JURAGAN ARJUNA

BAB 42



BAB 42

0Kuputar bola mataku mengabaikan ucapannya, tapi berhasil membuatnya semakin emosi dengan menarik rambutku yang ada di depan telinga. Kalian tahu rasanya, duh... sakit benar!     
0

"Lha apa urusanmu, toh, Jeng Rianti? Kok ya kamu yang repot itu, lho! Kalau Ningrumnya mau kenapa? Aku siap lahir batin mengawininya!" kataku mengolok-oloknya. Lihatlah bagaimana ekspresinya, lucu sekali.     

"Sekali lagi Kangmas bilang seperti itu, akan kuadukan sama Biung!"     

"Dasar tukang ngadu!" cibirku. Memang, adikku satu ini, kalau urusan mengadu kepada Biung, dialah jagonya!     

"Dasar ndhak laku. Sefrustasi itu toh kamu, Kangmas, sampai mencari daun yang bahkan belum sempurna menjadi muda untuk kami kawini? Duh, duh, duh.... kebelet kawin benar!" sindirnya lagi.     

"Mending aku laki-laki ndhak laku. Lha kamu, umurmu memangnya sudah berapa? Kenapa kamu ndhak kawin-kawin juga. Kamu itu perempuan, lho. Mau sampai kapan ndhak mencari calon suami? Kamu mau onderdilmu itu menjadi karatan karena pelumasnya mengering baru kawin!" ledekku. Gusti, sepertinya aku sudah keterlaluan kali ini. Semoga saja Rianti ndhak ambil hati, sebab kalau endhak, aku bakal dimusuhi, bukan hanya dengan Rianti, tapi Biung juga. Repot!     

"Kangmas!!!" teriaknya, sambil menghentak-hentakkan kakinya.     

"Jeng Rianti!!!" balasku lagi, masih menggodanya. Karena bagiku, hal yang paling menggemaskan dari adikku ini adalah, tatkala ia jengkel seperti ini. Wajah putihnya seketika merona, bibir ranumnya yang penuh mengerucut menjadi begitu mungil. Sementara mata bulatnya tampak melotot, dengan alis hitamnya yang bertaut. Aku saja sampai heran, kenapa gerangan pemuda ndhak ada satu pun yang mau mendekati adik tercantikku ini, toh.     

"Biung! Kangmas ini lho, nakal! Masak dia bilang kalau aku ndhak menikah onderdilku akan karatan!"     

Lihat, toh, ada Biung, pastilah dia mengadu seperti anak kecil. Sudah menjadi kebiasaan, sedari dulu sampai sekarang ndhak hilang-hialng. Padahal ingat, berapa umurnya sekarang. Dasar!     

"Dia duluan, Biung. Mengatakan hal yang ndhak pantas di depan Ningrum. Masak dia bilang kalau rambut bawahku akan beruban tapi kelakuan masih ndhak jelas."     

"Rianti, Arjuna! Kalian ini seorang Juragan, dan Ndoro, lho! Mbok ya kalau bicara itu yang pantas. Terlebih, di depan anak kecil ini lho. Duh, ngawur benar. Bagaimana kalau ada orang yang mendengar pembicaraan kalian yang ndhak pantas ini? Mau ditaruh di mana muka Biung ini, toh!" kata Biung membuat kami berdua diam.     

Kami pun menoleh ke arah Ningrum, terdengar jelas suara kekehan dari mulut mungilnya. Apakah, dia tertawa karena ulahku, dan Rianti? Jika benar, ya syukur sekali.     

Biung melepaskan pelukan Rianti, kemudian dia mendekat ke arah Ningrum. Membuatku menggeser posisi dudukku. Biung memeluk Ningrum dengan sayang, kemudian ia mengusap pipi mulus Ningrum.     

"Bagaimana, Ndhuk? Apa kamu sudah baik-baik saja? Kamu betah, toh, tinggal di sini? Mulai sekarang anggap ini sebagai rumahmu, ya... dan mereka ini, meski seperti anak kecil, tapi percayalah, mereka paling sayang benar dengan anak kecil. Apalagi, yang sangat manis sepertimu, Ndhuk."     

"Biung, aku hendak mengangkat Ningrum sebagai anakku," kubilang, ini adalah keputusan yang kuambil dengan pertimbangan masak-masak, dan aku yakin dengan sadar atas keputusanku ini.     

Biung, dan Rianti menoleh, pula dengan Ningrum. Aku yakin, mereka hendaknya kaget. Atau bahkan, Biung, dan Romo telah merencanakan untuk mengangkat Ningrum menjadi anak mereka.     

"Ningrum berkata padaku, bagaimana bisa seseorang yang ndhak memiliki ikatan bisa disebut keluarga. Bisa kujelaskan di sini, Ndhuk, jika penuturan emakmu adalah keliru. Di dunia ini semua orang adalah keluarga, keluarga yang diciptakan oleh Gusti Pengeran. Pula adanya juga orangtua sambung, itu pun adalah keluarga, meski ndhak memiliki hubungan darah. Ndhak selamanya yang ndhak memiliki ikatan darah adalah orang lain. Sebab, bukan hanya darah yang satu-satunya pengikat, akan tetapi hati.... hati adalah kunci yang paling penting untuk menghubungkan orang satu, dan yang lainnya. Iya, toh, Ndhuk?"     

"Juragan...."     

"Jadi, apa kamu bersedia menjadi anak angkatku mulai dari sekarang? Dan jangan lagi panggil aku Juragan. Romo, panggil aku Romo, Ndhuk."     

Ningrum mengangguk kuat-kuat. Tangisannya kembali terpecah, Biung memeluk Ningrum dengan begitu erat. Sepertinya, Biung merasakan betul kesedihan yang dialami oleh Ningrum.     

"Kamu ndhak sendiri, Ndhuk, kamu ada kami. Kami adalah keluargamu, ya," katanya.     

Kupeluk Rianti yang memelukku, sepertinya dia terharu dengan suasana saat ini. Atau bahkan, dia malu karena hendak menangis. Kukecup pipinya, matanya kembali melotot sambil mengusap-usap pipinya bekas kecupanku. Dasar, perempuan ini, siapa nanti laki-laki yang betah dengan tingkahnya.     

"Kangmas, mboknya ndhak usah cium-cium. Aku ini sudah dewasa, lho, sudah besar! Ndhak boleh dicium oleh sembarang laki-laki selain calon suamiku!" marahnya.     

"Halah, kayak punya calon suami saja. Tak adukan sama Romo, lho, ya, kalau kamu ndhak mau dicium sama Romo!" ancamku. "Lagi pula, ciumanku ini membawa berkah. Jadi, sejak kapan kamu ndhak mau dicium oleh Kangmasmu yang buagusnya kelewat batas ini?"     

"Kangmas!"     

"Sudah, sudah! Duh Gusti, pusing kepalaku. Anak dua saja kok ribut terus kalau dekatan ini lho!" kata Biung yang tampak hilang sabar. "Sekarang, ayo kita ke rumah Manis. Pernikahannya sudah menghitung hari, banyak hal yang harus disiapkan."     

"Sana, pergi, yang jauh, ndhak usah bali!" kataku kepada Rianti.     

"Kamu juga ikut, Arjuna!" marah Biung.     

"Tapi, kan—"     

"Ikut! Ningrum juga."     

"Tapi—"     

"Arjuna!!!"     

Aku hanya bisa mengangguk mendengar perintah mutlak dari Kanjeng Ndoro Putri Larasati yang terhormat itu. Memangnya, siapa yang berani membantahnya. Bahkan, sekelas Romo pun akan tunduk di bawah kakinya. Yah, ke rumah Manis. Malas benar aku bertandang ke sana, jika kalau bisa, aku lebih memilih sakit muntaber, sakit typus, atau katisen sekalipun asalkan ndhak bertandang ke rumah Manis. Terlebih ketika harus bertemu dengan Simbah Manis. Salah satu jenis manusia yang paling kubenci di dunia.     

Rianti, dan Ningrum telah berjalan keluar mengikuti langkah Biung. Tapi, aku masih duduk di dipan. Tatkala aku hendak mengambil posisi tidur, tanganku langsung disambar oleh Rianti, seolah dia menahanku untuk tidur, dan segera keluar sekarang juga.     

"Kangmas! Biung bicara apa, tadi? Biung menyuruhmu apa?" katanya, dengan mimik wajah melototnya. Kuhela napasku sambil masih malas-malasan, tapi Rianti langsung menggeretku. "Pergi, ndhak! Apa kamu ndhak mau melihat Manis untuk terakhir kali?" tanyanya kemudian.     

"Lantas setelah aku bertemu dengannya untuk terakhir kali, lalu apa? Kamu ingin aku terlihat begitu menyedihkan di hadapan simbahnya Manis karena telah gagal mempersunting cucu tercintanya itu?" kataku.     

Rianti langsung memukul kepalaku, kemudian dia berkacak pinggang. "Kangmas, Kangmas ini ingat Kangmas siapa?" tanyanya, yang berhasil membuatku bingung. "Kangmas itu adalah seorang Juragan, calon Juragan Besar ndhak hanya di kampung ini. Tetapi juga di seluruh nusantara akan mengenal siapa Kangmas. Jadi, bersikaplah seperti itu. Bersikaplah sepertiku tatkala berhadapan dengan orang luar. Aku adalah Rianti Hendarmoko, seorang Ndoro Putri yang agung, ndhak ada satu orang pun yang boleh mengotori busanaku, apalagi sampai mengusik hatiku. Ndhak ada orang yang pantas menyakitiku, apalagi melukai perasaanku. Karena mereka, orang-orang yang ndhak pantas diperlakukan layak, dan ndhak pantas untuk mendapatkan sikap kerendahan hati oleh seorang Ndoro Putri sepertiku. Kangmas sekarang paham?"     

Aku diam mendengar ucapan dari Rianti. Faktanya memang benar, aku dan dia memiliki pandangan beda, meski kami sama-sama saudara. Aku yang ndhak pernah tegaan dengan orang, yang selalu memandang diriku serta manusia lainnya sama. Sementara dia, terlalu sadar diri akan takdirnya menjadi seorang Ndoro Putri. Sikapnya yang kadang angkuh, dan ndhak sadar telah menyakiti orang pun kadang membuatku ndhak suka. Tapi, untuk saat ini apa yang telah dikatakan Rianti adalah benar adanya, untuk menghadapi Simbah Manis, aku cukup menjadi seorang yang ndhak dapat disentuh olehnya meski itu hanya sekadar hinaan semata. Ya, aku harus membuktikan kepada tua bangka itu!     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.