JURAGAN ARJUNA

BAB 53



BAB 53

0Malam ini aku benar-benar ndhak bisa tidur. Padahal, sudah berbagai cara kucoba agar mata ini mau terpejam barang sebentar saja. Dadaku terlalu sesak tatkala memikirkan tentang besok, terlebih pikiranku benar-benar ndhak mau diam barang sebentar. Pikiranku terus saja meronta ingin bertemu dengan Manis malam ini, atau bahkan aku ingin menculiknya dan kubawa ke tempat yang paling jauh di dunia. Agar ndhak ada lagi siapa pun yang menentang hubungan kami, agar ndhak ada siapa pun yang dapat memisahkan kami.     
0

Berengsek!     

Aku benar-benar menjadi lumpuh hanya karena jatuh hati dengan Manis. Bagaimana ini Gusti? Aku merasa jika Manis adalah jodohku. Namun jika engkau menakdirkannya berjodoh dengan yang lain, lantas engkau menginginkan aku bagaimana, Gusti? Apakah takdirku benar akan menjadi penunggu sampai aku mati nanti? Bagaimana aku bisa menunggu, jika yang kutunggu ndhak ditakdirkan menjadi milikku. Atau jika engkau ndhak menjodohkan aku dengan Manis, siapa sebenarnya jodohku, Gusti? Tolong... berikan petunjukmu untuk menyelesaikan masalah ini. Atau ini malah sebuah karma dari kesalahan yang terdahulu? Kesalahan atas leluhurku?     

"Arjuna sudah tidur?" sayup-sayup kudengar suara Romo Nathan di depan pintuku. Entah, dia sedang bertanya kepada siapa. Tapi sepertinya, yang ditanyai Romo Nathan telah mengintai kamarku sejak lama.     

Aku langsung diam, ndhak melakukan pergerakan yang kiranya memancing pendengaran Romo, dan sosok yang ditanyai Romo itu. Lebih baik dipikir jika aku memang sudah tidur, dari pada nanti Romo masuk ke dalam kamarku. Kemudian menanyaiku macam-macam. Aku belum siap untuk itu. Aku butuh sendiri, aku butuh waktu untuk sekadar menenangkan diri.     

"Sudah, Kangmas. Dari petang, pintu ini terkunci rapat-rapat. Bahkan, dia ndhak keluar untuk sekadar makan malam. Aku benar-benar sangat risau, Kangmas. Sikap Arjuna yang tiba-tiba seperti ini benar-benar membuatku ndhak bisa tidur,"     

Ternyata suara di luar adalah suara Biung, dan Romo.     

Biung, tolong, jangan pernah merisaukan aku bahkan sampai Biung sendiri lupa akan makan dan tidur. Sungguh, aku ndhak apa-apa, aku baik-baik saja. Hanya saja, aku butuh menata hatiku, aku butuh menenangkan hatiku kemudian menguatkannya. Agar aku bisa menerima kenyataan terpahit dalam hidupku ini, agar aku bisa untuk melangkah maju dan menatap masa depan baruku. Biung, kamu juga pernah muda. Jadi kumohon, maklumlah dengan keadaanku sekarang ini.     

"Apa ini karenaku, Kangmas? Karena aku terlalu memaksanya menikah dan menghadirkan Puri di hidupnya jadi dia sampai seperti ini? Apa ini tanda protesnya kepadaku karena aku sebagai Biung sama sekali ndhak peka dengan perasaannya? Katakan jika semua ini salah, Kangmas, katakan...."     

Gusti, bagaimana ini? Aku benar-benar ndhak tega mendengar isakan Biung yang benar-benar menyayat hatiku. Namun demikian, aku juga benar-benar ndhak siap dengan semua ini. Aku masih butuh waktu, untuk mengakui segalanya.     

Biung, percayalah... ndhak ada satu hal pun dari Biung yang membuatku sakit. Bagiku, Biung adalah segalanya. Dan Biung adalah hidupku, sama halnya dengan arti Romo bagiku. Terlebih masalah Puri, asal Biung tahu, semurahan apa pun Puri, dan sekuat apa pun Puri menggodaku, aku ndhak akan pernah bisa sakit hati atau sekadar frustasi karenanya. Karena bagiku, Puri ndhak lain hanyalah debu yang kebetulan menempel di bajuku, ndhak lebih dari itu.     

"Percayalah, Sayang, ndhak ada satu hal pun darimu yang bisa menyakiti hati putra kita. Sebab di matanya, kamu adalah surga terindah untuknya. Sekarang, putra kita hanya butuh waktu. Dan biarkan semuanya tetap berjalan seperti itu. Aku yakin, bukan hanya kamu, tapi aku... beberapa hari ini dia pun telah mendiamiku. Bukan karena dia ingin, namun karena dia belum siap bercerita kepada kita. Nanti, jika dia siap, pasti dia akan menceritakan semuanya. Tentang isi hatinya, tentang alasannya kenapa dia sampai seperti ini. Jadi, istriku sayang... bersabarlah, dan mengertilah. Jika putra kita ini telah dewasa, dia juga ingin menikmati sakitnya sendiri sebelum siap bercerita kepada kita. Sabar... sabar sampai waktu datang, ya, kamu bisa melakukan itu?"     

Jujur, mendengar Romo mengatakan itu, hatiku terasa sangat ngilu. Aku sangat iri dengan hubungan Romo, dan Biung. Mereka benar-benar selalu bersama, dan bisa bertahan sampai sejauh ini. sementara aku, baru mengenal kata cinta saja sudah menelan bagaimana rasa pahitnya. Mungkin benar, takdirku adalah menjadi sendiri sampai akhir hayat nanti.     

Setelah itu, ndhak ada suara lagi. Dan keadaan luar kamarku benar-benar menjadi hening. Kuhelakan napasku kemudian kurebahkan tubuhku. Memejamkan mataku, dan berharap jika otak ini nanti terasa lelah, pasti akan tidur dengan sendirinya. Atau bahkan, jika mata ini terasa lelah pasti akan lelap dengan sendirinya. Agar saat fajar nanti, aku bisa bangun lebih awal untuk menepati janjiku dengan Manis. Janji terakhir yang kami buat. Dan melihat Manis dengan terakhir kalinya, ya... terakhir kalinya yang masih menjadi milikku. Milikku seutuhnya. Dan setelah itu, kami benar-benar akan terpisahkan dan ndhak mungkin bisa bersatu selamanya.     

Dan pada akhirnya, jam menunjukkan pukul 02.00 dini hari, aku sudah berdiri di sini dengan bodoh. Sambil memeluk diriku, sebab udara menjelang fajar di Kemuning adalah udara yang sangat sejuk sekali. Aktifitas kehidupan di rumah Manis sudah tampak, sebab nanti pagi sekitar jam 09.00 pernikahan itu akan berlangsung. Dapat terlihat dengan jelas jika rombongan yang ditugaskan untuk merias wajah Manis pun telah datang. Bayangan beberapa orang di antara sinarnya lampu kamar Manis yang hanya bisa kulihat dari luar jendela. Ini hanya karena aku ndhak bisa tidur, malah memutuskan diri ke sini sebelum waktunya tiba. Gusti, menyebalkan benar aku ini. Sepertinya hanya karena cinta aku menjadi pemuda yang bodoh luar biasa. Bagaimana bisa aku menjadi sebodoh ini, toh.     

Sekarang, apa yang harus aku lakukan? Apa aku akan tetap berdiri di sini dengan bodoh sambil melihat bayangan orang-orang itu di balik jendela kamar? Kurasa tentu, bagaimana aku akan sekadar singgah di rumahnya, jika simbahnya saja ndhak pernah menginginkan kehadiranku di sana. Jika bukan karena Biung, pastilah setiap aku baru saja menginjakkan kaki di rumahnya aku akan didepak atau malah dilempar dengan benda-benda yang ada di dalam rumahnya. Sebab bagi Simbah Manis, aku adalah sebuah najis yang ndhak bisa hilang kalau endhak dibuang.     

"Bulik, bolehkah aku meminta sesuatu?"     

Suara itu terdengar sangat pelan, setelah beberapa jam aku mengamati kamar Manis. Itu adalah suara Manis. Manisku....     

Apakah acara merias dirinya telah usai? Jika benar, aku bersyukur sekali. Sebab tubuhku sampai mati rasa karena di sini selama berjam-jam, dan kakiku juga sudah kesemutan. Manis, aku rindu kamu, aku ingin bertemu denganmu. Sudikah kiranya kamu mengizinkannya untukku menyampaikan salam perpisahan untuk terakhir kalinya?     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.