JURAGAN ARJUNA

BAB 51



BAB 51

0"Kangmas....," kuputar bola mataku tatkala aku mendengar suara itu. Ya, siapa lagi kalau bukan Puri. Si pemilik suara yang benar-benar paling menyebalkan di dunia. Seharusnya, aku tahu jika perempuan ini memiliki kawan di Berjo. Itu sebabnya hampir setiap hari dia ada di sini. "Kangmas disuruh pulang Ndoro Larasati, lho... disuruh bantu-bantu persiapan pernikahan Manis. Katanya kawan dekat, tapi detik-detik hari bahagia kawan dekatnya kok malah semakin menggila mengurusi pekerjaan. Sepertinya, Kangmas sengaja menghindar. Iya, toh?" selidiknya, dan seperti biasanya. Setiap ucapan yang keluar dari mulutnya, semuanya adalah teori-teroi dari sok tahunya itu. Dan teori sok tahunya, benar-benar menggangguku.     
0

Puri hendak menyentuhku, tapi buru-buru kutepis tangannya. Benar-benar ndhak sudi aku disentuh olehnya. Sepertinya tubuhku akan terkena rabies jika disentuh sedikit saja oleh Arni. Alisku bertaut melihat ke arahnya, bisa ndhak ya, barang sebentar saja aku melihatnya bukan lagi dengan tatapan sebal. Tapi dengan tatapan normal jika dia ini adalah perempuan. Bisa ndhak aku melakukan hal itu?     

"Ndhak usah sentuh-sentuh, aku ndhak mau pakaian berhargaku ini jadi karakatan karena disentuh tangan kotormu itu," ketusku, sambil menebas pakaianku yang telah disentuh olehnya. Kemudian aku berjalan menjauh, tapi dia malah semakin agresif untuk mendekat. Puri... Puri, kamu ini perempuan, lho.     

"Kenapa ndhak boleh tak sentuh?" tanya Puri, dia berjalan, kemudian menghadang langkahku. "Kalau Manis saja yang miskin, dan ndhak pantas seperti itu, boleh menyentuh bahkan memelukmu. Kenapa aku ndhak boleh? Apa....," katanya terhenti, dia menyunggingkan seulas senyum licik, dan itu benar-benar menyebalkan. "Apa perempuan yang berhak menyentuhmu itu hanya Manis? Yang artinya, jika perempuan yang kamu sukai itu... Manis? Sama seperti yang kamu katakan kepadaku waktu itu, jika kamu akan rela disentuh oleh satu-satunya wanita yang bukan keluargamu, yang artinya wanita itu adalah dia yang kamu cintai. Katakan, Kangmas, katakan jika aku ini benar?"     

Kurang ajar benar perempuan ular satu ini. Dia rupanya lebih licik dari pada yang aku kira. Rupanya selama ini dia mengintai gerak-gerikku. Dasar, perempuan ular ndhak tahu malu.     

"Lalu bagaimana, Kangmas? Apakah tebakanku yang benar ini akan menjadi sebuah kejutan yang sangat menyenangkan untuk Ndoro Larasati? Atau malah, Ndoro Larasati akan hancur karenanya?" tekannya lagi, kupandang dia yang memandangku seolah menantang. Jika dia ndhak diberi pelajaran, maka selamanya dia akan terus berulah seperti ini.     

"Kamu mau mengancam aku?" tanyaku pada akhirya. Dia semakin tersenyum puas seolah dia berharap sesuatu dari pengetahuannya itu. "Silakan kalau kamu mengatakan itu kepada Biung. Aku malah berterimakasih kepadamu. Sebab, aku ndhak perlu capek-capek menjawab pertanyaan-pertanyaan Biung lagi."     

"Kamu—" katanya terhenti, saat aku mulai mendekat ke arahnya. Salah satu alisku terangkat, memandang Puri yang agaknya panik melihat perlakuanku.     

Setelah kusuruh orang-orangku untuk pergi dan menyisakan aku sendiri dengannya, aku pun kembali mendekat. Sampai dia terhimpit pohon, Puri menundukkan wajahnya, tampaknya dia malu. Cih, perempuan murahan seperti dia, apa benar dia malu? Atau pura-pura malu semata?     

"Kenapa? Kamu bilang kalau aku hanya menyentuh Manis karena aku mencintai Manis, benar?" kataku, Puri memalingkan wajahnya. "Ayo kita bersentuhan, kita cari tempat yang nyaman untuk menghabiskan hari-hari indah kita berdua, apa kamu mau?" tantangku.     

"Kamu ndhak akan berani," cibir Puri.     

Kuangkat dahunya yang sedari tadi menunduk, sampai kedua bola matanya memandang ke arahku. Kutundukkan wajahnya, kemudian kulumat bibir mungilnya. Awalnya, Puri agaknya kaget, sebelum ia mulai mengikuti iramaku dan membuka mulutnya pasrah. Kugiring Puri yang sudah berahi untuk berbaring, kemudian kubuka pakaian bagian atasnya. Kucumbui dia sampai dia mendesah berkali-kali.     

"Kangmas...." lirihnya.     

Tapi setelah itu aku langsung menjauhkan diriku, mengusap bibirku yang basah akibat ciumanku dengannya. Aku sejenak duduk, memandangnya yang masih terkapar sambil bergeliat ndhak jelas. Aku yakin dia sakit, ndhak bisa melampiaskan nafsunya di saat sedang tegang-tegangnya. Tapi maaf, untuk itu aku benar-benar ndhak bisa.     

"Jadi, bagaimana? Apakah setelah cumbuanku tadi artinya jika aku juga telah jatuh hati kepadamu?"     

Aku langsung pergi, meninggalkan Puri yang tampak kesal karena jawabanku. Gusti, apa yang telah aku lakukan? Bagaimana bisa aku bercumbu dengan Puri seperti itu? Dan bagaimana aku bisa bernafsu dengannya? Aku ini laki-laki, bagaimana bisa seorang perempuan sepertinya mencoba mengancamku dengan cara murahan seperti itu. Toh seandanya Biung tahu, biarlah dia tahu. Hanya saja untuk saat ini, aku benar-benar masih belum siap untuk menceritakannya. Manis akan menikah, dan aku ndhak mau pernikahan Manis bisa hancur karenaku. Manis, maafkan aku. Aku melakukan ini untukmu, aku ndhak ingin kamu sedih, dan sakit, hanya karena ulahku.     

"Kangmas tunggu, Kangmas!" teriak Puri, yang berhasil mengnentikan langkahku. Napasnya terengah, sebuah senyum tersungging di bibirnya. "Kamu juga mau, toh?" katanya lagi, kunaikkan sebelah alisku ndhak paham. "Ciuman tadi, adalah ciuman terpanas yang pernah kutahu. Kamu juga mau denganku, toh? Ndhak apa-apa kalau kamu ndhak mencintai, asalkan kamu mau menikah denganku, asalkan kamu mau denganku, semuanya akan baik-baik saja. Aku akan menerima semua itu sampai kapan pun, Kangmas!"     

"Puri, apa kamu ini ndhak waras? Bagaimana bisa seorang perempuan rela menikah dengan pemuda yang sama sekali ndhak jatuh hati dengannya? Dan masalah cumbuanku tadi, itu ndhak lebih dari pembuktian atas perkataanmu yang menyebalkan itu. Apa kamu mengerti?" kataku dengan emosi. Aku hendak pergi, tapi Puri lagi-lagi menahanku. Sambil berlutut, ia menggenggam erat kedua tanganku.     

"Iya aku ndhak waras, katakanlah seperti itu. Katakanlah seperti apa pun yang kamu mau, Kangmas. Tapi... tapi, setiap sentuhan yang kamu berikan padaku benar-benar membuatku sadar, jika aku benar-benar telah jatuh hati denganmu. Bukan hanya karena hartamu saja. Sungguh!"     

"Lantas jika suatu saat aku meninggalkan gelarku sebagai seorang Juragan Besar, apa kamu masih akan bertingkah seperti ini?" tanyaku pada akhirnya. Puri tampak kaget, dia mengerutkan keningnya bingung. "Aku memiliki rencana untuk melepas semua yang ada pada diriku sekarang. Aku memiliki mimpi untuk hidup sederhana di sebuah rumah mungil yang sederhana. Yang di mana, di rumah itu hanya ada aku, istriku, juga anak-anakku. Ndhak ada abdi dalem, dan siapa pun. Dan aku bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan keluargaku. Jadi, jika seperti itu, apa kamu masih benar-benar mau denganku, Puri?"     

Kini Puri tampak terdiam, sepertinya dia memikirkan apa yang baru saja aku ucapkan. Kedua tangannya yang tadi menggenggam tanganku pun terlepas begitu saja, membuatku berjongkok sambol memandangi wajah ayunya.     

"Jujur, bisa saja aku menikahi siapa pun di dunia ini, dan melampiaskan hasratku sebagai pemuda normal pada umumnya. Tapi, bukankah itu akan menjadi sesuatu yang salah? Dalam rumah tangga, yang kuinginkan itu adanya cinta dari kedua belah pihak. Jika hanya sepihak, itu bukan cinta. Tapi, mengharapkan sesuatu yang sia-sia," Puri masih terdiam, dan aku sendiri ndhak tahu bagaimana jalan pikirannya dia saat ini. "Tadi, bisa saja aku tidur denganmu, berkali-kali, sampai aku puas. Toh, ndhak ada ruginya sama sekali untukku. Malah-malah aku senang, hasratku tersalurkan dengan cara gratis. Namun, Puri, aku juga memiliki seorang adik perempuan, aku ndhak mau melecehkan perempuan yang ndhak kucinta untuk kujadikan mangsa atas apa yang kuinginkan. Itu karena aku menghormatimu, jadi berhentilah di sini dan jangan sampai melewati batasanmu lagi."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.