JURAGAN ARJUNA

BAB 52



BAB 52

0"Jadi siapa nanti yang ditugaskan untuk menjeput pengantin laki-laki? Sobirin, atau Junet?" tanya Biung tatkala berada di rumah Manis.     
0

Aku memilih untuk menyingkir, dari pada harus terlibat dalam masalah melankolis seperti ini. Melankolis hanya untukku, sementara yang lain, bahagia luar biasa. Hancur hanya untukku, sementara yang lainnya, begitu riang gembira.     

Aku berjalan melewati kamar Manis. Hendak kuketuk pintu itu namun kuurungkan. Ini ndhak akan pantas, seorang pemuda masuk ke kamar perempuan yang hendak menikah. Bagaimana bisa seorang pemuda memiliki hasrat untuk masuk ke kamar calon mempelai putri? Tapi, Gusti... hatiku meronta ingin sekali aku melihat Manis untuk terakhir kali. Seendhaknya, tatkala Manis masih menjadi milikku seutuhnya.     

"Meski cinta kalian ndhak bisa saling memiliki. Tapi percayalah, cinta kalian saling mendokan satu sama lain dalam hati setiap hari,"     

Aku menoleh, tatkala mendengar suara Rianti di sebelahku. Rianti, tampak tersenyum sambil merengkuh tubuhku. Air mataku tiba-tiba terasa cetek, aku menangis dalam pelukan adikku. Gusti, aku beruntung memiliki adik perempuan sepertinya, yang mana di saat hancurnya aku, dia ada untuk mendukungku sepenuh hati. Andai bukan Rianti, siapa gerangan yang akan mendukungku seperti ini? Siapa gerangan yang akan tahu jika hari ini hatiku telah... mati.     

"Kangmas tahu, biarpun Kangmas sering menyebalkan. Tapi percayalah, di mataku Kangmas adalah laki-laki kedua yang paling sempurna di dunia ini setelah Romo. Jadi, aku yakin, suatu saat cinta yang lain akan tumbuh seiring berjalannya waktu. Dan luka yang sekarang menganga, akan segera sirna. Kangmas percaya padaku, toh?" Rianti tampak membingkau wajahku dengan kedua tangan mungilnya, membuatku tersenyum oleh perlakuan itu. Dengan lembut, jempol tangannya mengusap pipiku yang basah.     

Gusti, tumben benar adik tercintaku berkata benar seperti ini. Kata haru yang benar-benar membuatku ndhak bisa berkata apa-apa lagi. Bahkan aku ndhak menyangka, dari mana gerangan dia mendapatkan ilham sampai ia benar-benar bersikap manis layaknya seorang adik perempuan yang seutuhnya.     

Kukecup puncak kepalanya, kemudian kutampakkan seulas senyum untuknya. Rianti tersenyum, tapi matanya tampak berkaca-kaca.     

"Kamu disuruh Biung melakukan sesuatu, toh?" tanyaku. Dia mengangguk. "Kerjakan, nanti Biung menunggu." Setelah kubilang seperti itu, Rianti langsung menurut pergi mengambil apa yang Biung suruh kepadanya. Sementara aku masih berdiri dengan bodoh melihat ke mana pun Rianti pergi.     

Kupandang adik perempuanku itu dengan seksama. Semua doa-doa terbaik kupanjatkan untuknya. Semoga, dia menemukan kebahagiaannya, semoga dia bisa bersatu dengan pemuda yang ia cinta, semoga ndhak pernah ada air mata pada kisah cintanya, dan semoga dia dan orang yang dia cinta akan bahagia sampai tua. Seperti layaknya Romo, dan Biung. Meski kata mereka, kisah cinta mereka sebelum semanis ini sangat sulit dan berliku. Tapi, umpama disuruh memilih, aku pun ingin memilih kisah cinta seperti mereka. Meski berliku, seendhaknya mereka bisa bersatu. Ndhak seperti kisah cintaku yang kelabu.     

Ya, sebenarnya bukan hanya sekali Rianti bisa bersikap seperti adik yang manis seperti ini. Tapi sering, di saat aku berada pada masa-masa paling buruk, dan paling hancur di dunia. Dialah adikku, yang selalu menguatkanku. Itu sebabnya jika kami jauh aku merasa rindu, meski saat dekat, lebih banyak bertengkar dari pada saling sayang.     

Kuhela napasku yang terasa begitu berat. Aku hendak melangkah tapi tiba-tiba pintu kamar Manis terbuka. Ndhak terbuka lebar, kira-kira hanya cukup sosoknya yang mengintip di balik pintu itu. Matanya sembab, dan merah. Aku yakin dia sudah cukup lama menangis. Tapi, dia masih saja menampilkan seulas senyum untukku.     

"Arjuna, bisa aku meminta permintaan terakhir kepadamu sebelum besok aku menikah dengan Kamitua Minto?" katanya. Kutarik alisku mendengar ucapannya itu, tapi aku masih berusaha untuk mendengar permintaan apa yang ingin ia utarakan. "Besok... besok... aku ingin kamulah yang mengenakan pakaian pengantin itu untukku...," ucapan Manis terhenti, dia kembali terisak. Aku hendak meraih pipinya untuk mengusap air mata yang menetes di pipi itu namun ndhak kuasa. Apalagi jika ingin merengkuh tubuhnya, semakin ndhak bisa kulakukan sama sekali. "Aku ingin... aku ingin kamu yang mengenakannya, Arjuna. Aku ingin, seendhaknya... itu adalah impianku. Seendhaknya, aku memakai pakaian pengantin itu di depanmu, seendhaknya kamulah pemuda pertama yang melihatku mengenakan pakaian pengantin itu."     

Dia kembali menangis terlebih saat aku mengangguk menyetujui permintaannya. Sambil tersenyum dia menutup pintu kamarnya kembali.     

Sementara aku, hanya bisa memejamkan mata erat-erat sambil membayangkan senyum pilunya itu. Ini sungguh menyakitkan, dan aku ndhak menyangka jika rasa sakitnya sampai seperti ini. Bahkan untuk sekadar bernapas pun, rasanya aku ndhak mampu. Gusti, apa yang harus kulakukan untuk menghapus rasa sakit yang teramat ini. Katakan, Gusti... apa?     

"Arjuna, kamu kenapa?"     

Aku langsung menoleh tatkala suara Biung menyapaku. Alis Biung tampak bertaut melihatku. Seolah-olah dia telah menangkap sesuatu. Segera kumiringkan wajahku, untuk sekadar mengusap air mataku yang hendak jatuh. Lalu, aku pun tersenyum ke arah Biung.     

"Kamu menangis? Ada apa? Ada masalah apa, Arjuna?" tanyanya. Memegang pipiku dengan kedua tangannya. "Apa yang terjadi, Sayang? Kenapa anak Biung menangis seperti ini?" tanya Biung lagi. Kedua tangannya menahan wajahku yang hendak berpaling, membuatku mau ndhak mau memandang ke arahnya juga.     

Sungguh aku ndhak kuasa untuk mengatakan itu kepada Biung. Kuraih tangannya kemudian kucium punggung tangannya. Dan entah kenapa, air mata ini lancang mengalir lagi. Bodoh, Arjuna, kenapa gemar sekali kamu menangis seperti ini? Kamu ini seorang laki-laki, ndhak pantas benar jika kamu cengeng seperti ini!     

"Asal Biung ada di sini, asal Biung bersamaku, aku akan baik-baik saja, Biung. Percayalah ucapan putramu ini...," kubilang. Biung menggeleng, dia masih ndhak mau percaya dengan apa yang kukatakan kepadanya. "Aku pergi dulu, Biung, masih ada urusan di beberapa kampung untuk mengurusi beberapa perkebunan di sana."     

Aku langsung pergi, mengabaikan suara Biung yang terus memanggilku. Jika aku berhenti sekarang, pastilah aku akan menjadi orang bodoh. Sebab bagaimana pun, di sini ada banyak orang. Sebagai laki-laki aku benar-benar malu. Malu jika semua orang tahu jika saat ini hatiku hancur, malu jika semua orang tahu fakta jika aku telah kalah. Kalah karena cintaku direbut oleh Minto.     

"Paklik Sobirin, antarkan aku ke kota sekarang," perintahku, memiringkan wajahku seperlunya kemudian berjalan mendahului Paklik Sobirin. Aku langsung masuk ke dalam mobil sambil melipat kedua tanganku di dada. Sesekali kuiringkan wajahku agar air mataku ndhak menangis lagi.     

"Sekarang, Juragan?"     

Aku mengangguk menanggapi pertanyaan Paklik Sobirin, menunggunya masuk ke dalam mobil. Jauh... pergi jauh seendhaknya untuk saat ini, setelah itu aku bisa menata hatiku lagi. Dan aku ndhak tahu, kapan aku bisa menata hatiku lagi di sini. Setelah besok, setelah aku menepati janjiku kepada Manis, mungkin aku benar-benar akan meninggalkan tempat ini. Atau, lebih baik aku kembali ke Jambi, menata lagi hidupku yang berantakan, dan berharap bertemu dengan perempuan untuk kupinang.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.