JURAGAN ARJUNA

BAB 54



BAB 54

"Pakaian pengantin ini, aku ingin mengenakannya sendiri, Bulik. Jadi, bisakah kalian keluar dulu barang sebentar?" pinta Manis. Benar rupanya, entah acara riasannya telah usai atau tinggal sedikit lagi, yang jelas suara Manis memohon itu, adalah suatu pertanda jika saat ini adalah waktuku untuk masuk ke kamarnya, bertemu dengannya, dan menyampaikan salam perpisahanku dengannya.     

"Tapi, Manis, mengenakan pakaian pengantin ndhaklah semudah mengenakan kebaya-kebaya yang kita gunakan sehari-hari. Itu benar-benar akan sangat susah, dibantu dua orang saja susah. Apalagi kamu sendiri, pasti—"     

"Aku bisa, Bulik, percayalah. Jika nanti aku merasa kesulitan, pasti aku akan memanggil kalian. Boleh ya, Bulik? Seendhaknya, ini adalah permintaan terakhirku, setelah ini aku janji ndhak akan meminta apa pun lagi kepada kalian," pinta Manis. Aku yakin dia juga ragu, aku yakin dia juga frustasi untuk sekadar meyakinkan para perias itu. Sebab bagaimanapun, sedari yang aku tahu memang, pakaian pengantin berlapis-lapis, untuk mengenakannya tentu akan sangat sulit. Terlebih, Manis menyuruhku yang mengenakannya untunya. Apa aku bisa?     

Suasana sesaat hening, aku yakin jika perias itu tampak menimbang-nimbang permintaan Manis. Biar bagaimanapun ini adalah tugas mereka, untuk memastikan seorang pengantin akan tampil dengan sangat sempurna adalah tanggung jawab mereka. Jika melakukan salah sedikit saja, maka yang terjadi adalah mereka akan dihujat. Dan itu sangat buruk untuk mereka sebagai seorang perias.     

"Ya sudah, ndhak apa-apa. Aku tahu kamu butuh waktu sendiri. Jadi, tak tinggal, ya, Ndhuk. Nanti setengah jam lagi, aku akan balik ke kamarmu untuk memeriksa apakah kamu sudah bisa mengenakan kebayamu apa endhak," putus perias itu pada akhirnya.     

Gusti, terimakasih! Terimakasih engkau telah mengabulkan doaku yang terakhir ini. Terimakasih telah memberiku kesempatan untuk bertemu dengan Manis untuk pertama kali.     

"Makasih, ya, Bulik, terimakasih."     

Setelah mendengar suara itu, suasana kembali hening. Sesaat kemudian, jendela kamar Manis pun terbuka. Di balik jendela itu, sosok yang sedari tadi kunanti pun tampak. Dan dia benar-benar cantik dengan riasan seperti itu. Dia benar-benar manglingi. Dia benar-benar seperti, calon pengantin untukku.     

Bagaimana jika aku yang menikah dengannya besok? Haruskah kubunuh Minto agar Manis dapat menikah denganku? Semakin aku melihatnya, semakin aku ndhak rela jika wanitaku akan bersanding dengan laki-laki lain di pelaminan.     

"Arjuna...," lirihnya. Aku pun berjalan mendekat, kemudian masuk ke dalam kamarnya melalui jendela. Manis menggenggam tanganku dan dia tampak begitu panik. "Tubuhmu sedingin ini, berapa lama kamu berada di luar sana, Arjuna?" tanyanya. Aku yakin dia pasti tahu jika aku ndhak bisa tidur semalaman, dan aku yakin dia lebih dari tahu jika sudah sangat lama aku berdiri di luar.     

Manis, kini mengenggam kedua tanganku. Matanya yang indah tampak nanar. Aku ndhak mau dia menangis, terlebih setelah ia berias secantik ini hari ini. Aku ndhak mau, kesempurnaannya sebagai seorang perempuan akan rusak, hanya karena ulahku.     

Aku ndhak mengatakan apa pun, pula menjawab pertanyaannya. Yang kulakukan adalah, memeluk tubuhnya seerat mungkin. Dan melakukan apa yang mungkin saat ini masih bisa kulakukan. Agar nanti, ketika aku rindu menatap wajahnya, aku akan mengingat saat ini, agar nanti ketika aku rindu wangi tubuhnya aku akan mengingat saat ini, dan agar nanti ketika aku rindu mendekap tubuhnya aku akan ingat hari ini juga. Dan akan kukenang setiap lekuk bagian wajahnya, agar aku bisa menggambarkan wajahnya dengan sangat sempurna setiap kali menjelang tidur.     

"Bagaimana ini, Manis? Aku benar-benar dibuat gila karenamu...," kubilang. "Bagaimana nanti jika aku rindu melihat paras ayumu, bagaimana nanti jika aku rindu dengan wangi tubuhmu, bagaimana nanti jika aku rindu merenguh tubuhmu, dan bagaimana nanti—"     

Manis lantas menempelkan telunjuknya di depan bibirku. Matanya kembali nanar, namun ndhak akan kubiarkan dia menangis. Nanti, riasannya bisa hancur, dan aku ndhak mau itu terjadi. Kukecup telunjuknya yang tengah menempel di bibirku, kemudian tangannya kutarik, hinga setiap inci dari tangannya kuciumi, sedikit demi sedikit. Mani, aromamu benar-benar telah berhasil menggoda kewarasanku.     

"Dadaku sesak setiap kali kamu mengatakan itu, Arjuna. Sepertinya, aku benar-benar ingin menyerah saja. Bagaimana jika kita pergi dari sini? Pergi ke tempat paling jauh sampai-sampai ndhak ada satu orang pun yang mengenali kita? Bagaimana kalau kita pergi ke tempat yang ndhak ada satu orang pun yang melarang cinta kita? Bagaimana? Apakah masih mungkin? Aku benar-benar ndhak sanggup membayangkan, setelah kamu pergi dari sini apa yang akan terjadi kepadaku. Bahkan rasanya, tubuhku panas dingin hanya memikirkannya saja. Aku benar-benar ketakutan, Arjuna,"     

Manis menunduk, air matanya telah menetes di tanganku. Kemudian, dia menatapku sambil menggeleng kuat-kuat. Seolah apa yang baru saja keluar dari mulutnya adalah suatu kesalahan besar, seolah apa saja yang baru saja keluar dari mulutnya adalah hal pantangan yang sedang ia langgar.     

"Itu semua ndhak mungkin, toh. Itu semua ndhak mungkin, aku harus menjalankan kewajibanku sebagai seorang cucu, dari Simbah yang telah sudi merawat, dan membesarkanku selama ini. Aku—"     

"Jangan bicara jika itu terasa sakit, hari ini adalah hari kebahagiaanmu, Manis," kubilang. Kupeluk tubuh Manis, kemudian kulepaskan pelukanku. Kupandangi wajahnya yang tampak kebingungan akan pikirannya sendiri. Seolah, hari ini yang kulihat bukanlah Manis. Akan tetapi orang lain yang telah kehilangan akan jati dirinya yang sesungguhnya.     

Manis menggeleng kuat. Dia tampak begitu histeris dengan mata yang terus menatap kesana-kesini ndhak menentu.     

"Bukan, ini bukan hari kebahagiaanku, Arjuna. Ini... ini adalah hari di mana Manis akan benar-benar mati. Ini hari di mana Manis akan masuk neraka untuk selama-lamanya."     

Lagi, aku tersenyum getir mendengar ucapan Manis. Kuraih helai demi helai pakaian yang hendak ia gunakan. Kemudian, kulepas pakaian yang melekat di tubuhnya. Tangan Manis kembali menggenggam tanganku, kemudian menciumnya. Andai kamu tahu, Manis, jika hari ini bukan hanya sekadar hari kematianmu, andai kamu tahu jika hari ini bukan hanya hari kamu naik neraka. Tapi, hari ini aku juga merasakan hal yang sama, bahkan lebih... lebih dari apa yang kamu rasakan sekarang.     

"Arjuna, jika aku telah menjanda apa kamu akan menungguku? Apa kamu masih mau denganku?" tanyanya. Ada rasa cemas, dan ragu di sana, seolah dia ndhak percaya diri atas pertanyaannya. Tatapannya yang benar-benar ndhak menentu itu, benar-benar membuatku pilu.     

Aku mengangguk kuat menjawabi ucapannya. "Tentu, aku akan menunggu jandamu, Manis. Meski kamu telah menua aku ndhak peduli. Aku akan menunggumu sampai mati,"     

Ini benar-benar polemik hati, polemik untuk meyakinkan Manis jika apa yang kuucapkan adalah suatu janji yang benar-benar akan kupegang sampai kapan pun itu. Dan kurasa, Manis pun tahu akan kesungguhanku. Jika aku telah bersungguh-sungguh, ndhak ada dusta sama sekali yang kuucapkan kepadanya. Sebab cintaku kepadanya adalah nyata dan apa adanya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.