JURAGAN ARJUNA

BAB 45



BAB 45

0Malam ini, lurah berkunjung ke tempatku. Ndhak tahu kenapa, tumben benar dia ada di sini. Biasanya, dia berkunjung untuk membicarakan hal-hal penting dengan Romo. Tapi kali ini, tujuannya adalah aku. Aku yang baru saja pulang dari rumah Manis pun masuk, melihatnya berdiri karena menangkap sosokku, bersamaan dengan Romo Nathan, yang kini tampak sibuk dengan korannya. Kemudian, Bulik Sari pun datang, sambil membawa tiga cangkir kopi, kemudian ia taruh di atas meja, membuatku ndhak jadi beranjak dari sana, kemudian mendekat ke arah lurah itu.     
0

Aku duduk menemaninya minum kopi yang baru saja Bulik Sari sajikan di meja, sementara salah satu tangan kanannya duduk dengan patuh di sampingnya. Bercakap-cakap sebentar dengan Paklik Sobirin sebelum fokusnya kembali kepadaku. Sementara aku, memilih diam, memilah-milah beberapa rokok yang ia bawa untukku nikmati.     

"Maaf lho, Juragan, menganggu. Di malam minggu seperti ini," kata lurah tampak basa-basi. Namanya Suprapto, dia jenis lurah yang benar-benar lurah. Maksudnya, perawakannya tinggi dempal, kumisnya pun ndhak lupa nangkring manis di sana dengan begitu suburnya. Dan memakai kemeja batik seolah menjadi kewajiban untuknya yang harus ia emban setiap waktu, ndhak lupa blangkon menghiasi kepalanya. Lurah ini benar-benar lurah idaman semua warga kampung.     

Omong-omong tentang Suprapto, masa jabatannya tinggal menghitung bulan lagi. Itu sebabnya warga kampung Kemuning sedang dilanda bimbang. Kira-kira siapa gerangan yang akan menggantikan lurah satu ini. Sebab, bagi warga kampung, Suprapto adalah lurah yang jujur, dan bijaksana. Benar, memang. Sebab masalah-masalahku yang lalu dengan Arni, jika lurahnya bukan dia, pastilah sudah diadili. Dan kebetulan, Suprapto telah menjabat lama di kampung ini. Itulah sebabnya mungkin Manis hendak menjadi salah satu kandidat untuk menggantikan Suprapto, dan sebenarnya meski masih sangat mustahil bagi penduduk kampung, aku sangat mendukung, jika Manis kelak menjadi seorang lurah. Aku ingin, dia menunjukkan kepada dunia, jika perempuan bisa. Dan tentu, dengan caranya sendiri. Dengan ndhak lupa untuk melakukan tugas-tugasnya sebagai istri, dan selalu ingat, sehebat apa pun perempuan, laki-laki adalah panutan utamanya. Asal laki-laki itu benar. Tapi kalau laki-lakinya seperti Kamitua Minto, aku benar-benar ndhak yakin jika dunia akan menjadi adil, dan makmur jika semua perempuannya akan menurut. Bisa-bisa, seluruh perempuan di dunia ini akan dikawininnya kalau saja ia sanggup. Gusti, hilangkan wajah Minto jelek itu dari dalam pikiranku. Aku ndhak mau memikirkannya, nanti salah-salah, bisa jatuh hati aku sama laki-laki jelek sepertinya.     

"Oh, tentu saja ndhak ada hubungannya dengan malam minggu, Pak," kubilang sambil tersenyum lebar. Menuang kopi ke dalam lepek, kemudian menyesapnya dengan nikmat. Sambil sesekali kuhisap rokok yang sedari tadi ada di jariku.     

"Biasanya, para pemuda malam minggu seperti ini asyik pacaran, lho, Juragan. Hehee," katanya berbasa-basi. Aku tersenyum saja mendengar gurauannya. Memangnya, di usiaku seperti ini apa masih pantas bermalam mingguan, dan pacaran seperti itu? Bagi keturunan berdarah biru, kan, melakukan hal-hal itu di tempat umum ndhak pantas. Meski aku kerap melanggarnya sepanjang waktu. Ah, jangankan berpacaran, lha wong kelon yang seharusnya ndhak aku lakukan saja, sudah aku lakukan. Sebenarnya, pemuda seperti apa, toh, aku ini. Benar-benar bukan contoh seorang Juragan yang baik.     

"Aku malam minggu sama siapa, toh, Pak. Apa sama guling-guling di rumah. Sudahlah, ndhak usah bahas malam minggu. Kok ya mengenaskan benar hidupku. Mungkin, menjadi terlalu bagus, dan rupawan adalah musibah besar untukku sekarang, makanya sampai detik ini aku ndhak laku-laku, Pak," keluhku. Suprapto tampak tertawa. Rupanya, gurauanku mengena benar untuknya. Bahkan dia tertawa sampai wajahnya merah padam seperti itu.     

"Benar, benar...," katanya, di sela-sela tawanya yang renyah itu. Kalau keselek, aku ndhak akan tanggung jawab. "Juragan ini terlalu bagus, terlalu rupawan. Jadi, orang-orang yang mau mendekat mikir, keburu takut duluan. Takut Juragan tolak,"     

Duh Gusti, ucapan dari Suprapto itu, sebenarnya memujiku, atau mencibirku dengan dalih pujian yang ndhak masuk akal? Aku tersenyum saja mendengarkan ucapannya itu, sebab bagaimana pun, aku lah orang pertama yang melempar guyonan itu. Ndhak seharusnya merasa besar kepala atau malah tersindir karena ucapannya.     

"Bisa saja, toh. Aku jadi malu," kataku. Dan Suprapto kembali tertawa. "Omong-omong, ada apa gerangan Pak Suprapto kesini? Terlebih, mencariku, bukan mencari Romo?"     

"Ternyata Juragan Arjuna ini banyol, toh. Tak pikir, bakal seseram Juragan Nathan, lho," kata Suprapto lagi. Rupanya, Romo itu terkenal seram toh. Aku baru tahu, memang Juragan Nathan itu bukan tipikal orang yang pandai basa-basi, apalagi bercanda. Jangan harap dia bisa, bahkan dengan Biung saja, Romo benar-benar ndhak pandai bercanda. Apalagi dengan orang lain. Seram, mungkin memang cocok disandang oleh Romo Nathan. "Begini, Juragan, saya bertandang ke sini untuk membahas perihal kampung nan asri kita, kampung Kemuning. Dan kebetulan beberapa waktu yang lalu, saya bertemu dengan kawan dari jakarta, memberikan ide berliannya. Saya rasa, alangkah baik, dan menjadikan Kemuning maju jika suatu saat benar-benar terlaksana. Itu adalah suatu mimpi paling besar yang bisa dilakukan orang kampung untuk berjuang demi kampungnya, iya, toh, Juragan?"     

"Maksud, Pak Suprapto? Pak Suprapto berniat memajukan kampung Kemuning ini?" kutanya. Suprapto tampak mengangguk semangat.     

"Kemuning adalah kampung yang sangat hijau, dan asri, Juragan. Puluhan, ratusan, bahkan ribuan hektar perkebunan teh membentang luas di sini. Udaranya yang sejuk, ndhak hanya memanjakan mata, tapi seluruh indera juga. Sementara, di kota-kota lain, di kota-kota maju dan di kota pesisir pantai, sepuluh, dua puluh, bahkan puluhan tahun lagi akan penuh dengan pabrik-pabrik, akan penuh dengan bangunan-bangunan pencakar langit yang pasti akan membuat udara pengap, dan membosankan. Mereka, pastinya sangat butuh dengan hiburan, sesuatu yang hijau, membentang dengan begitu indah. Jadi, saya berpikir, bagaimana jika Kemuning, kampung yang bisa dikatakan tertinggal, pelosok ini kita majukan. Dengan menjadikan kampung kita ini sebagai tempat wisata, Juragan. Dengan begitu, ndhak hanya orang-orang dari luar kota yang akan senang berkunjung di sini. Akan tetapi juga, penduduk kampung kita bisa merasakan dampak positifnya. Mereka bisa membangun warung-warung makan, mereka bisa menjual kerajinan-kerajinan tangan mereka. Bahkan, mereka bisa menjual jasa-jasa mereka kepada pengunjung. Kuda-kuda yang mungkin saat ini nganggur, bisa mereka gunakan sebagai alat transportasi pengunjung dari kota, rumah-rumah bisa mereka gunakan barangkali untuk menginap. Atau malah, bagi penduduk yang mampu, bisa membangun rumah-rumah kecil sebagai penginapan. Dengan begitu, selain kampung kita bisa dikenal oleh penduduk kota luar dengan keasriannya, dengan keindahannya, penduduk kampung pun bisa merasakan dampak positifnya. Penduduk kampung bisa maju, tanpa perlu pergi ke kota-kota besar untuk mencari pekerjaan, Juragan," aku terdiam mendengar ucapan dari Suprapto, tercengang dengan apa yang telah disampaikan. Di kampung ini, ada orang yang memiliki pemikiran sepertinya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.