JURAGAN ARJUNA

BAB 46



BAB 46

0Aku sama sekali ndhak tahu, jika Suprapto bisa memiliki pemikiran sejauh itu. Menjadikan Kemuning sebagai tempat wisata, itu memang akan menjadi hal yang potensial sekali. Terlebih, di kampung ini banyak sekali hal yang bisa dibanggakan. Terlebih di kampun-kampung sebelah. Berjo, misalnya. Ada banyak bunga-bunga indah, dan itu pun bisa menjadi daya tarik tersendiri untuk warga kota yang penat dengan kehidupannya. Namun demikian, pendapat penduduk kampung adalah hal yang utama sekarang. Menjadikan kampung yang sudah terbiasa dengan kesunyian, dan ketentramannya, kemudian akan diusik dengan banyak pengunjung, apakah para warga kampung siap dengan semua itu?     
0

"Pak Suprapto sudah mendiskusikan ini kepada warga kampung apa belum? Sebab bagiku, yang terpenting adalah pendapat warga tentang ini, Pak. Masalah denganku, semuanya bisa diatur seenaknya bagaimana. Aku ini orangnya gampang sekali, toh, Pak. Suara warga kampung adalah suaraku, setuju dan endhaknya juga aku ikut saja. Asal... asal lho, ya, ini, semua yang mereka utarakan untuk memberikan pendapat itu masuk akal nalar," kutanya.     

Kulihat Suprapto tampak serius saat ini. Kurasa, pembahasan barang guyonan sudah ia lontarkan. Terlihat jelas dari mimiknya yang tampak ndhak mengenakkan itu.     

"Itulah masalahnya, Juragan...," dia bilang, dan hal itu membuatku tersenyum. Sudah bisa ditebak, warga kampung memiliki pemikiran paling kolot yang pernah ada. Jadi, untuk mengubah pola pikir mereka pasti akan sangat susah. "Kemarin saya sempat mengundang para RT kampung-kampung untuk berkumpul, Juragan, untuk membahas perkara ini. Namun rupanya, semuanya akan sulit. Warga kampung sepertinya ndhak paham, jika perkara ini adalah untuk kemajuan kampung kita. Mereka menolak mentah-mentah, dan memilih untuk menentang rencana ini. Padahal saya rasa, rencana ini benar-benar ndhak akan mengubah banyak hal. Toh, ndhak akan banyak mengurangi lahan, dan tempat kita semakin dikenal, toh. Jadi, Juragan... saya rasa, mungkin jika Juragan yang mengatakan perihal ini, dan menjelaskan kepada warga kampung mereka mungkin bisa paham dan mengerti. Juragan Arjuna kan telah banyak pengalaman, tinggal di luar Jawa pun pernah. Ilmu apalagi ndhak usah ditanya. Jadi saya rasa, mereka akan lebih percaya kepada Juragan Arjuna untuk meyakinkan ini."     

"Wah, itu perkara yang berat, Pak Suprapto...," kataku. Bukannya aku ndhak mau, hanya saja, merayu, agar pola pikir warga kampung berubah, bukanlah hobiku. "Tapi, bagaimana ya... akan kuusahakan. Namun aku ndhak janji kepada Pak Suprapto, jika ini akan berhasil."     

Suprapto langsung meraih tanganku, kemudian dia menciumnya. Seolah-olah, mauku adalah berkah baginya. Jujur, aku merasa sungkan jika ada orang seperti ini. Sebab bagaimana pun, Suprapto lebih tua dariku. Benar-benar ndhak pantas rasanya jika dia harus berlaku seperti itu.     

"Sudah, Pak, sudah. Jangan berlaku seperti ini padaku. Aku benar-benar merasa ndhak enak," kubilang. Jujur, aku paling sungkan jika ada orang yang lebih tua dariku berperilaku seperti ini. rasanya benar-benar salah tingkah, dan ndhak enak dibuatnya.     

"Harus bagaimana lagi, toh, Juragan. Juragan ini benar-benar putra dari Juragan Adrian, dan Juragan Nathan. Benar-benar selalu membuat saya kagum," katanya memujiku. Aku bisa melihat kejujuran di matanya, dan tampak jelas di sana.     

Setelah bercakap-cakap ringan, akhirnya Suprapto pun pamit undur diri. Sebab dia masih ada janji dengan beberapa lurah untuk membahas perihal lain. Jadi lurah rupanya adalah hal yang cukup menyibukkan juga, rupanya.     

"Kangmas...," kukerutkan keningku tatkala ada suara menyeramkan terdengar di telingaku. Sungguh, itu adalah suara yang benar-benar ndhak jelas. Ndhak cempreng, ndhak merdu. Ngambang. "Bagaimana?" ucap suara itu lagi.     

Perlahan sosok itu pun keluar dari balik pintu. Puri dengan penampilan yang benar-benar aneh luar biasa. Wajah seperti dicelupkan cat putih satu kilo, bibirnya seperti habis meminum darah ayam segar. Sementara pakaiannya? Duh Gusti, roknya benar-benar pendek, dan bajunya itu.     

Dia benar-benar melakukan apa yang kukatakan kepadanya. Apa hanya karena uang dia sampai segila ini? Dasar, perempuan ndhak tahu diri.     

"Bagaimana, Kangmas? Apakah aku sudah pantas dengan dandanan seperti ini?" tanyanya, masih dengan gaya percaya dirinya itu.     

"Omong-omong, siapa toh Biungmu?" kutanya.     

Dia hendak meraih tanganku tapi langsung kutepis. Kuambil buku yang ada di meja, sambil tetap fokus pada buku dan mengabaikannya. Ndhak berapa lama, Biung pun datang, dari membantu-bantu di rumah Manis.     

"Biungku namanya Ella, kenapa, Kangmas? Sebentar lagi, dia akan kesini," jawabnya. "Nah, itu dia!" katanya lagi.     

"Duh Gusti, Ella! Kesini kok ya ndhak bilang-bilang, toh, kamu ini. Malam-malam pula, ayo... ayo, duduk sini," kata Biung. Menyambut sahabatnya itu, beserta suaminya. Setelah saling peluk, perempuan sebaya dengan Biung pun duduk bergabung dengan kami. Kemudian bercakap-cakap ndhak jelas dan itu berhasil membuat telingaku panas.     

"Arjuna, sini... kenalkan, ini Bulik Ella, Biung dari Puri," kata Biung kepadaku. Sambil melotot, seolah mengintrupsiku untuk segera berdiri dan bersalaman dengan Bulik Ella.     

Malas-malasan pun aku berdiri, bersalaman kemudian kucium punggung tangannya. Sementara Bulik Ella, enggan membiarkanku kembali duduk di tempatku tadi.     

"Ini, Arjuna, toh? Benar?" tanyanya. Aku hanya tersenyum, kemudian mengangguk. "Duh Gusti, Larasati... bagus benar paras putramu ini. Benar-benar kembaran romonya, lho," katanya, dengan nada heboh yang benar-benar berlebihan.     

"Biungnya Puri?" kutanya. Bulik Ella mengangguk.     

Puri pun bangkit, dia hendak merangkul lenganku tapi buru-buru aku menghindar. Perempuan ini, benar-benar.     

"Iya, toh, Kangmas. Ini lho Biungku. Calon mertuamu," ucap Puri percaya diri.     

"Calon mertua? Lebih baik aku menikahi biungmu dari pada menikahi perempuan ndhak jelas sepertimu," ketusku.     

"Arjuna," marah Biung.     

"Bulik Ella, boleh aku meminta satu permintaan padamu?" tanyaku kepada Bulik Ella.     

Perempuan paruh baya dengan kulit cokelat itu memandangku dengan penuh perhatian.     

"Ada apa, Arjuna?"     

"Kalau bisa, tolong, masukkan kembali perempuan ndhak jelas ini ke perutmu. Sebab, dia benar-benar sangat menganggu,"     

"Arjuna!" marah Biung pada akhirnya. "Minta maaf sama Bulik Ella. Dia ini tamu, lho, dan baru datang. Bagaimana bisa kamu mengatakan hal sekasar itu kepada putrinya. Ndhak sopan!"     

"Ndhak apa-apa, Ti, ndhak apa-apa."     

"Tapi, La."     

"Ndhak apa-apa, Ndoro...," kata Puri. Hendak merangkulku lagi tapi buru-buru aku pergi di samping Biung.     

"Jangan coba-coba sentuh aku. Aku ndhak sudi disentuh oleh perempuan ndhak jelas sepertimu."     

"Arjuna!"     

"Apa aku perlu bilang kepada biungmu tentang perilaku ndhak pantasmu itu saat di Berjo itu?"     

"Arjuna!" marah Biung lagi kemudian kuabaikan.     

Sementara Romo Nathan yang baru saja mendekat pun menghentikan langkahnya, memandangku seolah ia ingin aku berhenti juga.     

"Kenapa?"     

"Anakmu itu lho, Kangmas. Benar-benar ndhak bisa menghormati yang lebih tua. Bicaranya benar-benar menyakitkan hati. Didekati Puri saja, dia langsung menepis dan bicara pedas. Keturunan siapa toh, dia ini,"     

Romo Nathan terkekeh, kemudian dia menepuk bahuku. Menyuruhku untuk masuk ke dalam kamar.     

"Anak siapa? Ya anakku, toh. Maaf, Ella, jika sikap Arjuna menyakiti perasaanmu, dan putrimu. Hanya saja, aku selalu mengajarinya untuk jujur, dan ndhak gampangan. Jadi mungkin, dia ndhak terlalu suka disentuh perempuan yang ndhak dicintainya. Itu saja," jelas Romo Nathan. Rupanya, lebih paham Romo Nathan dari pada Biung perkara sifatku.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.