JURAGAN ARJUNA

BAB 63



BAB 63

0Setelah itu, kami pun menuju tempat Manis berada. Menurut Paklik Sobirin, Manis kini berada di rumah simbahnya bersama dengan Minto. Karena tiga hari ini malam pertama mereka terganggu jika berada di rumah Minto. Rasanya aku benar-benar ingin tertawa tatkala mendengar hal itu, dan semakin aku tahu niat Minto, semakin aku ingin merobek-robek isi perutnya dan kumuntahkan keluar semua.     
0

Gusti, maafkan aku untuk kali ini saja. Setelahnya, silakan hukumlah aku seberat-beratnya. Karena telah menjadi jahat hanya karena cinta. Yang menurutMU hal itu adalah ndhak berguna. Biarkan semua orang mungkin akan mencaci, sebab aku menjadi pecundang yang kalah pada urusan mencintai. Namun sejatinya aku benar-benar ndhak peduli, jika niat ingin menghabisi, harus kubayar dengan satu orang di sana harus mati. Persetan dengan yang namanya takdir, dan jodoh itu milik Gusti Pangeran, sebab selama ini aku percaya, semuanya tampak sia-sia belaka. Aku, Juragan Arjuna Hendarmoko, akan membuat takdirnya sendiri, akan membuat jodohnya sendiri, dengan kedua tanganku sendiri. Aku ndhak butuh campur tangan dari Gusti Pangeran, aku hanya percaya dengan hukum alam, karena alam pun tahu, siapa yang pantas musnah, dan harus dimusnahkan. Dan itu, bukan aku....     

'Mobil melaju semakin pelan, untuk kemudian berhenti di pelataran rumah Simbah Manis yang cukup luas. Kulihat ada beberapa orang yang berjaga, dan aku yakin mereka adalah orang-orang suruhan Minto. Kupicingkan mataku, salah satu di antaranya ada sosok yang ndhak asing di mataku. Sosok lencir yang telah menusuk perutku.     

Bajingan memang, kenapa ada manusia seperti Minto di dunia ini. Yang selalu menghalalkan berbagai cara, agar mendapatkan apa yang diinginkannya. Tapi tenang saja, aku akan mencotoh apa yang telah ia lakukan selama ini untuk mencapai tujuannya, agar dia tahu diri, jika orang-orang sepertinya ndhak hanya dia, dan agar dia tahu jika diperlakukan dengan seperti apa yang dia lakukan, bukanlah perkara yang menyenangkan.     

"Juragan Arjuna!" pekik salah seorang di sana. Seolah kedatanganku adalah huru-hara besar yang akan mengguncangkan keberadaannya.     

Orang itu kemudian berbisik kepada orang lainnya, kemudian hendak pergi ke dalam tapi buru-buru dihentikan oleh salah satu dari kaki tangan Suwoto. Aku masih diam, setelah keluar dari mobil, berdiri sambil mengikat kedua tanganku di punggung, lalu tersenyum memandang ke arahnya. Aku sudah membayangkan, bagaimana nasib orang yang menusukku itu. Sebab kurasa, kematiannya harus dengan cara yang tragis, agar dia tahu dan merasakan, bagaimana rasanya ditusuk dengan cara seperti itu, agar dia bisa merasakan bagaimana rasa panas, dan perihnya sebuah parang, dan bagaimana rasanya saat nyawanya berada di tenggorokan dan merangsek untuk keluar.     

"Di mana Manis?" tanyaku, setelah kudekati sosok itu. Orang itu tampak mundur ketakutan, kedua tangannya menggenggam erat-erat sebuah parang. Lihat saja, tanpa bergeming, kemudian melihat ekspresi menjijikkannya itu.     

"Kenapa Juragan bertanya di mana Manis? Bukankah jawabannya sudah jelas, jika dia sekarang sedang bersama dengan suaminya?" kata orang itu, masih bisa bersilat lidah denganku, rupanya. "Mungkin saat ini, keduanya sudah ada di kamar. Menghabiskan malam-malam pengantin yang panjang berdua, Kamitua Minto, adalah laki-laki yang paling hebat ketika di rajang, Manis akan merasa puas dengan pelayanan dari Kamitua Minto,"     

Rasanya ingin sekali kugorok leher laki-laki sialan itu, tapi emosiku berusaha kuredam sedalam mungkin. Sedalam mungkin sampai aku harus bertemu dengan Manis. Dan setelah itu biarlah takdir Gusti Pangeran bekerja sesuai kehendakNya.     

"Jalan masih pincang kok sok berani bertandang ke sini," sindir orang itu. Sialan, aku ndhak tahu siapa namanya. Sebab kutahu, dia bukan warga asli Kemuning. Jika saja aku tahu siapa namanya, di mana rumahnya, dan siapa saja keluarganya, maka aku ndhak segan-segan untuk menghabisi mereka semua saat ini juga.     

"Sayang sekali, belasan orang hanya mampu membuat kakiku pincang seperti ini. Ck!" sindirku. Melirik ke arahnya yang agaknya mundur selangkah ke belakang. Kenapa? Apakah dia sudah mulai takut sekarang? Terlebih setelah mendengar warta, jika tiga perempat dari kawannya sudah binasa di atas gunung sana?     

"Minggir! Seharusnya kalian cukup pintar untuk tahu siapa Juragan di sini!" bentak Suwoto.     

Aku langsung masuk ke dalam rumah Simbah Manis, tampak Simbah Manis terbelalak kaget. Berdiri kemudian menghampiriku, kemudian Minto yang kutangkap sosoknya berjalan dari belakang rumah pun menghampiriku dengan pandangan ndhak sukanya itu. Lihatlah dua orang ini, bahkan sekarang di dalam mataku, wajah mereka sudah ndhak lagi wajah manusia, melainkan wajah binatang yang sangat menjijikkan. Pantaslah, keduanya memang pantas menjadi binatang dari pada manusia. Sebab bagaimanapun, ndhak akan ada satu manusia pun di dunia ini yang mampu berperilaku seperti mereka berdua.     

"Kenapa kamu datang ke sini!" bentaknya. Matanya tampak melotot, kedua tangannya berkacak pinggang. Orangtua ini, ingin benar aku tendang tubuhnya sampai terpental keluar.     

Kuabaikan saja dia, aku langsung berjalan menuju kamar Manis. Sebelum aku meraih gagang pintu kamar itu, sebuah tamparan mendarat di pipiku. Kulihat Simbah Manis sudah menatapku dengan sangat garang. Wajahnya mendongak dengan sangat congkak, dan bagian tangan lainnya masih berkacak pinggang.     

"Mau apa kamu!" bentaknya. "Dasar pemuda ndhak tahu diri! Ndhak tahu malu, ndhak punya adab, dan anak haram, kamu benar-benar terlahir persis seperti binatang!"     

"Kurasa kamu cukup paham sekarang berbicara dengan siapa? Meski kamu sudah tua renta, tapi kamu harus tahu jika aku adalah Juragan di kampung ini,"     

"Kamu—"     

"Paklik Sobirin, seret Simbah ini keluar, jangan biarkan dia masuk barang sejengkal pun. Kalau endhak...." kataku sembari melirik ke arah Simbah Manis.     

"Kalau endhak apa! Berani apa kamu!" marahnya lagi, seolah semakin menantang amarahku.     

"Kalau dia memaksa, potong saja lehernya."     

Aku langsung masuk ke kamar Manis. Rupanya, perempuan ayu itu tengah menangis sambil berbaring di dipannya. Tubuhnya yang memunggungiku tampak bergetar, sepertinya dia cukup tergoncang karena suatu hal.     

Ada apa? Kenapa Manisku menangis seperti ini? Apakah ada yang telah terjadi? Ataukah Minto telah menyetubuhinya sampai ia sangat hancur seperti ini?     

"Manis," kataku.     

Manis langsung terjingkat, memandangku dengan mata nanarnya. Senyumnya tersungging, seolah akulah orang yang selama ini dia tunggu. Dia lantas berdiri, kemudian berlari memeluk tubuhku. Memandangiku dengan mata sembabnya, seolah dia ingin memastikan jika yang tengah dia peluk adalah benar aku, seolah dia ingin memastikan jika aku baik-baik saja.     

"Arjuna, Arjuna..."     

"Berhenti, kamu!" bentak Minto. Yang sudah berdiri di antara aku, dan Manis. Memaksa tubuhku dan Manis berpisah, sampai tubuh kami mundur beberapa langkah ke belakang. Bahkan tubuh Manis, sampai tersungkur di tanah.     

Aku terbelalak kaget, melihat Manis tampak meringis. Apa dia baik-baik saja? Apa janin yang ada di perutnya juga baik-baik saja? Sungguh, jika ada sesuatu terjadi kepada Manisku, aku ndhak akan pernah memaafkan Minto!     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.