JURAGAN ARJUNA

BAB 36



BAB 36

0Aku diam sejenak untuk memikirkan masak-masak perihal perkataan Romo, kemudian kugaruk alisku yang mendadak gatal.     
0

Jujur, untuk perkara itu, aku sudah tahu meski hanya garis besarnya saja. Yang kutahu adalah, dulu, Biung menjadi simpanan dari Romo Adrian yang telah memiliki dua istri. Untuk selebihnya, aku ndhak tahu. Bahkan, akhir dari kisah cinta polemik mereka aku ndhak tahu. Sebab yang kutahu, Biung dan Romo Adrian akhirnya menikah, saat telah hamil aku. Itu saja, ndhak kurang, dan ndhak lebih. Kuhelakan napasku mendengar penuturan Romo. Kepalaku pusing benar. Bagaimana aku bisa memperkenalkan perempuan yang kucinta jika dia akan menikah orang lain? Dasar Romo ini.     

"Lho... lho, Kang Sobirin!" teriak Bulik Amah yang berhasil membuatku, dan Romo Nathan menoleh.     

Aku, dan Romo segera menuju kamar Paklik Sobirin, kemudian kami melihat Bulik Amah langsung duduk di bawah, memegang kaki Paklik Sobirin sampai Paklik Sobirin meringis kesakitan. Aku bahkan bisa membayangkan, bagaimana rasa sakit itu kaki dicengkeram dengan cara seperti itu.     

"Sakit ini, lho," keluhnya. Wajah Paklik Sobirin tampak pucat pasi, sementara keningnya penuh dengan keringat. Aku yakin, Paklik Sobirin benar-benar kesakitan sekarang ini. Dia ndhak sedang berduka.     

"Kamu kenapa, Kang? Kok ya sampai seperti ini kakinya terluka itu lho? Kamu habis dari mana?" tanya Bulik Amah tampak cemas. Duh, bahagia benar Paklik Sobirin, diperhatikan oleh perempuan yang dia cinta. Sama halnya dengan Romo Nathan. Kapan, ya, aku bisa merasakan seperti itu? Bahkan sekadar membayangkan saja, hatiku rasanya kembang-kempis.     

"Tadi Paklik ngintip orang kelon, Bulik. Ndhak sadar di belakangnya ada tumpukan beling. Jadi mengenai mata kakinya, dan itu cukup dalam. Untung ndhak diamputasi," godaku. Pasti akan ada peperangan hebat antara Paklik Sobirin, dan Bulik Amah. Coba saja!     

"Salah... salah, apa kata Juragan Arjuna salah. Ini, karena aku sedang mengejar Juragan Arjuna ke rumah Muri tadi. Jadi ndhak sadar kalau ada tumpukan beling, dan aku terluka. Percayalah, Amah," jelas Paklik Sobirin seolah ketakutan jika istri tercintanya salah paham.     

Iya, Bulik Amah ini adalah perempuan yang cukup seram. Dulu, pernah, Paklik Sobirin dipaksa oleh Paklik Junet ke warung remang-remang, Bulik Amah ndhak sengaja tahu. Dan kalian tahu kisah mereka seperti apa? Bulik Amah mematahkan ranting pohon, dan berlari mengejar Paklik Sobirin yang terbirit-birit dari Berjo sampai Kemuning. Kalian bisa bayangkan, bagaimana itu. Di tengah malam pula.     

"Iya, Bulik... percaya saja, suamimu ndhak berdusta," kubilang lagi. Ndhak tega, kalau nanti Paklik Sobirin dianiaya oleh Bulik Amah. Terlebih, dia sedang terluka seperti ini.     

Bulik Amah mengangguk, kemudian dia mengelus kaki suaminya. Beranjak pergi mungkin untuk mengambil obat atau minuman, mungkin.     

"Arjuna...," aku menoleh, kini Biung yang ada di sini. Memandangku dengan pandangan cemasnya. Dan hanya kujawabi dengan senyuman simpul. "Kenapa selarut ini kamu baru pulang? Kamu marah dengan Biung?" tanyanya. Aku menggeleng.     

"Sudah ndhak usah dibahas hal yang ndhak penting. Lebih baik, duduk di sini melihat bagaimana luka di kaki Sobirin akan membusuk," kini Romo Nathan yang menjawabi. Sepertinya, melihat abdi dalemnya menderita, adalah sebuah kebahagiaan tersendiri untuk Romo Nathan.     

"Lho, kenapa dengan kaki Sobirin?" tanya Biung.     

"Terkena beling, Biung. Salah sendiri kemana-mana ndhak pernah mau pakai sendal," kujawab. "Untung baru beling, coba kalau ranting tajam, bisa tembus itu kakinya satu,"     

Biung tampak memerhatikan kemudian tersenyum simpul kepada Paklik Sobirin. "Makanya, toh, kamu ini mbok ya pakai sendal apa sepatu selop seperti itu, lho. Biar kakinya ndhak kenapa-napa. Kalau seperti ini, kamu sendiri yang sakit, toh? Tunggu... tunggu, aku ada salep ampuh, lho untuk mengobati luka seperti ini. Tunggu sebentar," kata Biung. Sibuk benar dia rupanya. Perhatian, mungkin itulah yang membuat para abdi dalemnya nyaman.     

"Ndhak usah, Ndoro. Ini, sudah dapat banyak obat ini lho, dari mantri tadi," jawab Paklik sungkan. Memang, Biung ini auranya benar-benar beda. Meski ndhak sedang berlagak menjadi seorang Ndoro Putri pun, auranya ini lho, terasa bikin orang sungkan untuk sekadar melihatnya.     

"Ndhak usah bantah," kata Biung keras kepala. Pergi ke kamarnya, kemudian kembali lagi sambil membawa sebuah salep yang wadahnya berbentuk seperti balsem. "Ini besok setelah mandi oleskan, nanti lak cepat sembuh," katanya. Duduk di sebelahku kemudian melingkarkan tangannya di lenganku. Kugenggam erat tangan Bing, kemudian kucekup sekilas. Sambil memandang Paklik Sobirin yang masih tampak jelas jika ia sedang kesakitan.     

"Maafkan Biung," katanya, sambil mengelus lenganku kemudian menciumnya.     

Kurengkuh tubuh Biung, kemudian aku menangguk. Bagaimana bisa aku marah dengannya, sosok Biung yang terlampau sempurna di mataku.     

"Ndhak ada kata maaf jika kita memiliki hubungan, toh, Biung? Jadi, ndhak perlu melakukan hal itu. Biung ndhak salah, aku yang salah...," kubilang. "Omong-omong, di mana perawan cerewet satu dunia itu? Kok ndhak tampak?" kutanya. Tumben rumah sepi, setelah ada Rianti, biasanya rumah selalu ada gelak tawa. Ramai terus.     

"Adikmu itu sedang menginap di rumah Manis. Membantu menyiapkan beberapa hal di sana. Maklum, pernikahannya tinggal sebentar, jadi Manis butuh kawan berunding," jelas Romo.     

"Oh ya, Juna... besok, antarkan Manis ke kota untuk membeli beberapa bahan untuk kebayanya. Sepertinya, bahan yang kemarin itu sudah ketinggalan zaman, toh."     

"Duh, Biung... Paklik Junet saja, ya, jangan aku."     

"Kamu ini kawannya, kamu ndhak membantu sama sekali, lho, Juna. Bahkan, selama ini, mana lihat Biung kamu pergi ke rumah Manis barang sekali. Ndhak pernah sama sekali."     

"Tapi, Biung—"     

"Pokoknya besok harus, titik!"     

Duh Gusti, harus apa aku ini kalau Biung sudah berkata seperti itu. Bahkan, perintahnya seolah mutlak harus aku lakukan.     

"Baik, Biung, baik. Akan kuusahakan, ya. Demi Biung, juga demi Manis, kawan tercintaku itu. Sekarang sudah puas?" tanyaku, Biung tampak tersenyum, kemudian memelukku semakin erat.     

"Begitu, toh, ini namanya baru anak Biung."     

Halah-halah, Biung ini. Kalau aku mau saja, dipuji-puji selangit. Kalau ndhak mau sedikit saja bakal diomel-omel sampai kuping panas.     

Rianti yang melihatku, dan Biung pun langsung mencibir. Memeluk Biung dengan sangat erat, seolah dia ndhak rela jika Biung hanya menjadi diriku seorang.     

"Ini Biungku, bukan Biungmu! Hus, hus! Sana, toh, jauh-jauh!" katanya, setengah mengusirku, layaknya mengusir kucing yang hendak mencuri ikan. "Lagi pula, Kangmas ini, jadi anak laki-laki kok ya manja benar, toh. Sedikit-sedikit minta peluk, sedikit-sedikit minta cium. Kangmas ini usianya berapa? Bayi di bawah lima tahun?" ejeknya lagi.     

"Kenapa? Masalah dengan usiaku? Ya terserah aku, toh, mau aku manja, mau aku ndhak manja. Kok ya kamu yang repot, itu, lho. Di mana-mana, aturannya, anak laki-laki itu dekatnya dengan Biung, dan anak perempuan dekatnya dengan Romo. Tapi...," kataku sengaja kugantung, sambil melirik ke arah Rianti. "Sepertinya kamu itu apes, Dik. Bagaimana endhak, lha wong Romo, dan Biung dekatnya dengan aku semua."     

"Kangmas!"     

"Apa, toh? Panggil-panggil? Rindu?"     

"Jijik!"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.