JURAGAN ARJUNA

BAB 39



BAB 39

0Kuulurkan tanganku padanya, Ningrum tampak terpaku. Melihat uluran tanganku namun dia ndhak berani untuk mengangkat wajahnya. Tubuhnya bergeming, bahkan ndhak bergerak sedikit pun. Sesekali kudengar isakan itu dengan begitu nyata. Hanya benar-benar memandang telapak tanganku, tanpa berniat untuk melihat wajahku sama sekali.     
0

"Ikutlah denganku, Ndhuk. Percayalah, semuanya akan baik-baik saja."     

Setelah mendengar suaraku, Ningrum langsung mendongakkan wajahnya. Dia langsung memeluk kakiku seolah aku ini adalah dewa penolongnya. Lagi, Ningrum menangis histeris. Seolah ketakutannya tumpah ruah sekarang. Aku berjongkok, kubawa Ningrum ke dalam dekapanku. Tubuhnya bergetar hebat, tampak jelas dia sedang benar-benar terguncang sekarang.     

"Juragan.... Juragan, kenapa bisa Bapak, Emak, dan Kakang tega melakukan ini, Juragan! Aku sendirian sekarang!" teriaknya semakin histeris.     

Kuelus lembut punggungnya, sampai getaran-getaran hebat itu berangsur tenang. Kukecup puncak kepalanya, kemudian kuraih wajah mungilnya dengan tanganku. Kuusap air mata yang membanjiri pipi mulusnya. Aku, ndhak akan pernah meninggalkannya sendiri mulai dari sekarang.     

"Masih ada aku, toh, Ndhuk? Mulai sekarang, aku yang akan melindungimu. Jadi, katakan kepadaku. Kepada Juraganmu yang bagus ini, siapa gerangan yang telah berbuat keji ini kepada keluargamu, Ndhuk?" tanyaku.     

Lagi, Ningrum memeluk erat tubuhku, kemudian tangan kirinya menyelipkan sesuatu di saku kemejaku. Untuk sesaat dia diam membisu di tengah isakannya, dan ndhak mau mengatakan apa-apa.     

"Bapak... Bapak yang melakukan ini, Juragan," jawab Ningrum dengan terbata. Kukerutkan keningku mencoba mencerna jawabannya. Apa? Bapak? Apa maksud dari Bapak? Apa maksudnya yang melakukan semua ini adalah Muri?     

Napasku bagai ditarik sampai ke ubun-ubun. Aku benar-benar ndhak bisa berpikir panjang sekarang. Muri? Apa benar Muri yang melakukan ini? Bukankah, bukankah dia korban juga di sini? Namun jika apa yang dikatakan oleh Ningrum benar, untuk apa Muri melakukan semua ini? Membunuh orang-orang yang begitu dicintainya. Kenapa? Kenapa Muri sampai tega berbuat seperti ini?     

"Bapak... Bapak menyuruhku memberikan surat ini kepada Juragan," lanjut Ningrum. Kemudian dia tiba-tiba terkapar di pangkuanku. Dengan mata sembab dan tubuh selemah ini.     

Lagi, aku kembali meringis menahan dadaku yang mendadak terasa sakit. Bagaimana bisa, anak sekecil ini merasakan sakitnya ditinggalkan dengan cara yang mengenaskan? Sungguh, ini adalah perkara yang benar-benar kejam.     

"Tolong bantu proses pemakamannya. Untuk urusan biaya, dan yang lainnya aku yang akan mengatasinya," putusku pada akhirnya, meminta tolong kepada para warga kampung untuk merawat tubuh ketiga mayat ini untuk terakhir kali.     

Aku berdiri, sambil membawa Ningrum ke dalam gendonganku. Memandang lagi mayat Muri, Arni, dan Kakang Ningrum yang terkapar dengan cara sadis. Sungguh ironi, bagaimana bisa sampai seperti ini? Sungguh, aku benar-benar ndhak bisa membayangkan, bagaimana bisa orang-orang yang kusayang sekarang telah hilang. Arni, sampai kapan pun kamu adalah kambojaku. Perempuan yang benar-benar kukagumi sepanjang waktu. Kamu adalah lambang perempuan kuat yang sejati, yang bisa berdiri tegak meski seluruh dunia menghujani duka. Layaknya kamboja, dia sangat cantik bermekaran. Meski itu di tengah-tengah kuburan. Namun kenapa, Arni. Kenapa? Bagaimana bisa kambojaku pergi begitu saja? Ndhak seharusnya kamu melakukan ini, ndhak seharusnya kamu membiarkan masalahmu dan Muri sampai berakhir seperti ini. Bagaimana bisa, kamboja memilih bangkai untuk akhir hidupnya? Bagaimana bisa, kamboja yang mekar mewangi memilih gugur untuk mengharumkan makam tuannya. Jujur, aku hancur... hancur karena keputusan kalian ini.     

"Baik, Juragan!" jawab kompak warga kampung. Kuusap kasar air mata yang menetes di pipiku, kemudian kucari di mana gerangan Paklik Sobirin berada.     

"Paklik Sobirin, tolong panggilkan Paklik Junet. Untuk mengurusi masalah ini. Aku akan membawa Ningrum untuk pulang terlebih dahulu. Semoga, dia ndhak tergoncang karena kejadian ini."     

Aku hendak pergi, tapi mataku enggan meninggalkan sosok ayu yang kini tampak terbujur kaku itu. Lehernya tampak terluka cukup dalam, dengan sayatan yang panjang. Dulu, aku sangat mengaguminya, bahkan bisa dikatakan jika aku sangat mengaguminya. Namun bagaimana bisa, kisah hidupnya ndhak pernah bahagia? Seolah kemalangan, selalu saja menjadi bayang-bayangnya. Bahkan, sampai mati pun, harus dengan cara seperti ini. Mati di tangan suaminya sendiri.     

Arni, sampai kapan pun aku ndhak akan pernah melupakanmu. Bagaimana pun kamu tetap menjadi bagian yang berarti dalam hidupku. Kamu, mengajariku banyak hal tentang hidup, mengajariku banyak hal tentang cinta. Kamu tahu Arni, hidupmu ibarat sekar kamboja yang gugur sebelum mekar. Dan semoga, bahagiamu berada di sana. Di nirwana bersama dengan suamimu tercinta.     

*****     

Saat ini pemakaman Arni, Muri, dan anak laki-lakinya sudah selesai. Ningrum pun sudah mendapat beberapa obat dari mantri. Sebab Ningrum tubuhnya mendadak demam tinggi. Untung sekarang sudah mulai tenang, ia sedang beristirahat di kamar Rianti bersama dengan siempunya kamar. Kata Rianti, biar Ningrum berada di kamarnya saja. Sebab, dia ingin menjaga anak malang itu. Sebagai kawan, atau katanya sebagai seorang saudara yang mengurus saudranya tatkala sakit. Untuk urusan itu kuserahkan kepada Rianti, karena kuliahnya memang jurusan merawat orang sakit.     

Sekarang aku sudah kembali ke kamar, duduk dengan persaan yang campur aduk. Aku benar-benar ndhak tahu apa yang akan kulakukan setelah ini. Sebab semuanya seolah hancur seketika di depan mataku. Kugenggam tanganku dengan kedua tangan, sambil kepalaku menunduk dalam-dalam. Pikiranku kosong, hatiku kosong, jiwaku kosong. Bahkan untuk sekadar memikirkan pernikahan Manis semakin dekat pun aku sama sekali ndhak minat. Aku benar-benar ndhak habis pikir, tentang jalan pikiran Muri, tentang keputusan Muri sampai melakukan hal ini. Jika iya dia begitu mencintai Arni, kenapa dia tega? Apakah Muri memiliki semacam penyakit kejiawaan dari lahir? Yang mana dia terlalu terobsesi kepada sesuatu dan ndhak ingin orang itu dimiliki siapa pun, itu makanya dia melakukan ini semua? Tapi, aku benar-benar ndhak melihat gerak-geriknya yang membuatku curiga. Selain sifat mudah marah, dan cemburunya yang sangat luar biasa.     

Muri, masih ingat dengan jelas tatkala kamu mencariku beberapa waktu yang lalu. Bahkan kamu mengejarku hanya sekadar untuk berterimakasih, dan menceritakan begitu banyak kemajuan dalam rumah tanggamu. Kamu bahagia, aku tahu itu. Terlihat jelas dari sorot matamu. Kamu ingin berubah, aku juga tahu itu. Tapi kenapa, di saat kamu mulai melangkah ke jalan lebih baik, kamu malah kembali, dan menjadi lebih mengerikan dari pada yang aku bayangkan? Kenapa, Muri? Kenapa aku ndhak bisa menebak jalan pikiranmu? Kenapa aku ndhak bisa barang sebentar untuk tahu, apa yang sebenarnya hatimu mau. Kenapa, Muri? Katakan kepadaku kenapa?     

Aku baru ingat jika tadi Ningrum memasukkan sesuatu di saku kemejaku. Tatkala kuambil, secarik kertas yang terkena bercak darah. Secarik kertas yang bentuknya sudah ndhak karu-karuan. Kulihat kertas itu, tampak penuh tulisan tangan seseorang. Aku yakin, ini adalah tulisan tangan dari Muri.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.