JURAGAN ARJUNA

BAB 60



BAB 60

0Hening, ndhak ada lagi balasan dari Romo Nathan. Yang ada hanya, beberapa helaan napas Paklik Junet. Dan aku ndhak tahu, bagaimana ekspresi Biung mendengar ini semua dari mulutku. Harapku hanya satu, jika Biung ndhak pingsan, atau syok mendengar pengakuanku.     
0

"Ini benar-benar suasana yang sangat canggung. Omong-omong apa Mas Nathan ini ndhak marah, toh, melihat keadaan Arjuna sampai seperti ini? Dia hampir mati, kakinya bahkan ndhak bisa berfungsi lagi. Apa Mas—"     

"Diam, kamu!" bentak Romo Nathan kepada Paklik Junet.     

Paklik Junet langsung menutup mulutnya rapat-rapat, kemudian memukul mulutnya beberapa kali. Aku tahu, niat dari Paklik Junet adalah untuk sekadar mencairkan suasana, dari bahasan yang terlalu sensitif ini. Namun sayangnya, apa yang dikatakan oleh Paklik Junet benar-benar ndhak bisa diterima oleh Romo Nathan.     

"Ndhak usah kamu ajari. Aku ndhak butuh diajari begundal macam kamu! Ndhak usah kamu suruh pun, aku sudah menyuruh orang-orangku untuk membalas apa yang telah mereka lakukan kepada putraku. Memangnya kamu pikir Arjuna ini siapa! Dia adalah putraku! Dia anakku!"     

"Maaf, maaf, Mas. Sungguh aku ndhak bermaksud seperti itu. Hanya saja—"     

"Halah, hanya saja Arjuna bukan anak kandungku, begitu? Bagaimana pun, dia adalah darah dagingku. Paham kamu?" dan kurasa, ini adalah puncak dari kemurkaan Romo Nathan, bahkan selama hidupku sebesar ini, baru kali ini aku melihat Romo Nathan semurka itu.     

Kulirik Paklik Junet, dan kuberi isyarat dia untuk diam. Ndhak mengatakan apa pun lagi yang membuat Romo Nathan bertambah murka. Sebab diam, adalah hal yang harus dilakukan sekarang.     

"Maaf, Mas."     

Lagi, suasana kembali hening. Untuk kemudian, Romo menepuk bahuku beberapa kali, aku yakin saat ini Romo telah mati-matian mengontrol emosinya agar dia ndhak lepas kendali. Sebab kurasa, Romo Nathan memiliki pertahanan diri yang kuat perkara mengontrol emosi. Setelah ia menghela napas panjang, ia pun berkata, "sekarang kamu memang sudah dewasa, ndhak sepantasnya Romo selalu mengkhawatirkanmu, selalu menganggapmu seperti anak kecilku yang paling berharga. Sekarang, jalan yang kamu ambil adalah keputusanmu sendiri. Dan Romo harap, bagaimana pun kejamnya takdir terhadapmu, bagaimana pun orang-orang memandangmu, semoga Arjuna—putra kesayanganku, ndhak akan pernah berubah sedikit pun,"     

Jujur, mendengar ucapan Romo Nathan membuat hatiku bergejolak. Rasa panas yang membara seolah saling berpelukan dengan dinginnya hatiku, dan itu berhasil membuatku panas—dingin karenanya.     

Romo, maafkan aku. Aku sama sekali ndhak bisa menuruti apa pun perintahmu. Untuk kali ini, seendhaknya, untuk kali ini biarkan aku memperjuangkan cintaku. Sebelum aku benar-benar menyerah. Biarkan untuk kali ini aku mengambil keputusan atas diriku, sebelum kelak aku benar-benar menyesal jika ndhak pernah melakukannya. Biarkan aku menjadi egois untuk sekali, sebelum aku mulai memikirkan banyak hati yang mungkin akan hancur karenaku. Biarkan aku menjadi orang jahat sekali, sebelum aku kembali menjadi Arjuna yang manis seperti yang Romo, dan Biung inginkan selama ini. Aku, untuk sekali, ingin menjadi diriku sendiri, Romo. Maaf....     

"Paklik, bawa aku pulang. Bawa aku ke rumah Minto sekarang. Lagi pula, Paklik Sobirin sudah membawa orang-orangku untuk ke sana terlebih dahulu,"     

*****     

Siang ini aku telah bersiap, menunggu Paklik Sobirin menjemput. Meski aku tahu jika sebenarnya pihak rumah sakit marah besar karena aku memaksa untuk cepat-cepat pulang. Pula dengan orangtuaku. Bahkan, karena marahnya mereka, saat ini mereka ndhak mau menjemputku pulang. Aku sama sekali ndhak masalah, aku bisa melakukannya sendiri. Meski toh nanti aku harus hati-hati menggunakan alat bantu jalan, pun harus hati-hati menahan luka yang di perut yang belum sepenuhnya mengering. Ndhak, ini bahkan benar-benar masih basah. Padahal sudah kuberi jamu, tapi setiap aku banyak bergerak luka itu menganga lagi.     

"Seharusnya Juragan ndhak segegabah ini. Itu adalah luka tusukan dari perut tembus ke punggung. Selain benar-benar sangat serius, kalau terjadi pendarahan akan mengancam nyawa Juragan," jelas sang dokter yang sepertinya masih enggan membiarkanku pergi. "Terlebih, jika nanti jahitannya terkoyak, karena Juragan banyak gerak, bagaimana? Juragan, sudilah kiranya untuk bertahan di sini barang seminggu, endhak... tiga hari lagi, biar saya bisa memastikan jika luka Juragan sudah benar-benar aman untuk Juragan hendak pulang,"     

Aku tahu, sejatinya kesehatanku adalah penuh merupakan tanggung jawabnya. Terlebih jika nanti terjadi apa-apa denganku, pastilah orang pertama yang akan disalahkan adalah Dokter, karena dia telah memberiku izin untuk pulang. Namun begitu, bukankah aku sebagai pasien memiliki hak atas tubuhku sendiri, yang merasa jika aku telah sehat, dan waktunya untuk pergi? Ya, meski itu harus kupaksa.     

"Ndhak apa-apa, Dok, aku baik-baik saja, tolong doakan semoga aku akan baik-baik saja dan ndhak kembali ke sini," pintaku, sedikit melembut agar Dokter itu seendhaknya iba kapadaku. Seendhaknya bisa mengizinkanku pulang dengan tanpa penyesalan.     

"Terserah Juragan, lelah saya memberitahu Juragan, keras kepala seperti almarhunm Juragan Adrian," sindir Dokter itu. Kemudian, dia langsung pergi, dengan wajah yang benar-benar masam. Sepertinya, Dokter itu benar-benar marah, toh. Duh, jadi ndhak enak hati aku ini.     

Aku tersenyum mendengar penuturan itu. Kata Biung, dokter ini adalah salah satu kawan baik Romo Adrian, yang dulu sempat memeriksa Biung sewaktu mereka ada di kota. Mengira penyakit maag Biung adalah tanda-tanda ngidam, dan hamil. Dulu dia belumlah menjadi seorang dokter, dia dulu adalah seorang mantri, yang sering diberi beberapa bantuan kecil oleh Romo. Ndhak kusangka, aku masih diberi kesempatan untuk terhubung dengan orang-orang dari masa lalu Romo Adrian dengan cara seperti ini. Terlebih, orang-orang itu masih teramat ingat dengan romoku. Aku benar-benar ndhak menyangka, betapa dermawan Romo Adrian semasa hidupnya dulu. Bahkan setelah lama dia tiada, orang-orang di sekitarnya ndhak bisa melupakan Romo Adrian selamanya.     

"Juragan, maaf saya telat," Paklik Sobirin masuk, dia menatapku takut-takut, kemudian menunduk, "mobil sudah siap, Juragan, mari saya bantu jalan," lanjutnya, berjalan dengan sungkan mendekat ke arahku kemudian dia menunduk. Seolah, telah menyiapkan tubuhnya untuk barangkali kujadikan tempat sandaran jika aku ndhak bisa untuk berdiri.     

Aku diam, ndhak menanggapi ucapan Paklik Sobirin, berusaha mencari tongkatku, kemudian berjalan. Perutku benar-benar rasanya nyeri sekali, dan kakiku terasa lemas sampai-sampai untuk menggerakkan jari-jarinya pun teramat susah. Tapi, aku ndhak mau kalah dengan keadaan sialan ini. Aku harus bisa, sebelum semuanya akan menjadi terlambat. Dan kalau sampai Dokter, atau perawat melihat keadaanku seperti ini, aku berani jamin mereka benar-benar akan mengikatku agar tetap berada di sini apa pun alasannya, aku yakin akan hal itu, dan nanti pada akhirnya, apa yang telah kususun dengan matang, akan gagal, karena luka sialan ini. Ndhak, aku ndhak bisa. Aku harus menutupi semuanya, dan berusaha membuktikan kalau aku baik-baik saja.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.