JURAGAN ARJUNA

BAB 55



BAB 55

0Aku janji, jika aku akan menunggumu. Ndhak peduli jika di luar sana ada ribuan perawan yang ingin meminangku, aku ndhak peduli. Aku akan tetap di sini, aku akan setia denganmu sampai mati. Sampai kapan pun aku akan menunggumu, meski orangtuaku terus mendesak jika aku harus menikah, meski semua orang mencibir jika aku akan menjadi perjaka tua sampai nanti. Aku akan menunggumu, atau bahkan jika takdir bertindak lebih kejam, kamu akan jatuh hati kepada Minto pada akhirnya. Maka, sampai aku menutup mata, aku akan tetap menunggumu. Biarkan aku menjadi yang bodoh, biarkan aku menjadi yang tersakiti, aku ndhak peduli. Sebab bahagiamu, sebab rasa tenangmu, adalah yang terpenting untukku, sampai kapan pun itu.     
0

"Ini ndhak akan lama, Arjuna. Percayalah...," katanya yang berhasil membuatku bingung. "Bertahan, dan tunggulah sebentar lagi. Semua rasa sakit ini ndhak akan lama," lanjutnya. Seolah, jika apa yang ia janjikan kepadaku itu benar adanya, seolah ini adalah keyakinan yang harus aku percayai dan benar-benar akan menjadi nyata.     

Aku hanya diam, sebab benar-benar ndhak tahu apa yang harus kulakukan. Selain, melepas pakaiannya, dan melihat jika ada yang aneh dari tubuhnya. Perut Manis tampak sedikit membuncit.     

"Kenapa perutmu sebesar itu? Apa kamu kembung? Masuk angin?" tanyaku. Dia menggeleng. Membantuku mengenakan kebayanya, kemudian tersenyum simpul.     

"Kamu tahu, di dalam perut ini ada isinya. Dan itu sangat berharga," jawabnya. Aku tersenyum mendengar jawabannya, bagaimana bisa isi dari perut adalah benda sangat berharga. Memangnya, dia habis makan emas apa berlian, toh.     

"Jelaslah, isinya pasti makanan yang kamu makan, minuman yang kamu minum, lambung, dan usus-sususmu," jawabku sekenanya. Sembari terkikik karena untuk mengatakannya saja rasanya aku benar-benar geli sendiri.     

Manis tampak melotot. "Mboknya jadi laki-laki itu pintar sedikit, toh. Sedari dulu itu lho, ndhak pernah bisa peka. Dasar ndhak punya pikiran," ketusnya, sambil mencubir perutku,, membuatku mengaduh kesakitan. "Sekali-kali itu yang romantis, yang sayang, dan yang pintar. Yang pandai begitu, lho, membuatku melayang-layang. Dasar kamu ini, manis-manis kalau ada maunya saja,"     

"Lha memangnya apa lagi? Kamu minta aku peka memangnya kamu menginginkanku menjadi seperti putri malu, begitu? Yang jika disentuh langsung akan malu? Endhak-endhak, aku jadi pangeran malu saja, yang akan malu kalau disentuh dengan Manisku. Terlebih, kalau menyentuhnya dengan perasaan cinta. Ndhak hanya malu, malah-malah bisa panas-dingin hatiku dibuatnya, melayang-layang seakan aku terbang ke nirwana," godaku, sambil memeluk tubuhnya dari belakang, kemudian mencium bahunya yang mulus. Salah satu dari bagian tubuh Manis yang selalu kugemari, yang selalu kukecup ketika aku ingin, setelah ini aku ndhak akan bisa lagi.     

"Arjuna...," gemasnya. Aku tersenyum juga. "Jangan kencang-kencang ini sakit, lho," rajuknya, persis seperti anak kecil yang marah tatkala ndhak dibelikan permen.     

"Iya, iya... dilonggarkan seperti ini? Kalau seperti ini sakit, lantas yang endhak sakit itu yang bagaimana, Sayang?" tanyaku, seolah kami ndhak akan berpisah, seolah kenyataan yang kami hadapi setelah ini bukanlah sebuah perpisahan.     

"Yang endhak sakit itu, ya, saat dipeluk kamu, saat tanganku digenggam sama kamu, saat dipandang seperti ini sama kamu...," Manis tampak tersenyum, kemudian dia membalikkan badannya, memandangku sambil membingkai wajahku dengan tangan kecilnya. "Saat dicium kamu, dan saat-saat indah ketika bercumbu denganmu," lanjutnya.     

Aku langsung menangis tatkala Manis mengatakan hal itu, sebuah ucapan yang mungkin jika aku mendengarnya dulu, pasti akan merasa bahagia luar biasa. Namun sekarang apa? Sekarang yang ada, setiap kali Manis mengatakan akan hal itu, ndhak ada rasa bahagia. Melainkan rasa seperti dicabik-cabik sampai hatiku mati rasa. Manis, aku benar-benar ndhak sanggup, aku benar-benar ndhak bisa seperti ini.     

Setelah selesai mengenakan kebaya kepada Manis, meski aku ndhak yakin apakah semuanya sudah tersusun secara benar apa endhak. Aku pun melihat Manis dengan kepuasan. Dia benar-benar calon pengantin yang sangat ayu. Parasnya, tubuhnya, semua yang melekat padanya tampak begitu sempurna.     

"Bagaimana ada calon pengantin seayu dirimu, jika mempelai prianya bukan aku? Seharusnya, aku yang duduk bersanding denganmu di pelaminan nanti. Bukan Minto," kubilang.     

Kuraih wajah Manis agar dia memandangku, kemudian kucium bibirnya yang bergincu merah itu. Aku harus menghafalkan setiap inci bibirnya, bagaimana memabukkan ciumannya, agar nanti jika aku rindu, bisa membayangkan sambil kupejamkan mataku. Rasanya, andai saja aku ingin benar-benar melakukan malam penganti bersamanya saat ini juga. Tapi, aku masih punya kewarasan untuk ndhak melakukannya, dia adalah pengantin Minto. Bukan pengantinku. Kupaksa melepas ciumanku dengan Manis, meski hatiku ingin meminta lebih. Kemudian, kuletakkan keningku pada keningnya. Masih memandangi bibirnya yang benar-benar begitu ingin kucumbu lagi, dan lagi itu.     

"Setelah ini, setelah aku melewati jendela kecil itu, semuanya telah berakhir, Manis," lirihku. Benar, pembatas hubungan kami sekarang, pembatas kebahagiaan kami sekarang hanyalah jendela kamar manis yang kecil itu. Setelahnya semua ndhak akan lagi sama, setelahnya semuanya akan menjadi hidup bagaikan di dalam neraka.     

Manis menunduk, dia ndhak mengatakan apa pun kecuali menggenggam tanganku erat-erat. Kemudian, menciuminya dengan begitu rakus. Aku tahu jika saat ini kedua tangannya tiba-tiba mendingin.     

"Manis, apa kamu sudah bisa mengenakan kebayanya? Ini sudah siang, lho, nanti takut mempelai pria ke sini kamu belum siap!" teriak perias Manis dari luar. Dan itu tandanya, jika waktuku telah benar-benar habis. Dan kisah cintaku benar-benar harus berakhir sekarang.     

"Aku mencintaimu, Arjuna. Aku sangat mencintaimu. Ndhak akan ada laki-laki mana pun yang bisa merubah hatiku, percayalah itu," katanya. Meyakinkanku.     

"Aku tahu, ndhak usah kamu ucapkan pun aku tahu," kubilang. Kuelus pipinya untuk terakhir kali, sebelum aku benar-benar pergi. "Jika nanti aku ndhak datang di pernikahanmu, jangan pernah tanya kenapa. Sebab, kamu pasti tahu jawabannya. Hatiku ndhak seluas samudra yang bisa menerima perempuan yang kucintai bersanding dengan pria lain di pelaminan, dan aku ndhak cukup ikhlas untuk sekadar berpikir jika setelah pernikahan bodoh ini, kamu... kamu akan menjadi milik Minto."     

"Arjuna—"     

"Manis boleh aku berpesan kepadamu?" kataku. Manis mengangguk. "Jangan pernah membiarkan dirimu diinjak-injak oleh siapa pun, meski itu suamimu sendiri. Sebab aku ndhak mau, jika laki-laki laknat itu sampai menyakitimu. Apa kamu paham?" Manis kembali mengangguk menjawabi ucapanku itu. "Sebab, aku rela melepaskanmu karena aku ingin kamu bahagia, bukan untuk menderita. Jika nanti aku tahu kalau Minto membuatmu menderita, aku... dengan kedua tanganku sendiri yang akan datang kepadanya untuk merebutmu darinya. Kamu paham?"     

"Iya, aku mengerti, Arjuna. Aku akan pegang semua kata-katamu, aku janji aku akan hal itu. percayalah kepadaku, Arjuna. Sama halnya dengan kepercayaanmu kepada hatiku ini,"     

"Ya sudah aku pergi, aku pamit dari rumahmu juga dari kehidupanmu."     

"Arjuna percayalah, tunggulah aku. Tunggulah aku, Arjuna. Ini ndhak akan lama, perpisahan ini ndhak akan lama. Aku janjikan ini kepadamu, Arjuna. Percayalah kepadaku,"     

Aku hanya membalasnya dengan sebongkah senyuman saat Manis mengatakan hal itu. setelah aku melompat jendela, dia pun menutup jendela itu.     

Dan di saat itu pula, kedua kaki sudah ndhak sanggup lagi untuk berdiri. Aku luruh, aku lumpuh. Aku benar-benar ndhak tahu apakah ini hari kiamat bagi hidupku, bagi cintaku.     

Manis, sekar yang selalu kusayang sampai kapan pun....     

Cinta kita ibarat sekar kamboja, yang tumbuh dan berkembang di tempat penuh duka...     

Seindah apa pun sang kamboja, seperti itu pula dia melambangkan lara....     

Dia putih, bersih, namun dia berduka....     

Dia indah, dan menarik, tapi dia seolah sebatangkara....     

Hanya potongan-potongan duka, yang tersusun nyata di setiap batu nisan sebagai penanda....     

Jika kamboja, akan tetap setia di sana selamanya....     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.