JURAGAN ARJUNA

BAB 56



BAB 56

0Kepalaku rasanya sangat pusing, aku benar-benar ndhak tahu apa ini karena sudah dua hari ini aku ndhak makan, atau karena masuk angin. Atau bahkan, karena selama beberapa hari ini ndhak bisa tidur. Aku berjalan pulang, sambil menimang-nimang beberapa hari terakhir yang bisa kuhabiskan dengan Manis, senyumnya, wajahnya, candanya, bahkan... air matanya.     
0

Aku pun ingat saat dia berkata jika ingin menjodohkan anak keduanya denganku. Dan itu benar-benar membuatku tersenyum. Anak kedua? Omong-omong kenapa Manis berkata anak kedua? Lantas di mana anak pertamanya? Apa dia pikir jika anak pertamanya ndhak mungkin bisa bersatu denganku karena sampai sekarang aku belum memiliki penggantinya? Bukan... pasti bukan itu.     

Aku terdiam sesaat mengingat kejadian tadi, tatkala aku melihat peruc Manis yang kini tampak membuncit. Aku ingat benar jika Manis memiliki perut datar yang begitu menggemaskan, dan itu bukanlah perut seperti orang....     

Apa Manis tengah mengandung? Apa benar dia tengah berbadan dua mengingat ucapannya itu? Jika yang berada dalam perutnya adalah sesuatu yang berharga? Apa Manis tengah mengandung anakku?     

Jika iya, maka pernikahan ini ndhak boleh terjadi dan ndhak akan pernah terjadi! Aku harus memastikan dulu dengan Manis karena ini. Jika benar tebakanku benar, maka akan kubungkam mulut simbahnya dengan kenyataan ini.     

Aku segera berbalik badan, berharap Manis masih ada di tempatnya. Namun tiba-tiba, langkahku terhenti tatkala ada kurang lebih dua puluh orang menghadang jalanku tepat di tengah-tengah kebun teh itu.     

Mereka siapa?     

"Kamu mau ke mana, Juragan?" tanya salah seorang yang di sana.     

Mereka bukan dengan tangan kosong, namun membawa beberapa senjata, termasuk senjata tajam. Apa mereka berniat untuk menghadangku? Atau malah, menghabisi nyawaku?     

"Mau ke mana aku, bukan urusan kalian!" sentakku.     

Tapi, mereka malah tampak tertawa. Seolah, jawabanku adalah hal yang paling lucu sedunia. Bajingan!     

"Maaf, Juragan, maaf. Tapi sepertinya, ke mana Juragan pergi adalah urusan kami. Bagaimana, ya, tugas kami adalah untuk itu."     

"Untuk?" selidikku.     

Mereka kembali tertawa.     

"Karena mungkin Juragan akan mengacaukan acara pernikahan Manis. Tugas kami adalah untuk mencegah itu terjadi. Dengan...," salah seorang sengaja mengambangkan ucapannya, kemudian dia kembali tertawa. Wajah mereka tertutup semua, dan aku benar-benar ndhak bisa mengenali wajah mereka. Namun satu, dari postur tubuh mereka, tampak dengan jelas jika mereka adalah orang-orang profesional.     

"Dengan memusnahkan nyawa Juragan! Hahaha!" lanjut orang satunya.     

Dadaku terasa sesak, entah siapa keparat yang merencanakan ini semua. Namun bagaimana pun caranya, aku harus bisa berada di rumah Manis sebelum pernikahan itu terjadi!     

"Siapa laki-laki berengsek yang telah menyuruh kalian?"     

"Ah, bedebah! Ndhak usah banyak ucap!" teriak salah satu di antara mereka.     

Laki-laki bertubuh dempal itu berlari ke arahku sambil membawa golok, berusaha menyabet leherku dengan goloknya. Aku mundur, menghindar sampai ia terhuyung ke depan, kemudian kutendang perutnya sampai dia jatuh di tanah. Lagi, satu demi satau, atau bahkan dua dari kerumunan mereka mencoba melukaiku.     

"Dia ndhak akan bisa dikalahkan kalau hanya dua, tiga orang yang mengeroyoknya! Ayo kita habisi dia bersama-sama!"     

Aku langsung siaga, tatkala suara itu mengintrupsi rombongan penjahat itu. Lalu, mereka maju secara bersamaan seolah-olah aku adalah binatang buas yang harus segera dimusnahkan.     

Aku mundur, menghindari sabetan parang sosok tinggi cungkring, namu di belakangku ada sosok lebih pendek dariku yang berhasil menyayat lenganku. Rasanya sakit, saat sayatan itu mulai mengoyak kulitku. Namun, aku ndhak mungkin mati di sini, toh? Ndhak... ndhak, aku ndhak mau mati konyol di sini.     

Jrep!!!     

Napasku tertahan, saat salah satu orang berhasil menusuk perutku dengan golok mereka. Tawa puas terdengar begitu nyata. Terlebih, rasa ngilunya yang mengoyak kewarasanku. Kugenggam ujung parang itu, tapi sosok laki-laki lain menendang kakiku seolah inginkanku untuk berlutut. Merasa ndhak bisa melakukan itu, lagi salah satu di antara mereka menebas kakiku sampai aku terjatuh.     

"Juragan, kamu sudah sekarat. Kami akan mengakhiri semuanya, percayalah, kematian ndhak akan sesakit yang Juragan pikirkan," kata salah seorang lagi.     

Setelah memukul kepalaku berkali-kali, dan menyayat setiap bagian tubuhku. Mereka mulai menjadikanku bulan-bulanan. Tubuhku pelan-pelan kehilangan kesadaran, bahkan anyirnya bau darah sudah ndhak bisa lagi kurasakan, bagian perih dan ngilunya semua luka yang mengoyak tubuh serta tulang-tulangku. Aku seperti mayat hidup yang benar-benar akan mati sekarang.     

Manis, apa sampai di sini saja perjuanganku untuk mendapatkanmu? Apa sampai di sini saja semua kisah kita? Bahkan, setelah aku kehilanganmu, setelah ini aku akan kehilangan hidupku. Manis, ketahuilah, di antara ribuan cahaya kamulah yang paling terang, terindah yang mampu memabukkan jiwaku yang tengah kasmaran. Jika nanti kamu tahu kabar kematianku ini, semoga kamu bisa berbahagia dan menempuh hidup barumu.     

Tubuhku langsung tersentak saat kedua kakiku diseret oleh orang-orang itu. Secuil kesadaranku masih bisa merekam jika mereka membawaku menuju sebuah tebing yang cukup curam. Tubuhku yang mati, tubuhku yang telah lumpuh, ndhak bisa melakukan apa pun lagi.     

Untuk kemudian, mereka membuangku begitu saja seolah aku ini benar-benar barang yang ndhak berharga.     

Sakit, sesak, setelah hantaman itu yang kutahu adalah... gelap. Apakah aku sudah mati sekarang?     

*****     

"Arjuna, putraku... apa kamu mendengar Biung, Le? Apa kamu mendengar panggilan Biung? Dokter bilang jika kamu sudah melewati masa kritis, tapi kenapa, toh, sampai sekarang kamu ndhak membuka matamu, Le. Biung mohon, bangun, kamu adalah satu-satunya yang tersisa dari Kangmas Adrian. Jadi tolong, jangan tinggalkan Biung atau Biung bisa gila."     

Lamat-lamat aku mendengar suara Biung, dengan isakannya yang menyakitkan itu. Untuk kemudian, ruhku bagaikan ditarik paksa sampai jantungku tiba-tiba berhenti berdetak untuk sesaat. Napasku tersengal, mataku terbelalak. Aku bisa mendengar tangisan panik Biung namun aku ndhak bisa bergerak sama sekali. Semuanya masih gelap, semuanya masih tampak lumpuh pada tubuhku.     

Manis... bagaimana dengan Manisku?     

Aku ingin sekali berteriak, dan bertanya kepada semua orang yang ada di sini. Di mana ini? Dan bagaimana akhir dari kisah cintaku? Apakah Manis telah menikah dengan Minto? Ataukah dia tahu jika aku terluka parah sekarang, dan membatalkan pernikahannya? Gusti, tolong... tolong aku. Berikanlah kiranya satu keajaiban itu. Berikanlah kiranya satu mukjizat agar Manis tahu, jika aku benar-benar jatuh hati dengannya, jika aku benar-benar ndhak mampu hidup tanpanya, Gusti. Dan jangan sampai, karena tubuhku yang lemah ini, menyebabkan Manis benar-benar jatuh ke dalam pelukan Minto. Menyebabkan Manisku dijamah laki-laki sialan seperti Minto. Sebab, sampai kapan pun aku ndhak akan pernah rela, jika perempuanku disentuh olehnya.     

Seseorang datang dengan rombongan lain, langkah itu terdengar samar-samar. Untuk kemudian, orang itu menyuntikkan sesuatu padaku. Dan setelahnya, kesadaranku kembali hilang.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.