JURAGAN ARJUNA

BAB 44



BAB 44

0Minto diam, tapi aku yakin, lewat tatapannya yang busuk itu, tersimpan banyak amarah di sana. Dia membenciku, oleh sebab itu dia ingin sekali untuk mengulitiku, mungkin. Tapi aku ndhak peduli, persetan dengan siapa? Toh, di mataku dia ndhak ubahnya seorang laki-laki mata keranjang yang ingin menjebak seorang perempuan demi hasrat berahinya. Dengan dalih, jika dia memiliki banyak harta, dan pasti harta itu akan membuat semua perempuan bahagia. Bangsat!     
0

"Sudahlah, percuma aku bicara panjang lebar dengan laki-laki tua ndhak tahu diri ini," kubilang. Sambil kutepuk bahu Manis yang berdiri mematung di sampingku. Dan membiarkan Minto memakiku jika ia mau. "Manis, kamu sudah bodoh karena memilih laki-laki ini menjadi calon suamimu. Namun, cukuplah kebodohanmu itu untuk ndhak lagi diinjak-injak oleh laki-laki ndhak tahu diri ini. Kamu bisa memilih pemuda mana pun di dunia ini. Jadi, jangan biarkan martabatmu sebagai perempuan direndahkan olehnya. Ndhak pantes," ucapku lagi. Keluar dari kamar Manis kemudian pergi. Bodoh jika Manis terus meneruskan pernikahan ini. Bukan perkara aku cemburu, hanya saja sebagai orang yang masih waras, aku cukup tahu mana yang baik dan ndhak baik secara nyata.     

Lebih baik, aku berada di dapur. Untuk sekadar menggoda Simbah Romelah atau untuk bercakap dengan perempuan-perempuan tua yang lucu-lucu. Atau kalau ndhak begitu, ngopi di dipan depan kurasa lebih bagus dari pada mataku harus sepet melihat wajah jelek Minto. Bahkan hanya dengan melihatnya saja, mataku seperti tertular virus mematikan. Apa Manis ndhak jijik, toh, dengan Minto. Aku yang laki-laki saja ndhak bisa membayangkan, menghabiskan malam pertama, dan malam-malam selanjutnya dengans seranjang dengan laki-laki seperti Minto. Sudah wajahnya buruk, baunya itu lho, duh Gusti... ndhak enak sekali.     

"Romo, kenapa wajahnya ditekuk seperti itu, toh? Memangnya, Romo habis melihat apa?" tanya Ningrum. Baru saja aku masuk ke dapur, anak manisku ini sudah bertanya seperti itu. Memang, dia yang paling peka dari semuanya. Bahkan jika kondisi hatiku buruk pun, dia yang paling tahu. Gusti, beruntung benar aku memiliki anak gadis seperti Ningrum. Seendhaknya, di saat semua orang ndhak peduli, terlebih Manis, masih ada dia, yang setia di sisiku sampai kapan pun itu.     

"Romo tadi habis lihat genderuwo, Ndhuk. Hiii serem, wajahnya seperti bokong wajan yang ndhak dicuci satu tahun, hidungnya seperti lubang pawon itu, sementara baunya itu, lho, ndhak betahi. Bau lebus. Kamu tahu, toh, bau lebus? Bau khas kambing yang ndhak pernah mandi," jawabku. Sambil menunjuk pawon yang digunakan untuk memasak orang-orang.     

"Jelek benar, toh, Romo. Lha kenapa Romo kok malah sebal? Apa Romo habis bertengkar dengan genderuwo jelek itu?" tanyanya lagi. Mendengarnya banyak tanya seperti ini membuatku bahagia. Seendhaknya, dia sudah kembali menjadi Ningrum biasanya. Semoga, dia ndhak sedih-sedih lagi. Sebab aku telah berjanji dalam hatiku pada Muri, dan Arni, jika akan kujaga Ningrum, ndhak hanya tubuhnya dari disakiti orang, akan tetapi hatinya. Bahkan, senyumnya. Ndhak akan kubiarkan satu orang pun yang berani menghapus senyum putriku.     

"Kamu ndhak tahu saja, Ndhuk. Tadi, aku habis tarung sama genderuwo ndhak tahu diri itu. Aku habis tinju sama dia," kataku membangkitkan suasana, dengan mimik wajah yang kubuat-buat, dan seserius mungkin, tentunya.     

"Pasti Romo kalah," ejek Ningrum. Aku ndhak menyangka, lho, ini, kalau putri yang baru saja kusanjung-sanjung setinggi gunung malah meledekku seperti ini. "Terlihat jelas dari wajah Romo yang ditekuk-tekuk itu," cibirnya. Dasar anak kecil ini, tahu dari mana kalau wajah yang bagus, dan rupawan ini sedang ditekuk? Apa tampak nyata, toh?     

"Memangnya tampang bagus dan rupawan seperti Romomu ini pantas untuk kalah? Hm?" kutanya. Ningrum tampak mengulum senyum.     

"Jangan pernah percaya dengan perjaka tua ini, Ningrum. Tampang bagus dan rupawan dari mana? Buktinya, jatuh hati sama satu perempuan saja ndhak becus. Cih!" kini Rianti yang mengejekku. Duduk di sampingku dan Ningrum sambil membawa singkong untuk dikupas. Sepertinya, dia hendak meminta bantuanku, dan Ningrum untuk mengupas singkong itu. Dasar pemalas!     

"Sudahlah, ndhak usah kamu racuni anak perempuanku yang paling ayu itu dengan ucapan berbisamu yang ndhak bermutu," sindirku lagi.     

"Ohya, Ningrum, kamu tahu... bahkan perjaka tua ini punya cita-cita mengawinimu, lho. Karena saking frustasinya dia, saking ndhak lakunya dia di antara para perempuan-perempuan kampung. Jadi, kamu dijadikan mangsa selanjutnya. Hati-hati, dia ini jenis hewan yang bisa hidup di darat dan laut, hewan yang mematikan. Kamu tahu, toh, nama hewan itu apa?"     

"Hewan apa, Ndoro Rianti?" tanya Ningrum penasaran juga.     

"Buaya darat,"     

"Hahaha!" tawaku. Dan itu berhasil membuat Emak-Emak yang ada di dapur ini melotot ke arahku. Aku langsung menggaruk tengkukku yang ndhak gatal, kemudian memandang ke arah lain.     

"Juragan yang bagus, kalau ndhak membantu itu mbok ya ndhak usah berisik begitu, toh!" marah mereka. Duh Gusti, kena marah lagi, toh, aku ini. Ini hari apa, toh, kok ya sial betul. Bagaimana bisa sedari tadi kena marah orang-orang sekitar.     

"Kalau aku buaya, lantas kamu ini apa, adikku yang manis? Buaya betina?" cibirku, melipat kedua tanganku di dada, sambil mendekatkan wajahku kepada Rianti.     

"Kangmas!" jengkel Rianti.     

"Lho, kenapa kamu panggil-panggil buaya dengan Kangmas? Ndhak takut dicaplok, kamu?" kataku lagi. "Ndhak ada ceritanya juga kalau manusia punya Kangmas seorang buaya, toh? Kecuali kalau kamu itu buaya juga,"     

Lihatlah wajah Rianti yang sudah merah itu, matanya melotot, sementara tangannya tampak benar sudah bersiap untuk melemparku dengan singkong yang masih terkupas separuh.     

"Sudah, sudah... kok ya bertengkar saja, toh. Romo juga ini bagaimana, toh, sudah Ningrum bilang. Ningrum itu ndhak mau kawin sama Romo, karena Romo terlalu tua, mbok ya ndhak usah menyebarkan isu, toh. Kuburan orangtuaku saja masih basah, kok ya mikir menikah," jelas Ningrum panjang lebar. Rupanya, ucapan Rianti benar-benar diambil hati oleh Ningrum. Dan yang lebih membuatku ndhak menyangka adalah, sikap Ningrum itu. Bagaimana bisa, seorang anak kecil seperti Ningrum mampu berkata seperti itu? Dia memang persis dengan emaknya.     

"Lho, dengar kata Ningrum. Kangmas itu sudah terlalu tua. Dengar toh, terlalu tua," sindir Rianti lagi. Dengan mengatakan terlalu tua begitu fasih dan penuh penekanan. Seolah-olah, aku ini adalah Simbah tua bangka yang besok akan meninggal, yang sudah ndhak pantas untuk merasakan cinta seorang wanita.     

"Kamu itu ndhak akan pernah tahu, Ndhuk. Yang terlalu tua biasanya lebih pengalaman. Kamu bakal merem melek kalau kawin sama aku, percayalah."     

"Kangmas!"     

"Romo!" marah Rianti, dan Ningrum bersamaan. Dasar, perempuan-perempuan ini. Pandai benar membentak-bentakku di depan banyak orang.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.