JURAGAN ARJUNA

BAB 62



BAB 62

0"Kamu telah bekerja dengan sangat baik, Suwoto. Jika kamu telah menyelesaikannya, kamu bisa mendapatkan seperempat dari perkebunanku. Dan kamu ndhak perlu lagi bekerja seperti ini, nikmati masa tuamu dengan tenang, dan nyaman. Tanpa perlu mengotori kedua tanganmu dengan darah, amarah, serta kebencian," kataku.     
0

Saat ini aku telah bertemu dengan sosok yang bernama Suwoto, usianya sedikit lebih tua dari pada Romo Nathan. Tapi perawakannya masih benar-benar bugar. Tubuhnya tinggi dempal, tampak garang, namun begitu di depanku dia bisa tersenyum dengan begitu ramah. Bahkan, berhadapan dengannya seperti ini, duduk berdua di warung sambil minum kopi, jikalau aku orang awam, pastilah ndhak akan mengira jika Suwoto memiliki tangan dingin dan ndhak berperasaan, pasti aku pikir jika tubuh kekar Suwoto diperloleh dari betapa giatnya dia bekerja di sawah atau perkebunan. Omong-omong, menurut dari Paklik Sobirin, Suwoto oleh Romo Nathan ditugaskan untuk menjadi mandor besar di Banyuwangi, karena keluarga kami—tepatnya, tanah-tanah milik Eyang Kakung Hendarmoko masih banyak di sana, berupa perkebunan-perkebunan, yang dipasrahkan oleh para abdi dalem setianya. Dan mayoritas perkebunannya adalah penghasil kopi. Terang saja jika sering ada kiriman biji kopi dari Jawa Timur, dan benar-benar sangat nikmat, aroma, dan rasanya ndhak bisa tertandingi oleh kopi-kopi mana pun di Nusantara ini. Dan kabarnya, ada satu jenis kopi di sana yang kabarnya telah dikirim pada pabrik luar negeri untuk diolah menjadi kopi berkualitas tinggi. Ah, aku ndhak paham dengan kopi-kopian, dan yang lebih membuatku ndhak paham adalah, jika saja Suwoto ndhak bertandang ke sini, bahkan mungkin sampai detik ini juga aku ndhak akan tahu kalau rupanya, keluargaku masih memiliki perkebunan yang cukup luas di Banyuwangi sana. Entah apa maksud dari Romo Nathan menyembunyikan ini, atau jangan-jangan dia sengaja menyembunyikannya agar aku ndhak tahu bagaimana tentang darahku ini, atau malah Romo ndhak ingin aku tahu, tentang Eyang Kakung, karena hubungannya dulu yang buruk antara putra-putranya.     

"Memangnya Juragan pikir, aku jauh-jauh ke Kemuning, dan melakukan perintahmu hanya butuh tanahmu? Hartamu?" katanya, dengan tawa yang nyaris meledak. Aku yang sedari tadi sibuk dengan pikiranku sendiri pun langsung mendongak, melihat mimik wajah emosinya yang tampaknya telah tersulut. Sepertinya, aku telah menyinggungnya, karena telah salah ucap dengannya.     

"Lantas, apa yang kamu inginkan jika bukan itu? Bukankah tujuanmu melakukan pekerjaan kotor ini karena uang?"     

Dia tampak tersenyum kecut, menepuk bahuku beberapa kali, sambil mengitari tubuhku. Untuk kemudian, dia kembali berada di depanku, memandangku sambil bersedekap. Seolah-olah dia tengah menilai diriku.     

"Kamu masih terlalu kecil untuk mengerti, Juragan. Jika ada hubungan yang lebih dari sekadar timbal-balik karena uang. Jika ada hubungan antar Juragan dan abdi setia. Jika ada hubungan yang lebih berharga dari sekadar nyawa. Dan asal Juragan tahu, aku ndhak pernah membunuh satu nyamuk pun jika bukan tuanku yang memerintahkannya. Apa itu cukup jelas untukmu mengerti?" katanya, yang terdengar sangat mantab dan tajam terdengar di telingaku.     

Darahku terasa mendidih saat Suwoto mengatakan hal itu. Bahkan rasanya, angin sepooi-sepoi yang terus merangsek memaksa dedaunan untuk sekadar bergoyang pun ndhak cukup memenuhi paru-paruku. Bukankah itu berarti, dosa yang dulu sempat terhenti mereka lakukan, sekarang karenaku... karenaku mereka lakukan lagi. Dan rantaian hujan darah, yang dulu pernah Eyang Kakung lakukan, kini kulakukan lagi? Apa ini alasan Romo Nathan, dan Paklik Sobirin sangat ketakutan tatkala Suwoto kuusik lagi keberadaannya yang seolah selama ini tengah mati suri?     

Aku nyaris ambruk kalau Paklik Sobirin ndhak ada di belakangku. Dengan sigap Paklik Sobirin membantuku kembali berdiri, kemudian dia pun berkata, "itulah kenapa, ndhak akan ada hal baik melakukan ini, Juragan. Dan itulah alasannya, Juragan Adrian, dan Juragan Nathan ndhak pernah melakukan hal ini. Ini sama saja, Juragan Arjuna melanjutkan kembali hal yang telah kedua Romo Juragan coba kubur dalam-dalam. Meneruskan kekejaman Juragan Besar Hendarmoko, apa itu benar-benar pilihan Juragan Arjuna? Hanya karena seorang perempuan yang bahkan ndhak membalas uluran tangan Juragan?"     

Kutelan ludahku yang mendadak kering, setelah mendengengar penuturan dari Paklik Sobirin. Akankah ini akan benar-benar menjadi yang pertama setelah sekian lama tertidur, kemudian menjadi terakhir kalinya? Ataukah darah Hendarmoko akan terus merangsek pada nadi-nadiku kemudian menginginkan lebih? Aku tahu jika aku masih punya akal, dan pikiran sebagai seorang manusia. Aku pun memiliki hati, dan nurani. Jadi, apakah setelah ini semua indera yang membuatku sebagai manusia itu akan mati?     

Kupandang telapak tanganku yang kosong, pikiranku berkecamuk karenanya. Rahangku tiba-tiba mengeras, untuk sekadar memikirkan hal mengerikan ini. Pelan kucoba genggam angin yang ada di telapak tanganku, sembari kubayangkan jika saat ini aku telah mengenggam sebuah pisau belati. Tatkala aku sudah merasa genggamanku pas, dengan hati yang mantab. Mata yang sedari tadi terpejam pun berlahan kubuka, kemudian aku menoleh kepada Paklik Sobirin, juga Suwoto.     

"Mengerikan, dan ndhaknya sebuah parang, tergantung kita yang memakai. Mengerikan jika digunakan untuk membunuh, namun bermanfaat jika digunakan untuk mencari kayu bakar...," ucapku. Kulirik Paklik Sobirin sekilas kemudian aku kembali menatap Suwoto. "Jika kamu memang berniat menjadi parangku, maka tunduklah pada tuanmu," titahku.     

Ya, benar... Suwoto adalah parangku, Suwoto adalah abdi dalemku. Dan darah Hendarmoko yang mengalir pada tubuhku adalah sebagian dari bagian-bagian tubuhku, aku masih memiliki darah welas-asih dan lembut mulik Romo Adrian, aku masih memiliki darah yang sangat tulus, dan rendah hati milik Biung, terlebih aku juga memiliki Romo Nathan yang sedari kecil telah mengajariku untuk berjalan di jalan yang lurus, untuk terus menegakkan keadilan apa pun yang terjadi, untuk menjadi manusia bermatabat, seperti manusia-manusia pada umumnya.     

Suwoto lantas berlutut di hadapanku, seolah dia tengah menemukan jawaban yang sedari tadi ia nanti. Kuhelakan napasku dalam-dalam, mencoba mengisi kekosongan yang ada di dalam hatiku. Semuanya mungkin akan menjadi buruk, antara aku, dan Manis, atau bahkan antara aku, dan Minto. Atau bahkan mungkin salah satu di antara kami mungkin kisahnya akan berakhir sampai di sini. Entah ada yang kehilangan nyawa, entah ada yang terluka. Tapi seendhaknya, aku harus mengambil sikap atas kekejian yang telah Minto lakukan kepadaku. Setiap darah yang kuteteskan, harus dibayar dengan tetesan darahnya, setiap luka yang kudapatkan, harus dibayar dengan setimpal juga, dan sakit yang kurasakan, dia harus merasakannya juga. Aku, ndhak akan melepaskan orang itu, aku akan membalas dendamku dengan apa pun itu.     

"Sekarang, ikutlah denganku untuk menemui ketua begundal-begundal ndhak tahu diri itu,"     

"Baik, Juragan!" kata Suwoto dengan mantab.     

Hari ini, adalah hari di mana semuanya akan menjadi saksi. Baik abdi dalemku, baik alam, pun dengan Gusti Pangeran. Jika aku akan berjalan untuk memperjuangkan cinta yang belum sempat kuperjuangkan. Entah berakhir bahagia, atau derita. Tapi aku akan berjuang sampai titik darah penghabisan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.