JURAGAN ARJUNA

BAB 59



BAB 59

0"Jadi, bagaimana, apa perlu kuulur lagi Minto sialan itu? Agar kamu benar-benar pulih? Ini baru tiga hari, dan luka-lukamu yang serius itu benar-benar belum kering, Arjuna,"     
0

Pagi inii Paklik Junet datang berkunjung, dia melaporkan jika selama tiga hari ini telah berhasil membuat Minto ndhak bisa memiliki waktu berdua dengan Manis. Meski sesak di dadaku ndhak juga kunjung reda, tapi seendhaknya apa yang Paklik Junet katakan membuatku bisa sedikit bernapas.     

Itu adalah waktu pencapaian yang bagus, mengingat bagaimana Minto. Bagaimana ndhak sabarnya ia ingin memiliki Manis seutuhnya. Meski begitu, aku pun paham, jika pekerjaan yang kuembankan untuk Paklik Junet bukanlah pekerjaan yang mudah. Malah bisa kukatakan, ini adalah pekerjaan tersulit. Aku ndhak bisa membayangkan bagaimana caranya mengkoordinasi orang-orang selama tiga malam untuk bertandang ke rumah Minto. Apa alasannya?     

Paklik Junet maafkan aku, karena aku aku telah merepotkanmu. Dan terimakasih, aku sama sekali ndhak menyangka, jika Paklik yang selama ini kukira bisanya hanya main perempuan, Paklik yang kusangka hanya suka mengataiku saja. Ternyata Paklik Junet benar-benar bisa diharapkan, dan bisa membantuku sampai saat ini.     

"Ndhak usah pedulikan perkara alasan dan sulitnya aku, Jun, yang harus kamu fokuskan adalah, bagaimana caramu untuk membalas dendam. Mebalas setiap darah yang telah kamu teteskan akibat ulah begundal-begundal seperti mereka!" marah Paklik Junet. Mendengar hal itu, mataku terasa panas. Ingin rasanya kupeluk Paklik Junet andaikan aku ndhak malu. Paklik, kenapa kamu bisa sebaik ini denganku? Kenapa, Paklik?     

"Paklik, sini...," kubilang. Ragu-ragu Paklik Junet mendekat, dengan wajah bingungnya itu. Lalu kupeluk Paklik Junet dengan sangat erat. Paklik Junet agaknya terkejut, dengan sekeras tenaga dia berusaha untuk lepas dari pelukanku.     

"Apa, toh, kamu ini? Ih! Risih ini aku lho! Memangnya ndhak ada perempuan apa, toh, kok main peluk-peluk!" marahnya. Aku menahan senyum mendengar ucapan Paklik Junet.     

"Terimakasih banyak, Paklik...," ucapku padanya. "Dan, tenang, Paklik, aku ndhak akan pernah melepaskan satu pun di antara mereka. Satu tetes darah yang menetes dari dalam tubuhku, harus mereka bayar dengan berkali-kali lipat," lirihku.     

Jika semua orang setelah ini akan mengatakan aku adalah Juragan yang ndhak tahu diuntung, biarkan! Siapa peduli dengan tetek bengek prasangka orang terhadapku. Selama ini aku selalu bersikap rendah diri, dan ramah. Tapi nyatanya, mereka selalu menjadikanku bahan lelucan, dan berkata jika aku ini ndhak pantas untuk menjadi Juragan Besar kelak. Jadi, lebih baik berhenti basa-basi, dan menjadi diriku sendiri. Karena aku ndhak akan pernah menampik, jika ada darah Hendarmoko yang selalu berdesir hebat tatkala mengingat semua ketidak-adilan yang telah menimpaku. Aku sudah cukup, dan ndhak mau lagi menjadi Arjuna yang dulu. Aku, akan menjadi diriku yang baru. Ndhak peduli tentang siapa pun yang akan menentangku kelak. Bahkan itu adalah Romo dan Biungku.     

"Aku—"     

"Aku apa?"     

Aku terdiam, tatkala Romo Nathan, dan Biung masuk ke dalam ruanganku. Kemudian melirik ke arah Paklik Junet dengan tatapan garangnya. Ada apa dengan tatapan garang dari Romo Nathan? Apakah Romo tahu ulah Paklik Junet perihal pernikahan Minto, dan Manis yang tertunda karena Paklik Junet? Malah-malah, apa Romo tahu jika dalang di balik itu semua adalah aku? Jika iya, aku bisa menebak pembahasan yang akan dibahas Romo kali ini adalah untuk memarahiku. Ya, itu pasti. Apalagi kalau bukan itu.     

"Ck... ck... ck! Jadi, kamu menggunakan Paklikmu untuk membodohi warga kampung agar setiap malam berkunjung ke rumah Minto? Agar Minto ndhak melakukan malam pertama dengan Manis? Pengecut kamu," kata Romo menyindirku. Nah, benar, toh! Sudah kuduga jika Romo akan menceramahiku. Tahu gitu, aku ndhak usah dijenguk saja. Percuma, dijenguk malah disindiri seperti ini. Yang ada aku ndhak akan sembuh, tapi penyakitku malah makin kambuh. "Kamu ndhak percaya takdir yang diberikan oleh Gusti Pangeran?"     

Kupalingkan wajahku dari Romo Nathan, sebab untuk sekarang aku benar-benar ndhak ingin mendengar sebuah saran, marahan, pertentangan, atau apa pun itu. Sebab nanti aku takut, berontak adalah hal yang akan kulakukan jika terus ditekan seperti ini. Aku ndhak mau hidup dalam bayang-bayang mereka, Romo Adrian, dan Romo Nathan, sehingga untuk menentukan tujuan hidupku pun, aku ndhak memiliki kuasa atasnya. Pula dengan semua sifat, dan sikapku. Aku adalah seorang manusia, yang dilahirkan oleh Gusti Pangeran dengan jalanku sendiri. Aku ditakdirkan hidup dengan sifat, dan karatkerku sendiri. Jadi kumohon, untuk kali ini biarkan saja aku menjadi aku, dan aku ingin melakukan apa yang ingin aku lakukan. Apa pun itu!     

"Kamu tahu, kesakitanmu ini sudah pernah Romo alami dulu. Dan kamu tahu, bagaimana sakitnya jadi Romo? Tatkala Romo jatuh hati, namun sayangnya orang yang Romo cintai rupanya dicintai oleh saudara Romo sendiri. Bukan hanya menyaksikan, bahkan ikut andil dalam detil adegan-adegan romantis yang mereka ciptakan, tepat di depan mata kepala Romo. Dan kamu tahu bagaimana rasanya seperti itu, Arjuna? Bukankah hal itu lebih sakit dari yang kamu rasakan sekarang?" katanya lagi, dan dengan penuh emosi. Aku menunduk mendengar ucapan Romo Nathan, semua nyali yang kusombongkan tadi terasa hilang entah ke mana sekarang. Aku merasa begitu kecil di hadapan Romo Nathan, dan merasa jika aku ini benar-benar seperti anak kecil. Hanya karena cinta, aku sampai seegois ini. Tapi, bagaimana lagi, ini sudah terlanjur, ibarat kata sudah terlanjut basah lebih baik aku nyebur sekalian. Sekalian biar tahu, siapa yang menang dan kalah pada akhirnya.     

"Masalahnya jelas beda, Romo. Dulu Biung ndhak mencintaimu, itulah sebabnya kamu memiliki alasan untuk menyerah. Namun aku? Aku—"     

"Kalian saling cinta? Lantas apa gunanya saling cinta, jika salah satu di antaranya ndhak mau berjuang karenanya? Apa saling cinta bisa kamu banggakan sampai-sampai kamu kehilangan nalar?" marah Romo Nathan lagi. Mendesakku sampai aku benar-benar ndhak bisa bernapas karenanya. Gusti, apa ini? Kenapa ndhak sedikit saja Romo Nathan bersimpatik karenaku? Seendhaknya sedikit saja mengerti akan posisiku saat ini.     

"Lantas seandainya, jika di perut Manis kini ada buah hatiku. Apa aku tetap harus menyerah dengan takdir?" tanyaku, sambil memandang Romo dengan frustasi. Aku sudah ndhak peduli lagi, jika saat ini yang berada di ruang rawat inapku terkejut dengan pengakuanku itu. Atau malah mereka memandang rendah aku.     

Romo tampak terbelalak, dia seolah ndhak percaya dengan apa yang telah kukatakan kepadanya. Namun demikian, dia ndhak mengatakan apa-apa lagi.     

"Mungkin, mungkin saat ini Manis tengah mengandung anakku, Romo. Itulah sebabnya aku ingin berjuang sekali lagi untuk mendapatkannya. Aku ndhak mau, jika buah hatiku jatuh ke tangan orang lain...," kubilang, sambil memiringkan wajahku, memalingkan wajahku dari Romo, Biung, dan Paklik Junet. " Dan Romo tahu, aku ndhak percaya takdir. Sebab takdirku, akan kuciptakan sendiri," aku mengatakan itu dengan rahang yang mengeras, sebab tekadku sudah sangat bulat dan ndhak bisa diganggu gugat. Oleh apa pun, dan siapa pun itu!     

"Arjuna—"     

"Aku seroang Juragan, Romo. Aku bukan lagi anak laki-laki dari seorang Juragan Besar. Aku bisa mengambil keputusan hidupku sendiri. Tanpa harus dibayang-bayangi oleh siapa pun," maaf, Romo. Mungkin akan sangat menyakitkan jika kamu mendengar perkataanku ini. Tapi aku harap sekali saja kamu bisa mengerti, Romo. Dan membiarkanku memutuskan jalan takdirku sendiri.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.