JURAGAN ARJUNA

BAB 56-B



BAB 56-B

0 JREP!!     
0

Rasanya, seluruh tulang-tulangku langsung rontok. Rasa ngilu, dan nyeri merambat jadi satu mencekik jantungku. Parang itu, terasa begitu nyata, menusuk bagian dada sampai perutku. Bukan hanya sekali, tapi berkali-kali. Bahkan tatkala parang itu dihunus dari dalam tubuhku, sakit yang luar biasa kembali meremas-remas semua tubuhku.     

Aku hancur, tubuhku terkoyak. Entah apa yang kurasakan bahkan sampai kedua kakiku lumpuh. Kesadaranku, atas rasa sakit yang kian menyiksa membuatku lumpuh tanpa tersisa. Semuanya bak samar-samar, tapi rasa sakitnya kian nyata. Napas yang sedari tadi terengah karena kehilangan tenaga, perlahan kini menjadi erangan yang kian kentara. Mencari-cari kawan napas yang lain. Seolah semua yang kuhirup tercekat di tenggorokan, kemudian menghilang dan ndhak bisa tersampaikan di paru-paruku.     

Aku lumpuh, selumpuh-lumpuhnya. Oksigen yang kuhirup itu pun menghilang dengan begitu nyata. Aku kehilangan napasku, aku kehilangan semua tenagaku. Yang kurasa hanyalah, rasa sakit yang ndhak terkira, dan rasa ngilu yang luar bisa. Menjejali dengan begitu nyata, di dalam jantung juga dada.     

Gusti, apakah ini yang namanya sekarat? Bahkan aku ndhak tahu lagi, di mana bagian tubuhku yang sakit. Rasa sakit yang menjalar ini, seolah memenuhi urat-urat nadiku dan memaksanya untuk pecah. Bahkan aku sudah ndhak bisa melihat warna lain dari dalam tubuhku, selain warna merah... darah.     

Lagi, darah segar keluar dari mulutku, bau anyir yang khas benar-bener memenuhi panca inderaku. Sebelum, tubuhku yang nyaris kehilangan nyawa diseret dengan paksa oleh seseorang yang bahkan aku sendiri ndhak tahu dia itu siapa.     

"Hah! Menyusahkan saja! Sudah kutusuk berkali-kali, kenapa orang ini ndhak mati juga!" umpatnya, yang kudengar sangat samar, sebelum kesadaranku nyaris menghilang.     

Sosok itu tampak berkacak pinggang, melihat tubuhku yang terkapar, sembari menginjak-injaknya dengan cara kurang ajar. Aku, seolah bukan lagi seorang Juragan. Melainkan, adalah seonggok sampai yang ndhak berguna, yang hanya pantas diinjak-injak oleh kaki-kaki mereka. Tapi, aku bisa apa? Toh, membela diriku pun aku saja ndhak bisa. Yang bisa kulakukan hanyalah diam, mungkin sampai ajalku itu datang.     

"Kamu masih dendam dengan bajingan yang nyaris mati ini?!" tanya salah satu kawannya lagi.     

Mungkin minta tolong adalah perkara mustahil, selain pasrah menunggu kematianku untuk datang, atau malah mereka akan memotong-motongku di sini, untuk menghilangkan jejaknya.     

"Dia sangat sombong! Mendapat pekerjaan ini, adalah hal yang rela kulakukan meski ndhak dibayar sepeserpun," jawabnya kemudian.     

Kemudian sosok itu menunduk, tangan kirinya yang memegang parang pun diangkat ke atas tinggi-tinggi, sementara tangan kanannya ia gunakan untuk menjambak rambutku.     

"Percuma kamu kaya, percuma memiliki wajah rupawan. Jika hidupku akan berakhir tragis seperti ini. Kamu pasti akan mati, di tangan kami. Hahahaha!"     

Setelah mengatakan itu, dia hendak menebas leherku. Tapi, tangannya langsung di hadang oleh seseorang.     

Bajingan memang mereka. Melihat orang yang sekarat mungkin adalah kebahagiaan tersendiri untuk mereka. Rasanya, lebih baik aku segera dihabisi. Dari pada harus merasakan sakit luar biasa seperti ini.     

"Jangan kotori tanganmu...," ujar kawannya, dia kemudian menyeret satu kakiku. Sampai tubuhku yang bagi mereka ndhak berharga ini terbentur bebatuan dan pohon-pohon. Rasanya panas, dan perih. Mungkin kulitku banyak yang terkelupas karenanya. Ini benar-benar siksaaan yang menyakitkan bahkan melebihi siksaan di neraka. "Jarang yang naik gunung, selain sesepuh-sesepuh kampung yang hendak bertapa. Jadi lebih baik, kita buang saja tubuhnya ke jurang, biar dia mati di sana dan dimakan binatang buas. Dengan seperti itu, ndhak akan ada yang tahu, jika kita telah membunuhnya. Karena ndhak ada satu saksi mata pun yang melihat keberadaan kita. Biarkan dia menikmati rasa sakit menunggu ajal. Biar dia merasakan bagaimana nikmatnya merasakan hal itu,"     

Setelah sosok itu mengatakan hal itu, sosok itu langsung menendang tubuhku. Sampai tubuhku terhempas dan menghantam bebatuan.     

Namun tiba-tiba, suasana gelap kembali menyerang. Rohku bagai dipaksa keluar dari tempatnya dengan begitu nyata. Untuk kemudian, tatkala kubuka mata. Ada sosok Romo, dan Biung, yang kini sedang berdiri berdampingan. Tapi, ada sosok lain yang ada di sana. Sosok yang wajahnya lebih tua, dan mirip dengan Romo Nathan. Apakah dia adalah romoku? Romo Adrian Hendarmoko? Yang sosoknya telah kulihat beberapa waktu yang lalu?     

"Romo...," lirihku. Rasa sakit yang tadi seolah lenyap, dan luka-lukaku pun menghilang begitu saja. Aku, seperti manusia normal dengan tubuh yang benar-benar sedang baik-baik saja. "Romo Adrian?" sapaku lagi.     

Sosok yang mengenakan surjan itu pun tersenyum ke arahku, kedua tangannya dia ikat di belakang punggung. Pelan, sosok itu berjalan mendekat, kemudian sosok itu memelukku dengan begitu hangat.     

Air mataku ndhak hentikan menetes di pipi, tanpa ada kata tapi emosi yang ada di hati terasa begitu nyata. Rasa rinduku, seolah terobati dengan pelukan hangatnya seperti ini.     

Romo... Romo Adrian, tahukah kamu jika aku rindu. Bahkan sedari aku kecil aku selalu membayangkan bagaimana potretmu, bagaimana rasanya dipeluk olehmu, dan bagaimana berbincang-bincang denganmu. Romo Adrian, jika hari ini aku mati, pasti kita akan bertemu. Kita akan bersama selamanya di nirwana.     

"Ini belum waktunya untukmu, Le...," bisiknya kepadaku. Suaranya terdengar serak, dan sangat teduh. Suara yang hangat juga menenangkan. Aku ndhak tahu, jika hanya mendengar suara Romo aku bisa setenang ini, dan membuatku merasa yakin, jika aku akan baik-baik saja. "Tugasmu masih belum selesai,"     

"Tugas apa, Romo? Tapi aku rindu Romo, aku mau sama Romo saja,��� keras kepalaku. Entah kenapa aku seolah lupa segalanya, lupa jika di ujung mata ada sosok Biung, dan Romo Nathan yang seolah menungguku.     

Tapi, Romo Adrian menggeleng, kemudian dia mengelus wajahku dengan jempol tangannya. Gusti, sehangat ini sentuhan romoku, selembut ini perlakuan romoku. Aku benar-benar ndhak tahu, jika romoku adalah sosok berwibawa, dan selembut ini.     

"Biungmu, dan perempuan ayu itu, kamu memiliki tugas untuk menjaganya. Jadi, selama tugasmu belum kamu emban dengan baik. Kamu harus berjuang sampai akhir. Romo bagian yang di sini, melihatmu, melindungimu dengan caramu sendiri. Nanti, setelah ini, semua yang jahat akan musnah, yang menyakiti akan tersakiti. Ingat pesan Romo,"     

Setelah mengatakan itu Romo Adrian kembali diam, sembari tersenyum dia pun melambaikan tangannya kepadaku. Pelan, Romo membalikkan badan, kemudian berjalan menjauh dari sisiku.     

"Romo! Jangan tinggalkan aku, Romo!" teriakku kesetanan. Tapi ndhak ada balasan sama sekali dari Romo, dan itu benar-benar membuatku frustasi. Sampai akhirnya, teriakan Biung, dan Romo Nathan membuatku mendongak memandang ke arah mereka.     

"Arjuna! Kembali! Arjuna! Ke sini!" teriak mereka, tanpa henti, dan teriakan itu semakin mala semakin terdengar begitu nyata.     

Saat aku mulai untuk bangkit, dan melangkah menuju mereka. Suasana kembali sunyi, tubuhku terasa jatuh ke suatu tempat yang sangat gelap gulita. Ini di mana? Dan apa yang akan terjadi kepadaku atas semuanya?     

Aku sendiri, dan hal itu membuatku menggigil hebat. Untuk sesaat hatiku seolah berbisik. Apa yang aku tunggu? Apa yang aku rindukan? Apa yang sebenarnya aku inginkan? Tempat ini berputar-putar, membuatku pusing ndhak karuan.     

Yang aku tunggu? Yang aku rindukan? Dan yang aku inginkan?     

Ya... aku tahu jawabannya. Dia adalah.... Manis.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.