JURAGAN ARJUNA

BAB 57



BAB 57

0Aku ndhak tahu ini di mana. Yang jelas, tempat ini benar-benar sangat gelap. Tempat yang sangat pengap sampai aku ndhak tahu, bagian mana dari tubuhku yang masih bisa kulihat. Namun, di ujung tempat ini ada secercah cahaya, dan di balik cahaya itu ada sosok perempuan yang berdiri di sana. Seolah-olah, sosok itu tengah menunggu kedatanganku.     
0

Pelan, aku terseok mendekatinya, sosok itu semakin lama semakin tampak jelas. Rambut hitam panjangnya yang tergerai indah, rok warna merah jambunya yang bermotif bunga, terlebih wajah ayunya yang tampak memandangku dengan sendu. Dia tampak tersenyum, namun matanya mengisyaratkan lara ndhak berujung. Dia adalah....     

"Manis!"     

Nyawaku seperti direnggut, dan dikumpulan secara paksa. Sampai seolah-olah napas yang kurasa begitu menyakitkan. Mataku terbelalak nanar, memandang langit-langit ruangan yang ada di sini. Bau-bau ndhak sedap mulai menusuk-nusuk indera penciumanku, bau obat-obatan yang begitu kubenci. Tubuhku menegang, kemudian mulai melemas. Mencoba mengumpulkan puing-puing kesadaranku yang kembali terpendar. Aku... masih hiduP?     

"Arjuna, putraku, kamu sudah sadar?"     

Suara itu lamat-lamat terdengar di telingaku, untuk kemudian bisingnya detakan jarum jam terdengar begitu nyata. Meski masih lemah, seluruh inderaku kembali terasa, dan bagian-bagian tubuhku rasanya benar-benar ndhak utuh. Seluruh tubuhku sakit semua. Bahkan rasanya, untuk sekadar bernapasku benar-benar terasa begitu sesak.     

"M... M...,"     

Di mana Manis? Apa dia telah menikah dengan Minto? Apa dia telah melakukan kewajibannya sebagai seorang istri? Apa dia telah dimiliki Minto seutuhnya? Dan apa benar... apa benar jika Manis telah mengandung anakku?     

Aku ingin mengatakan itu semua, tapi mulutku terasa kelu untuk sekadar mengucapkan sepatah kata. Yang kulakukan hanyalah, mencoba berbicara namun ndhak keluar kata apa pun. Mulutku, terasa kering, dan sangat pahit. Entah sudah berapa lama aku berada di sini.     

"Sudah, sudah, kamu ndhak usah mengatakan apa pun, kamu istirahat dulu, toh. Ndhak usah berusaha berbicara apa-apa lagi," kata Biung lagi. Tampak jelas jika dia sangat cemas sekarang, namun tatapan lega dan bahagia bisa kulihat jelas juga di sana.     

Sementara sosok Romo kulihat menitikan air mata, mengelus rambutku tapi dia ndhak mengatakan apa-apa. Aku tahu, Romo bukanlah seperti Biung, yang bisa mengungkapkan perasaanya dengan gamblang. Meski itu dengan anaknya sendiri. Romo, apakah kamu begitu khawatirnya dengan putramu yang ndhak berguna ini? Romo, Biung maafkan aku. Kenapa aku bisa menjadi seendhak berguna ini? Aku ini anak kalian laki-laki, dan dilahirkan sebagai anak pertama. Namun nyatanya, aku benar-benar ndhak ada gunanya.     

"Ma... Manis...," kataku pada akhirnya, Romo, dan Biung saling pandang. Kemudian mereka kembali memandangku, seolah mereka akan dengan sabar menunggu apa yang hendak aku ucapkan. Kutelan lagi ludahku yang mengering, kuhirup napasku dalam-dalam, agar mungkin setelah kulakukan itu suaraku akan keluar. Dan mereka mengetahui apa yang aku katakan. "Manis... mana?"     

Kulihat Romo, dan Biung saling pandang. Untuk kemudian, Biung menutup mulutnya, menitikan air mata dan itu benar-benar membuatku ingin gila.     

"Ma... Manis, ma... na?" tanyaku lagi, yang telah ikut menitikan air mata juga. Rasanya benar-benar sakit, rasanya benar-benar sesak. Tatkala aku ingin mengatakan banyak hal, namun rasanya seluruh suaraku terhenti di tenggorokan. Bahkan jika berteriak, ndhak akan terdengar suara apa-apa.     

Biung langsung keluar dari ruanganku dirawat, seolah pertanyaanku adalah hal yang menyakitkan untuknya. Apakah pertanyaanku yang sesederhana itu terlalu sulit untuk dijawab oleh Biung? Apakah menanyakan Manis adalah hal yang sulit untuk kuketahui jawabannya saat ini?     

Manis, baik-baik saja, kan?     

"Biungmu... sudah tahu semua...," kata Romo yang berhasil membuatku terdiam, memandangnya ndhak percaya.     

Aku benar-benar ndhak bisa membayangkan perasaan Biung saat ini, pasti hancur yang sehancur-hancurnya. Dan itu karenaku. Biung maafkan aku. Bagaimana bisa aku menyakitimu sampai seperti ini, Biung.     

"Dan Manis, saat di hari pernikahannya, dan tahu kabar jika kamu berada di jurang dan hampir mati, dia histeris. Bersikeras menunda pernikahannya," lagi Romo terdiam, kemudian dia menggenggam tanganku. "Biar Sobirin yang menceritakannya, tentu setelah kamu cukup tenaga. Sekarang istirahatlah. Nanti kalau kamu bangun dengan tenaga lebih baik, Sobirin akan menceritakan semuanya kepadamu. Romo tahu sejatinya kamu masih belum siap bercerita ini dengan Romo, dan biungmu, toh? Dan masalah orang-orang biadab yang telah mencoba membunuh putraku, mereka satu persatu akan Romo beri ganjaran setimpal."     

"Jangan...," kataku kepada Romo. "Biar aku... saja," kubilang.     

Ya, aku ingin mencabik-cabik kulit mereka sampai ndhak tersisa, aku ingin mematahkan semua tangan dan kaki mereka. Membunuh mereka sama persis dengan apa yang mereka lakukan kepadaku. Dan yang lebih dari itu adalah, aku ingin mengetahu siapa dalang dari semua ini. Pasti orang itu, ndhak akan pernah kubiarkan hidup sampai anak cucunya.     

"Sudah siuman, toh, Juragan?"     

Kulihat seorang dokter masuk dengan seorang perawat, tersenyum ke arahku kemudian memeriksa keadaanku. Setelah menghela napas panjang, dia pun kembali tersenyum lagi. Sementara perawatnya, menyuntikkan beberapa suntikkan kepadaku.     

"Melihat Juragan bisa hidup sekarang, seperti melihat keajaiban...," dia bilang. Aku ndhak protes, bahkan aku pun merasakan hal yang sama. Melihat apa yang orang-orang itu lakukan kepadaku, ini benar-benar suatu mukjizat. Ataukah, Gusti Pangeran memang melarangku untuk mati lebih dahulu? Karena merasa belum puas menyiksaku di dunia ini? Jika iya, maka aku akan menuruti apa pun yang dia mau. Aku juga penasaran, sampai kapan Gusti Pangeran akan mempermainkan takdirku sampai di titik seperti ini. sampai kapan? "Juragan datang benar-benar dengan kondisi yang bahkan saya sendiri ndhak tahu harus merasa sanggup atau menyerah. Di tambah, Juragan sempat kehilangan detak jantung Juragan berkali-kali. Namun sepertinya, tekad alam bawah sadar Juragan untuk tetap hidup sangat kuat. Itu sebabnya Gusti Pangeran memberikan kesempatan lagi untuk hidup. Jaga yang baik, ya, Juragan. Semoga kejadian ini ndhak terulang lagi,"     

"I... iya," jawabku terbata. Kubalas dengan seulas senyum termanis kepada Dokter itu. karena bagaimanapun, aku harus berterimakasih kepadanya. Jika bukan lewat tangannya, mana mungkin aku memiliki kesempatan hidup lagi seperti sekarang ini, toh.     

"Juragan, ada hal-hal yang ingin saya katakan kepada panjenengan mengenai kondisi Juragan. Saya harap, Juragan ndhak merasa terbebani, atau pun kaget. Sungguh, melihat Juragan bisa hidup adalah lebih dari cukup bagi semua orang," kata dokter itu lagi tampak basa-basi. "Juragan apa panjenengan ndhak merasakan apa pun yang berbeda pada bagian tubuh Juragan?" tanyanya. Sebuah pertanyaan yang cukup membuatku bingung. Apa maksud dari ada bagian dari tubuhku yang berbeda?     

Aku diam sesaat kemudian mulai merasakan beberapa bagian tubuhku. Kedua tanganku, sepertinya masih utuh meski rasa nyeri terasa sangat menyakitkan tatkala aku mencoba untuk mengangkatnya. Wajahku, wajahku masih sama seperti sedia kala, toh? Wajahku ndhak rusak atau semacamnya? Aku hanya menerka seperti itu, sebab kurasa ndhak ada perban di bagian wajahku, selain di bagian kepala. Dan kakiku, kakiku?     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.