JURAGAN ARJUNA

BAB 38



BAB 38

0"Arni... Arni tewas, Juragan!" teriak Paklik Sobirin dengan mata melototnya.     
0

Kebohongan macam apa ini? Arni tewas? Apakah Paklik Sobirin tengah mengerjaiku sekarang? Bukankah kemarin Arni baik-baik saja? Dia sehat, dan segar bugar. Lantas, bagaimana bisa Paklik Sobirin mendustaiku seperti ini. Dadaku mendadak terasa sesak, bahkan aku ndak kuat lagi untuk berdiri. Andai saja, jika Paklik Sobirin ndhak sigap menangkap tubuhku, mungkin aku telah terjatuh saat ini juga. Ndhak, ndhak... aku ndhak boleh percaya dengan ucapan Paklik Sobirin, dia pasti tengah berbohong, itu pasti!     

"Kamu—"     

"Arni tewas, Juragan... Arni, dan Muri telah tewas!!" tambah Paklik Sobirin seolah ingin meyakinkanku.     

Dan penuturannya itu malah semakin membuat tubuhku lemas ndhak berdaya. Ndhak hanya Arni, tapi yang diwartakan tewas oleh Paklik Sobirin adalah Muri juga. Bagaimana bisa? Apa Paklik Sobirin punya dendam denganku perkara kakinya beberapa waktu yang lalu? Lantas sekarang ia ingin membalasnya dengan guyonan yang benar-benar menyebalkan seperti ini?     

"Ndhak usah ngawur kamu, Paklik! Ucapanmu itu lho jaga!" marahku. Rasanya ingin sekali kupukul wajah menyebalkannya itu. Wajah yang mendadak paling kubenci di dunia ini. Bagaimana memuakkan mimik wajahnya yang panik, dan ketakutan itu. Bagaimana nanar matanya yang histeris itu.     

Paklik Sobirin langsung berlutut di bawah kakiku, kutahu jika kedua tangannya gemetaran. Bahkan, keringat dingin tampak jelas membanjiri tubuhnya sekarang. Apa... ini nyata?     

"Mereka benar-benar telah tewas, Juragan. Mereka... mereka ditemukan warga dengan kondisi mengenaskan! Arni... sepertinya Arni telah digorok seseorang. Bahkan... bahkan anak laki-laki mereka ikut tewas, Juragan!"     

Dadaku terasa sesak, kepalaku tiba-tiba terasa begitu berat. Badanku terhuyung ke belakang, namun Manis dengan siaga menahanku. Ini benar-benar ndhak mungkin. Bagaimana bisa keluarga Muri berakhir sepert ini? Lantas, siapa gerangan yang telah tega membunuh mereka? Bukankah Muri terkenal dengan kepiawaiannya berkawan dengan siapa pun? Siapa yang tega membunuh semua orang yang ada di keluarga itu?     

Ndhak... ndhak ini ndhak mungkin. Aku langsung terduduk dengan kedua kakiku yang gemetar hebat. Ndhak mungkin. Hanya dengan membayangkan betapa bahagia wajah Muri, dan Arni waktu mereka bisa bersatu, hanya membayangkan senyum Ningrum, dan kakangnya ketika melihat orangtuanya akur benar-benar membuatku hancur-lebur.     

Bahkan baru sebentar mereka berdamai, baru sebentar mereka saling mengerti satu sama lain. Baru sebentar....     

Gusti, ini benar-benar sakit. Bahkan hatiku pun ikut sakit. Bagaimana bisa Arni telah pergi, bagaimana bisa kawan baruku pun telah pergi. Mereka benar-benar ndhak pantas untuk pergi sekarang, mereka ndhak pantas untuk pergi secepat ini! Bedebah mana yang berani membunuh kawanku? Siapa! Maka aku akan membunuh mereka semua dan kukeluarkan rongga dalamnya saat ini juga!     

Lantas, jika Muri, Arni, dan Kakang Ningrum telah tewas. Bagaimana kondisi Ningrum? Bagaimana dengan gadis kecil ndhak berdosa itu?     

"Paklik, bagaimana dengan Ningrum? Dia baik-baik saja, toh?" tanyaku. Jangan, semoga Ningrum ndhak apa-apa. Jika gadis mungil itu ikut tewas, maka hancurlah duniaku saat ini juga.     

"Sepertinya, sepertinya Ningrum baik-baik saja, Juragan," terang Paklik Sobirin. Dadaku mengeluarkan napas lega, bahkan ada sedikit kekuatan yang seolah dipaksa bangkit dari dalam jiwaku. Kekuatan sebagai insting untuk segera mencari Ningrum, mendekapnya, dan melindunginya dari siapa pun yang hendak menyakitinya.     

"Bawa... bawa aku ke sana, Paklik."     

Aku terbata hendak mencari tempat untukku bisa berdiri, kemudian Paklik Sobirin membantuku. Memapahku dengan sangat sabar.     

"Paklik, bantun aku ke sana. Bawa aku ke sana untuk mencari Ningrum, dan melihat keadaan kawanku, Paklik!" kataku lagi.     

Tapi, saat aku hendak pergi. Tanganku langsung ditahan oleh Biung. Dengan cepat Biung berdiri di depanku sambil merentangkan kedua tangannya lebar-lebar.     

"Arjuna!" kata Biung, dan Manis bersamaan. Oh, ternyata, Manis telah mencari Biung, pantas beberapa saat tadi aku ndhak melihat keberadaannya.     

"Tubuhmu lemas ini, lho, Juna. Apa iya kamu ndhak apa-apa ke sana? Apa kamu bisa? Maksud Biung, Biung takut kamu ndhak kuat jika ke sana sendiri. Apa perlu Biung suruh Romomu untuk menemani?"     

"Yang dikatakan oleh Ndoro Larasati benar, Arjuna. Kamu harus ada yang dampingi. Paklik Sobirin masih belum sehat. Jadi, harus ada seseorang lagi yang mendampingimu."     

"Aku ndhak apa-apa," kujawab. Kuabaikan saja mereka, jalan terburu untuk segera berada di rumah Muri. Sesekali aku tersandung, bahkan tubuhku terhuyung. Tapi, semuanya aku ndhak peduli. Aku harus bisa sampai ke sana saat ini juga!     

Ndhak sampai sepuluh menit aku pun sampai di sana. Tangis Ningrum terdengar begitu menyakitkan. Ditambah kerumunan orang-orang yang ada di sana. Aku yakin, mereka pun terkejut. Bagaimana bisa kejadian seburuk ini terjadi. Dalam kehidupanku sebagai Juragan di sini, baru kali ini ada kejadian yang sangat mengerikan seperti ini. Dan terlebih lagi, orang-orang itu adalah kawanku sendiri. Gusti, ini apa? Apakah ini suatu cobaan bagiku, atau apa, Gusti? Jelaskan!     

"Emaaaak! Bapaak! Kakang! Bangun, bagaimana kalian tega meninggalkanku dengan cara seperti ini! Apa salah Ningrum! Apa salah Ningrum sampai kalian tega pergi dengan cara seperti ini! Kalian bilang Ningrum ndhak boleh nakal. Ningum ndhak nakal, pulang sekolah Ningrum ndhak main tapi langsung pulang. Kalian bilang Ningrum ndhak boleh iri dengan kawan-kawan Ningrum yang mengenakan rok baru, yang memiliki mainan-mainan baru. Sebab, nanti jika Ningrum dewasa dan bisa bekerja, maka Ningrum bisa membelinya sendiri. Tapi... tapi kenapa kalian tega meninggalkan Ningrum sendiri di dunia ini! Kenapa!!! Ningrum ndhak ingin kaya, Ningrum ndhak ingin rumah mewah, ndhak ingin rok-rok baru, bahkan ndhak ingin mainan baru. Yang Ningrum inginkan hanyalah kalian hidup, kalian bersama dengan Ningrum!" sungguh, jeritan Ningrum benar-benar merobek-robek ulu hatiku. Aku hancur, aku sakit, mendengar teriakan Ningrum yang menyayat hatiku ini. "Baru kemarin... baru kemarin Romo, dan Biung janji kepadaku kalau kalian ndhak akan bertengkar lagi! Baru kemarin kalian berjanji kepadaku kalau kita akan hidup bahagia selamanya! Lantas ini apa? Kalian tega meninggalkan Ningrum sendiri di sini! Romo! Biung! Kakang! Bawa juga Ningrum! Ajak Ningrum bersama kalian! Ningrum ndhak mau di sini sendiri! Ningrum ndhak mau sendirian!"     

Suasana terlihat begitu hening. Aku yakin para warga kampung pun merasa iba dengan keadaan Ningrum sekarang. Bahkan, beberapa perempuan yang ada di sana, tampak terisak melihat kejadian ini. Sementara hatiku, ndhak usah ditanya. Hatiku telah hancur sehancur-hancurnya sekarang. Bagai dikuliti, kemudian diberi bara yang menganga.     

Aku berjalan mendekat ke arah Ningrum, yang masih bersimpuh di antara mayat keluarganya. Dia masih terisak, menggenggam erat tangan-tangan yang sudah mulai kaku itu.     

"Ndhuk, ikutlah pulang dengan Bulik. Akan Bulik rawat kamu seperti anak Bulik sendiri," tawar beberapa perempuan yang ada di sana. Tapi, Ningrum masih diam. Dia benar-benar ndhak mengatakan sepatah kata pun.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.