JURAGAN ARJUNA

BAB 61



BAB 61

0"Juragan, kondisi Juragan benar-benar masih belum pulih benar. Apa ndhak—"     
0

"Diam kamu, Paklik! Juragan di sini aku, jadi yang memiliki hak atas diriku sendiri adalah aku. Aku ndhak butuh nasihat dari siapa pun. Apalagi dari abdi dalem sepertimu!" bentakku. Mata Paklik Sobirin tampak melebar, wajahnya memucat mendengar bentakannku itu. Ini adalah kali pertama dia begitu ketakutan dengan kemarahanku. Dan aku juga ndhak tahu, bagaimana bisa aku menjadi mudah terpancing emosi seperti ini. Meski aku tahu jika aku telah salah karena memarahinya yang sedari kemarin aku tahu jika dia telah melakukan banyak hal untukku, tapi aku ndhak mau meminta maaf seperti dulu. Aku memilih, memalingkan wajahku, memandang ke arah jendela sambil mengabaikannya. Jika pada akhirnya dia nanti pergi karena telah sakit hati karena ucapanku, silakan, aku ndhak akan menghalanginya. Toh, abdiku bukan hanya dia saja. Aku masih memiliki beberapa, aku juga masih memiliki Paklik Junet yang telah siap membantuku kapan pun aku butuh bantuannya.     

"Maafkan saya, Juragan. Maaf," kata Paklik Sobirin, seolah merasa menyesal dengan apa yang baru saja ia ucapkan.     

Kemudian dia berjalan, sambil membawa beberapa barangku, takut-takut dia berjalan di belakangku. Untuk sesekali dia mencoba memberiku saran untuk menggunakan kursi roda, tapi aku ndhak mau. Bahkan dia sempat bergumam, jika aku seperti ini seperti Romo Nathan. Tapi aku ndhak peduli, sebab menurutku aku bukan seperti siapa-siapa, aku adalah diriku sendiri. Bukan seperti orang lain. Sebal rasanya karena selalu disama-samakan oleh siapa pun. Seolah aku ini ndhak bisa lepas dari bayang-bayang orangtuaku.     

"Nanti ndhak usah pulang ke rumah. Berhenti di perempatan kampung kita, kemudian langsung ke tempat Manis berada," titahku, berjalan tertarih sembari sesekali menahan rasa sakit yang ada di sekujur tubuhku. Paklik Sobirin terus mengekori langkah setengah terseokku itu, tanpa protes dan benar-benar dengan begitu telaten.     

"Iya, Juragan," jawabnya patuh.     

"Apa kamu telah bertemu dengan Suwoto?" tanyaku lagi. Kini Paklik Sobirin jadi ndhak banyak ucap seperti biasanya. Baguslah jika memang seperti itu. Jadi, aku ndhak perlu capek-capek untuk memarahinya setiap waktu. Mendengarnya banyak ucap, membuat kupingku panas, meski hanya sekedar mendengar ocehannya yang benar-benar jauh dari kata merdu itu.     

"Sudah, Juragan."     

"Lantas apa dia sudah melakukan perintahku?" tanyaku lagi, melirik ke arah Paklik Sobirin yang agaknya benar-benar irit bicara.     

"Sudah, Juragan. Orang-orang yang melakukan perbuatan keji kepada Juragan satu persatu telah ketemu, dan sudah diberi perhitungan oleh Suwoto dan antek-anteknya. Malah kabarnya, ada beberapa yang telah mati dengan cara yang sangat mengenaskan," jelas Paklik Sobirin. Mengatakan kata mengenaskan seolah begitu berat. Aku bisa melihat dengan jelas, mimik ndhak suka Paklik Sobirin dengan caraku membalas dendam. Namun, siapa peduli.     

"Suruh Suwoto ke perempatan kampung kita, aku ingin bicara kepadanya," perintahku lagi, dan hendak melangkahkan kakiku menuju depan rumah sakit.     

Setelah sampai di sana, Paklik Sobirin segera menyiapkan mobil. Kemudian dia keluar dari mobil untuk membukakan pintu mobilnya untukku. Sambil menggigit bibirku, aku pun berlahan masuk, kemudian duduk dengan mencari posisi senyaman mungkin karena perjalanan pulang lumayan jauh.     

"Juragan...," kata Paklik Sobirin pada akhirnya. Kupicingkan satu mataku, memandang Paklik Sobirin dari kaca mobil. "Apa benar Juragan akan melakukan ini?" tanyanya. Aku hendak membuka mulut tapi buru-buru Paklik Sobirin bersuara lagi, "maksud saya, saya mendapat kabar karena beberapa orang suruhan telah tewas di tangan Suwoto, jadi Minto... Minto kabarnya meminta bantuan polisi, Juragan. Sungguh, saya ndhak mau semua keadaan menjadi terbalik. Dan Juragan menjadi pihak yang salah karena kelicikan Minto. Jadi saya—"     

"Jangankan dipenjara, bahkan mati pun aku rela asal telah membunuh laki-laki biadab itu, Paklik," potongku. Paklik Sobirin tampak terperangah mendengar jawabanku itu. Wajahnya semakin tegang dan ketakutan. Untuk kemudian dia berlutut tepat di sampingku. Seolah-olah hendak memohon atas apa yang ingin dia katakan.     

"Sunggu, Juragan, bukan karena saya ndhak peduli. Bukan juga karena saya mengajari Juragan Arjuna untuk bersikap pengecut. Hanya saja, sejatinya Juragan Arjuna sudah kuanggap sebagai putra saya sendiri. Keselamatan Juragan adalah hal yang terpenting bagi hidup saya. Dengan luka seperti ini...," Paklik Sobirin berhenti bicara, dia terisak dan mengusap wajahnya dengan kasar. Ada nada frustasi, dan ketakutan di sana. Seolah-olah dia telah trauma akan satu hal buruk yang ndhak ingin dia untuk menyaksikan lagi. "Saya ndhak mau Juragan Arjuna sampai kena fitnah dari orang-orang jahat itu. Kemudian mereka memutar balikkan fakta atas kejadian yang sebenarnya. Sehingga, Juragan yang sebenarnya adalah korban malah dituduh sebagai tersangka atas kejahatan ini semua, Juragan. Saya ndhak mau itu terjadi."     

"Paklik, apa kamu ndhak tau siapa aku?"     

"Saya tahu dengan jelas, siapa Juragan Arjuna, oleh karena itu aku ndhak mau Juragan Arjuna sampai mengambil langkah salah hanya karena masalah ini. Juragan Arjuna yang saya kenal, selalu mengambil langkah dengan kepala dingin, dengan tenang, sampai membuat semua orang ketakutan dengan ketenangan Juragan. Tapi, dengan seperti ini saya benar-benar ndhak bisa mengenali Juragan lagi. Di mata saya, Juragan sudah berbuah menjadi sosok yang berbeda. Sejak tadi...," katanya terputus, dan ucapannya benar-benar membuat rahangku mengeras. "Sejak Juragan membentak saya tadi, di mata Juragan sudah bukan lagi tatapan dari Juragan Arjuna. Akan tetapi, bayangan dari Juragan Besar Hendarmoko ada di sana,"     

"Lantas?" tanyaku pada akhirnya, setelah begitu banyak kosa kata yang ia keluarkan saat ini. Paklik Sobirin kembali memandangku, dengan tatapan bingungnya.     

"Saya ndhak mau jika Juragan sampai memiliki tatapan dan jiwa seperti Juragan Besar Hendarmoko,"     

"Aku cucunya, jadi bagaimana bisa aku ndhak memiliki darah dari beliau, toh? Lagi pula, Romo-Romoku adalah keturunannya langsung. Lantas, bagian mananya dari itu yang membuatmu cemas? Toh, kedua putranya buktinya sampai sisa hidupnya ndhak ada satu pun yang memiliki kelakuan seperti Eyang Kakung. Jadi, kenapa kamu malah-malah mempermasalahkan hal ini? Apa menurutmu aku ini ndhak pantas mencari kebenaran dari apa yang telah orang-orang biadab itu lakukan kepadaku, Paklik?" aku tersenyum tatkala Paklik ndhak bisa membantah ucapanku itu. "Aku ini korban, lho, Paklik. Bahkan alam pun ndhak bisa menyangkal fakta itu."     

"Tapi, Juragan... gunung lawu telah berkabut. Juragan orang sini, toh, jadi paham betul tentang mitos itu?" katanya lagi, dengan mimik wajah seriusnya itu.     

"Oh, yang katanya setiap gunung lawu berkabut, itu tandanya akan ada orang yang meninggal?" tebakku, Paklik Sobirin mengangguk.     

"Syukurlah, seendhaknya alam pun tahu jika mereka harus melakukan tugasnya, memusnahkan orang-orang jahat, yang hidupnya hanya untuk mengotori muka bumi ini."     

"Juragan—"     

"Diamlah, aku lelah," kataku pada akhirnya. Memejamkan mataku sambil bersedekap, untuk kemudian Paklik Sobirin akhirnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.