JURAGAN ARJUNA

BAB 47



BAB 47

0"Romo... Romo...," kulihat pintu kamarku terbuka, setelah diketuk dengan pelan oleh Ningrum. Dia masuk ke kamarku sambil membawa bantal. Dengan ekspresi takutnya itu.     
0

Ada apa? Tumben benar dia datang ke kamarku. Sambil membawa bantal?     

"Ada apa, Ndhuk? Sini...," kubilang. Kuletakkan bukuku, kemudian kugeser dudukku agar Ningrum duduk di sebelahku. "Kenapa? Ndhak bisa tidur?" kutanya. Ningrum tampak mengangguk.     

"Mimpi, tiap aku memejamkan mata aku bermimpi bertemu dengan Kakang, Bapak, dan Emak, Romo. Jadi, aku ndhak bisa tidur...," jawabnya. "Boleh aku tidur di sini, sama Romo?" tanyanya lagi, dengan mata bundar yang jernih itu. Tatapan polos seperti tanpa dosa.     

Kutelan ludahku mendapat pertanyaan itu. Duh Gusti, biar bagaimanapun, dia adalah anak gadis yang beranjak remaja.     

Kugaruk alisku yang mendadak gatal. Kemudian, kuambil bantal yang sedari tadi dia bawa. Kemudian, kutaruh di samping bantalku.     

"Sini, tidur di sini...," kubilang. Ningrum bergegas naik ke dipan, kemudian tidur di tempat yang sudah kusediakan. Kemudian, aku pun mengambil posisi tidur juga. Tepat di sampingnya. "Mungkin keluargamu di sana sedang rindu. Makanya mereka datang menemuimu, Ndhuk,"     

Ningrum merengkuh lenganku, kemudian mata bulatnya memandangku lekat-lekat. "Benar begitu, Romo? Jadi, mereka juga bisa rindu aku?" tanyanya. Aku kembali menggaruk alisku, kemudian aku mengangguk kuat-kuat kepadanya. Sepertinya, mendongeng adalah hal yang harus kulakukan malam ini untuk putriku tercinta.     

"Tentu, karena mereka mengkhawatirkanmu," kubilang. "Karena anak perempuannya ditinggal sendirian. Bagaimana bisa mereka mati dengan tenang? Mereka pasti takut, kalau anak cantiknya disakiti laki-laki ndhak bertanggung jawab,"     

Ningrum tersenyum mendengar ucapanku. Sepertinya, ucapanku itu lucu saja, toh. Dasar, dia ini. Dia kemudian melepaskan rengkuhannya, menarik selimut kemudian memandangku lagi. Sepertinya dia cukup kedinginan malam ini. Dan memang, Kemuning kalau gerah ya ndhak Kemuning, toh.     

"Aku ini masih kecil, Romo. Kok ya yang dibahas laki-laki terus, toh," protesnya. Sambil komat-kamit ndhak jelas.     

"Ndhuk...," kubilang, sambil kuraih kepalanya agar bisa kudekap kepalanya di atas lenganku. "Jika nanti kamu telah matang dan siap menikah. Carilah pemuda yang baik. Jangan pernah mau dengan pemuda yang meminta apa pun dari tubuhmu terlebih dahulu. Sebab, pemuda seperti itu bukanlah pemuda baik-baik. Apa kamu paham? Romo, akan menjadi orang pertama yang akan memilah-milah pemuda yang dekat denganmu. Dan kamu ndhak boleh protes tentang itu. Mengerti?"     

Entah kenapa, aku tiba-tiba menjadi sosok Romo yang pengikat seperti ini. Apakah ini naluri seorang Romo yang sebenarnya? Atau aku melakukan itu, agar supaya Ningrum ndhak mendapatkan pemuda berengsek sepertiku? Sungguh, bejat sekali aku ini, berharap yang baik untuk putrinya, tapi berlaku bejat kepada perempuan yang kucinta. Benar-benar aku ndhak tahu malu.     

"Jadi, Romo bukan pemuda baik-baik? Buktinya, dulu dulu, Romo sering sama Emak? Dan juga, kulihat sering peluk-peluk Mbakyu Manis?" tanyanya.     

Aku langsung mendelik tatkala Ningrum mengatakan itu. Gusti, anak ini! Pandai benar melempar pertanyaan yang membuatku malu bukan main!     

"Kapan aku peluk-peluk Manis? Tahu dari mana?" tanyaku. Kaget juga dia bisa tahu sampai sejauh itu. Padahal kurasa, untuk masalah Manis, hampir ndhak ada orang tahu selain Paklik Junet, juga Paklik Sobirin.     

"Di rumah pintar. Sering aku melihat, saat hendak bermain dengan kawan-kawanku," jawabnya. Kugaruk tengkukku kini yang mendadak gatal, aku benar-benar ndhak menyangka, sampai sejeli itu ia memperhatikanku tatkala dengan Manis. Kukira, anak-anak seusianya, bermain adalah hal yang utama dari pada harus memerhatikan sepasang sejoli yang henda bercinta.     

"Ya, Romo pemuda berengsek, Ndhuk. Jadi, jangan mau, ya, sama pemuda seperti Romo," kataku pada akhirnya. Mengatakan apa adanya kepada Ningrum adalah hal yang terbaik, dari pada dia terus menanyaiku pertanyaan-pertanyaan yang dahsyat itu.     

"Tapi, Romo baik," jawabnya. Aku tertegun sejak mendengar jawabannya itu. Baik? Aku adalah orang baik? Sungguh, hatiku menghangat hanya karena mendengar penuturan polosnya itu.     

"Ya sudah, mau saja sama pemuda seperti Romo. Paket komplit, sudah bagus, karismatik, berwibawa, kaya raya, baik pula. Iya, toh?" kubilang, sembari menggodanya. Ningrum tertawa.     

"Romo itu terlalu sempurna. Pantas saja ndhak ada yang mau menikah dengan Romo. Kalau perempuannya bukan dari kalangan anak Juragan-Juragan, ndhak ada perempuan yang berani mendekat. Ibarat kata, para perempuan di sana melihat Romo itu ibarat melihat rembulan di langit. Hanya berani mereka impi-impikan dan kagumi, tanpa berani mereka dekati."     

"Padahal permintaan Romo ndhak muluk-muluk. Romo hanya butuh perempuan yang Romo cintai. Itu saja, ndhak lebih. Tapi sampai detik ini, permintaan yang ndhak muluk-muluk itu belum juga dikabulkan oleh Gusti Pangeran. Mungkin ini adalah hukuman, sebab katanya manusia itu ndhak ada yang sempurna, toh. Jadi bisa saja, kesempurnaan romomu ini, membuat Romo jauh dari jodoh."     

"Hm..."     

"Ngantuk?" kutanya. Ningrum tampak mengangguk, bergeliat resak sambil sesekali menguap.     

"Bercakap-cakap dengan Romo seperti didongengi. Aku jadi ngantuk," jawabnya, sambil tersenyum sangat lebar. Sampai deretan gigi putihnya kentara.     

"Ya sudah, tidur," kubilang. Kukecup kening Ningrum kemudian kudekap tubuhnya, sembari kusenandungkan tembang-tembang jawa, dia kemudian terlelap dalam dekapanku.     

*****     

Pagi ini aku bangun lebih awal, tentu dengan sangat hati-hati, dan tubuh yang sakit semua. Leherku rasanya benar-benar sakit, terlebih... punggungku. Dari semalam aku ndhak berani banyak gerak, selain merengkuh tubuh Ningrum yang sesekali mengigau memanggil emaknya. Dan takut jika, jika gadis manis ini akan terbangun karena ulahku. Padahal biasanya, aku tidur dengan berbagai gaya. Bahkan bisa dibilang, saat mau tidur aku yakin jika kepalaku di utara, namun bangun pagi tiba-tiba kepalaku berada di selatan. Entah, siapa yang merubah posisi tidurku, hingga seperti itu.     

Aku tersenyum melihat Ningrum yang masih terlelap. Memegang erat lenganku, seolah-olah enggan untuk kutinggal. Sementara kicauan ayam sudah terdengar sangat nyaring. Udara Kemuning di fajar sampai pagi, ndhak bisa tergantikan oleh udara di kota mana pun. Sangat sejuk, dengan hamparan perkebunan hijau yang membentang di balik jendela kamar itu.     

"Duh Gusti, Kangmas! Apa-apaan ini, toh!" pekik Rianti, sambil berkacak pinggang tentunya. Matanya sudah melotot, dan nyaris keluar dari tempatnya. "Lihat, bagaimana bisa Ningrum ada di sini? Kamu apakan anak perawan orang, Kangmas? Apa kamu memanfaatkan keadaan ini? Apa yang telah kamu lakukan, Kangmas? Jangan-jangan kamu memanfaatkan keadaan dan meraba-raba bagian tubuhnya? Atau malah, Ningrum telah kamu tiduri, Kangmas!" tuduh Rianti, dengan pertanyaan bertubi-tubi dan tanpa henti. Jika sampai ada abdi dalem di luar, atau Romo, dan Biung, benar-benar bisa mati aku karena salah paham oleh kegaduhan yang ditimbulkan Rianti ini.     

Kuatur lagi emosiku, dan napasku karena ulah Rianti bagi ini. Sunggu, aku ndhak pernah tahu, kalau adikku bisa benar-benar menjadi perempuan menyebalkan di seluruh dunia. Kurasa, pengaruh dari kawan-kawannya di Universitas telah membuat perilakunya berubah seiring berjalannya waktu, sekarang.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.