersihkan luka Paklik Sobirin, kemudian berjalan mengambil tumbuhan yodium untuk diteteskan kepada kaki Paklik Sobirin. Paklik Sobirin tampak menggeram, menahan rasa sakit yang teramat perih itu. Aku yakin, rasanya cukup lumayan. Nanti, pasti tubuhnya akan panas dingin. "Mereka kan hanya pembeli, masak iya aku harus jaga jarak, memarahi setiap pembeli toh. Yang ada jualanku ndhak laku."     

"Tapi, ya ndhak harus begitu juga, Arni. Tampak jelas itu mereka merayumu, mata, dan tangan mereka itu—"     

"Sudah... sudah, kalau Muri cemburu ya sudah, tutup saja tokonya. Beres, toh?" kataku akhirnya memberi ide. Muri, dan Arni pun tampak terdiam. Lha, bagaimana? Buka toko malah menimbulkan perkara apa gunanya? Bukankah lebih baik ditutup saja asal hubungan mereka adem-ayem? Bukankah yang terpenting sekarang itu adalah kelanggengan hubungan mereka di atas apa pun juga? Mereka telah melalui masa sulit. Dan aku ndhak mau mereka bertengkar lagi hanya karena masalah seperti ini. Toh, masih banyak usaha lain yang bisa dilakukan selain berjualan di warung yang akhirnya akan merusak hubungan mereka.     

"Dik Arni, adakah minyak tanah? Aku butuh satu liter," tampak seseorang yang ndhak kutahu namanya siapa membeli seliter minyak tanah. Seorang laki-laki berewok, yang tampak ndhak sopan karena ndhak menyapa barang sebentar kami yang ada di sini. Dia langsung nyelonong begitu saja tanpa permisi.     

"Oh, ada... sebentar," jawab Arni. Berjalan masuk ke dalam toko kecilnya kemudian menakar apa yang dibeli oleh laki-laki tersebut.     

"Lihat saja, kamu laki-laki, kamu lebih pantas menilai apa yang dilakukan laki-laki itu benar apa endhak," kata Muri.     

Kulirik laki-laki tadi yang telah masuk di toko kecil milik Arni. Dia mendekati Arni yang sibuk memasukkan minyak tanah ke dalam botot. Laki-laki itu mendekat, membisikkan sesuatu yang berhasil membuat Arni tampak kaget. Setelah itu, dia meremas bokong Arni kemudian pergi dengan sebongkah senyuman.     

Kurang ajar!     

Pantas jika Muri sampai semarah itu. Laki-laki itu benar-benar telah berlaku kurang ajar. Andaikan aku ada di posisi Muri, bukan hanya marah. Aku akan memotong tangan lancang laki-laki biadab itu saat ini juga.     

"Berapa banyak?" kutanya Muri.     

Dia langsung menendang dipan yang ada di depannya, kemudian meludah tepat di depan laki-laki itu hendak pergi.     

"Ndhak usah kembali lagi, Bangsat! Mati sana kamu!" sumpah serapah Muri. Dia hendak memukul laki-laki itu tapi Arni menahan, membuat Muri melepas paksa genggaman Arni dan itu berhasil membuat Arni tersungkur.     

"Kangmas apa-apaan, toh! Kamu sudah berjanji, Kangmas. Kamu telah berjanji untuk ndhak cemburuan, dan main tangan lagi! Tapi kali ini, kamu telah melanggar semua janjimu!"     

"Diam kamu, Arni! Apa kamu buta sampai ndhak bisa melihat bagaimana tatapan laki-laki sialan itu terhadapmu? Apa tubuhmu ndhak merasa jika bokongmu telah disentuh olehnya, hah!"     

"Kangmas!"     

"Arni, kamu itu salah," kataku pada akhirnya.     

Arni tampak diam memandangku dengan tatapan nanarnya. Dia seperti ndhak percaya jika saat ini aku membela Muri.     

"Kangmas, apa yang kamu katakan? Aku salah? Aku... aku hanya melayani pelangganku. Aku ndhak ada niat apa pun selain itu. Lantas kenapa aku yang disalahkan di sini?"     

"Karena kamu ndhak bisa menjaga diri. Karena kamu ndhak bisa tegas. Ingat, kamu itu telah memiliki suami, memiliki anak-anak pula. Bagaimana jika anak-anakmu melihat kejadian tadi? Apa yang mereka pikirkan terhadapmu? Ingat, Arni... ini bukan lagi di warung Mbah Masirah, yang mana dulu kamu dipekerjakan sebagai pelayan yang digoda oleh orang-orang. Ini adalah toko sembakaumu sendiri, ini adalah harga dirimu sendiri. Jika bukan kamu yang menjaganya demi dirimu, dan suamimu, lantas siapa lagi?"     

Arni langsung masuk ke dalam kamarnya tanpa mengatakan apa pun. Sementara Muri, diam membisu sambil menampilkan wajah lesu. Kurasa, Muri sedang mati-matian meredam amarahnya yang membuncah.     

"Kamu harus sabar," kubilang.     

"Sepertinya aku ndhak bisa," katanya.     

Entah, apa maksud dari semua itu, aku ndhak begitu paham. Karena ini benar-benar bukan ranahku. Lebih baik aku segera pulang untuk membawa Paklik Sobirin ke tempat mantri. Takut jika lukanya semakin buruk.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.