JURAGAN ARJUNA

BAB 50



BAB 50

0Pagi ini aku sedang minum teh bersama dengan Paklik Sobirin, dan Paklik Junet. Dan sudah beberapa hari ini aku terus menghindari Romo Nathan. Bukan tanpa sebab, hanya saja karena ucapannya yang kemarinlah yang membuatku malas untuk sekadar bercakap kepada Romo. Aku ndhak mau jika Romo akan banyak bertanya perihal apa yang telah diketahui. Dan bisa jadi karena bertanyanya Romo itu membuat Biung akan tahu semuanya. Jadi kurasa, duduk manis, dan bersembunyi di balik badan Paklik Sobirin, dan Paklik Junet adalah jalan terbaik. Sebab bagaimanapun, aku yakin jika Romo ndhak akan mau membahas masalah pribadiku di depan Paklik Junet, dan Paklik Sobirin. Kecuali, jika tangan kanan Romo yang bernama Paklik Sobirin ini yang besar mulut. Itu lain lagi ceritanya. Bahkan bisa-bisa Romo akan menanyainya sehari semalam.     
0

Lagi, aku menghela napas panjang. Semuanya kini tinggal kikisan kenangan yang benar-benar jauh dari realita yang ada. Bahkan kenyataannya, perih itu adalah hal pasti yang akan kurasa. Dan sakit adalah penyakit yang akan kuderita selamanya. Gusti, apakah benar seperti ini jalan hidupku, toh? Bahkan untuk sekadar mengenal cinta pun ndhak pernah bisa bertahan lama. Aku sedang lara, Gusti... aku sedang menderita. Aku ndhak mau apa pun, kecuali cintaku kembali di sini. Di sisiku, selamanya, sampai mati nanti.     

Aku akan benar-benar kehilangan Manis?     

Aku tersenyum kecut setiap kali mengingat perihal itu. Tentu saja jawabannya adalah iya. Lantas, bagaimana bisa hati ini terus saja bertanya. Apa benar aku akan kehilangan Manis? Atau malah, mungkinkah aku dan Manis bisa bersatu suatu hari nanti? Gusti, jika itu harapanku berarti sama saja jika aku mendoakan Manis berpisah dengan Minto. Atau malah berharap jika Minto cepat mati. Kenapa aku terlalu jahat mendoakan orang seperti itu hanya untuk kepentinganku sendiri? Tapi, hal itu juga ndhak buruk juga.     

Bisa saja saat nanti Manis tua, Minto menderita suatu penyakit dan mati. Dengan senang hati aku akan menggantikan posisi Minto. Atau, jika Manis ingin aku akan menunggu sampai saat itu tiba.     

Ndhak peduli jika aku disebut egois, atau bahkan disebut sebagai pemuda paling bodoh di dunia. Hanya saja, aku benar-benar ndhak bisa untuk sekadar pura-pura menjalani bahtera rumah tangga dengan perempuan yang sama sekali ndhak aku cinta.     

Gusti, berat... semuanya terasa benar-benar berat. Semuanya terasa benar-benar sesak. Setiap kali aku sadar jika besok Manis akan menjadi milik yang lain seutuhnya. Manis akan dijamah oleh lelaki lain selain aku.     

Bagaimana bisa aku membayangkan itu? Sungguh, ndhak pernah terbesit dalam mimpiku sekalipun jika suatu saat Manis akan dijamah oleh laki-laki lain dan itu bukan aku. Dan itu tinggal minghitung hari lagi. Di rajangnya, Manis akan ditelanjangi oleh Minto, tubuhnya akan dijamah seutuhnya oleh Minto, dan.... Apa yang harus kulakukan agar semua itu ndhak terjadi? Agar Minto ndhak bisa menyentuh tubuh Manis. Manisku....     

Lagi, aku mendengus memikirkan perkara itu. Kepalaku tiba-tiba terasa sakit luar biasa. Semua tentang Manis seolah mengiang-ngiang di otakku, terlebih bayangan tubuh Manis yang polos sedang dijamah oleh Minto. Emosiku langsung tersulut hanya karena membayangkannya saja, lalu bagaimana jika itu nanti benar-benar terjadi. Apakah aku bisa? Apakah aku bisa Manis membiarkanmu dijamah olehnya? Apakah aku bisa diam begitu saja? Dan apakah aku bisa, melupakanmu dan menemukan penggantimu di sisiku? Gusti... itu ndhak akan mungkin.     

"Juragan, Juragan ini kenapa, toh? Sedari tadi ndhak fokus sama sekali. Sepertinya, raganya saja yang ada di sini tapi jiwa dan pikirannya entah berada di mana. Aku dan Junet ngomong ngalor-ngidul sedari tadi tapi yang Juragan lakukan hanya berdecak berkali-kali seolah tengah memikirkan sesuatu yang benar-benar berat. Juragan apa ada masalah?" tanya Paklik Sobirin yang berhasil membuatku tersentak dan memandangnya. Kupandang Paklik Sobirin, dan Paklik Junet yang rupanya telah menatapku dengan penuh selidik itu. Jujur, sedari tadi mereka bicara apa pun aku benar-benar ndhak tahu. Dan bahkan, sudah berapa lama kita duduk di sini pun aku juga ndhak tahu. Gusti, parah benar aku ini rupanya.     

"Oh, endhak... hanya saja, kepikiran dengan projek wisata yang hendak dibangun nanti. Syukur jika warga semua telah menyetujuinya. Semoga, akan berdampak positif bagi semuanya. Dan nantinya Kemuning ndhak hanya terkenal akan keindahan dan keasriannya dari warga—warga sekitar saja, akan tetapi terkenal di seluruh nusantara, syukur-syukur kancah dunia juga," jawabku sekenanya, sambil menggaruk tengkukku yang mendadak terasa gatal. Gusti, pintar benar aku bersilat lidah seperti ini.     

Sebenarnya itu juga menjadi salah satu momok permasalahan. Setelah perdebatan yang cukup alot. Akhirnya, para sesepuh kampung, dan lurah bertandang ke rumah. Mereka telah bermufakat untuk menyetujui tentang proyek kampung ini. Semoga aku ndhak salah ambil tindakan, semoga semuanya menjadi bahagia. Semoga.... sebab bagiku, mengambil keputusan besar seperti ini, dan mencakup masyarakat banyak adalah hal yang benar-benar langka. Biasanya, aku lebih memilih berlindung di belakang punggung Romo. Dan nanti jika suatu saat aku telah mengarungi bahtera rumah tangga kepada seorang perempuan, kemudian memiliki seorang anak. Akan kutunjukkan kepadanya, jika ini, lho, wisata Kemuning, akan menjadi sebuah tempat wisata yang maju, yang akan terus menjunjung tinggi adat dan budayanya.     

"Kepikikiran wisata kampung apa kepikiran kembang kampung yang besok akan dipinang orang?" sindir Paklik Junet. Setelah mengatakan itu, dia lantas pura-pura memandang ke arah lain, sambil menyesap tehnya. Busuk benar orang satu ini, andai aku ndhak gengsi, pastilah sudah kusumpal slopku mulutnya itu.     

"Bagaimana dipikirin, ndhak dipikirin saja besok dia akan kawin," jawabku.     

Dan itu berhasil membuat Paklik Junet cekikikan. Sepertinya, penderitaanku adalah kebahagiaan terbesar baginya. Iya aku patah hati, iya aku kini menjadi manusia yang paling nelangsa sedunia. Puas kalian semuanya, iya?!     

"Juragan sedari kemarin dicari sama Juragan Nathan, lho," kata Paklik Sobirin yang berhasil membuatku terdiam. Mati aku jika Romo memaksaku untuk berbicara empat mata. Kalau sampai itu terjadi, aku benar-benar ndhak bisa berkutik, dan hidupku akan benar-benar tamat. Aku ndhak bisa membayangkan jika sampai Biung tahu perkara ini, yang ada Biung akan pingsan lalu sakit-sakitan dan ndhak mau makan selama berhari-hari, atau dia menangis meraung-raung kemudian mengusirku dari rumah ini. Atau malah, dia ndhak menganggapku sebagai seorang anak, lagi. Gusti, seram sekali.     

"Oh, aku sedang sibuk, Paklik. Bilang itu kepada Romo, nanti jika sudah ndhak sibuk, aku akan menemuinya."     

"Lha wong serumah saja, bisa ndhak bertemu itu, lho. Memangnya waktu makan, kalian ndhak satu meja?" tanya Paklik Junet yang berhasil membuatku kembali terdiam.     

Bagaimana kami bisa bertemu, setelah itu aku memang sengaja berdiam diri di kamar. Mengunci kamar rapat-rapat, dan baru keluar tatkala Romo telah pergi.     

Kenapa aku jadi setakut ini? Aku ini laki-laki, toh? Duh Gusti, berasa benar jika aku ini seorang banci.     

"Sudahlah, jangan bahas yang sudah-sudah, aku telah sibuk. Ada beberapa pekerjaan di Berjo. Waktu panen telah tiba, kita harus mempersiapkan semuanya,"     

"Siap, Juragan!!" jawab Paklik Junet, dan Paklik Sobirin semangat.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.