JURAGAN ARJUNA

BAB 65



BAB 65

0Mataku terbuka sempurna saat tahu ada sosok yang memelukku, sebelum sebuah parang itu tertancap manis di perutnya. Manis, Manis menghadang serangan Minto kepadaku, dengan tubuhnya. Dan tusukan itu mengenai perutnya. Aku bisa melihat jika perutnya sekarang terkoyak, darah itu keluar dengan sangat deras dari sana. Endhak, ini ndhak mungkin. Aku ndhak mau Manisku kenapa-napa! Aku ndhak mau!     
0

"Ma... Manis," lirihku.     

Rahangku mengeras melihat perempuan yang kucintai terkapar dengan kondisi seperti itu. Pisau yang masih kutikamkan pada dada Minto pun kutusukkan semakin dalam. Mataku memicing memandang wajah Minto yang tampak menahan sakit. Mulutnya mengeluarkan darah segar, namun bagiku apa yang ia dapatkan ndhak sebanding dengan apa yang telah ia lakukan. Dia, harus mendapatkan apa yang harus dia bayar atas semua kesalahan yang terlah dia perbuat kepadaku! Kenapa Manisku!     

Jrep!!     

Lagi Minto memuntahkan darah dari mulutnya, untuk kemudian dia limbung begitu saja di lantai. Di punggungnya tertancap sebuah parang, kemudian sosok yang kusebut dalam diam itu pun berada di belakangku. Tubuh Minto tampak kejang beberapa saat, seolah kesakitan luar biasa sampai matanya terbelalak lebar. Untuk kemudian, tubuh itu mulai kaku, dengan kedua tangan yang terkulai begitu saja. Aku yakin, dia pasti sudah mati. Jika belum, aku akan menusukmu lagi sampai kamu mati. Ya, aku akan pastikan itu.     

"J... Juragan, Juragan ndhak apa-apa?" tanyanya, penuh dengan kekhawatiran yang luar biasa. Kemudian, mata Suwoto memandang ke arah Manis. Matanya terbelalak tampak ndhak percaya, lalu dia berlutut tepat di depanku. "Maafkan aku, Juragan, sungguh... sungguh aku sama sekali ndhak tahu jika aku seterlambat ini. Sungguh, aku sama sekali belum terbiasa dengan panggilan yang Juragan berikan kepadaku, maafkan aku," dia menundukkan wajahnya dalam-dalam, rasa penyesalan yang luar biasa tampak begitu nyata pada raut wajahnya.     

Aku sudah ndhak mempedulikan Suwoto, yang kupedulikan saat ini adalah napas Manis yang tampak tersengal. Matanya tampak nanar, sementara untuk bagian perutnya seperti apa, aku ndhak mau tahu, aku ndhak mau melihat apa pun yang ada di sana. Manis, Sayang, aku mohon bertahanlah. Demi aku, demi calin bayi kita. Aku telah melakukan perjuangan sejauh ini demimu, aku telah melakukan dosa sebesar ini untuk bersatu denganmu. Jadi kumohon, bertahanlah, sebentar saja, bertahanlah, Manis. Demi aku, demi aku, Arjunamu.     

"A... A...." katanya terbata.     

Kucium tangannya yang terasa sangat dingin. Ndhak, ndhak... aku ndhak mau kehilangan Manisku. Aku ndhak mau dia pergi meninggalkanku!     

"Manis, Manis... kamu masih sadar, toh? Kamu mendengar aku toh?" tanyaku. Mencoba sekuat tenaga untuk tetap membuatnya terjaga, mencoba sekuat tenaga untuk membuat dia tetap membuka mata. Aku takut jika dia memejamkan mata, aku takut jika matanya tertutup dan dia ndhak mau membuka matanya lagi untuk selamanya. Gusti, tolong aku. Gusti, dengarkanlah doaku, sekali ini saja. Aku ndhak mau apa-apa selain keselamatan Manisku, aku ndhak mau apa-apa selain hidup Manisku. Aku mohon, Gusti....     

Manis mengangguk dengan senyuman yang ia tahan, aku yakin betapa sakit dia sekarang. Kupeluk lagi tubuhya, kudekap tubuhnya dalam tangisanku yang terpecah. Dia diam, dia ndhak mengatakan apa pun. Dia diam, seolah keheningan telah mecengkam hidupku. Menggerogoti nyawaku sampai aku ndhak mampu untuk berkutik lagi.     

"Suwoto, tolong... tolong siapkan mobil untuk Manisku. Tolong selamatkan dia!" teriakku mulai kesetanan. Kupeluk tubuh Manis erat-erat, tangannya mencengkeram lenganku sangat kuat. Air matanya tampak menetes, begitu kontras dengan senyuman yang masih menghiasi bibir mungilnya.     

Manis, sekali lagi... aku mohon kepadamu. Sekali lagi, mari kita lawan takdir biadab ini bersama. Di sini ndhak hanya kamu yang berjuang, tapi aku juga. Meski perjuanganmu pasti jauh lebih berat dari apa yang kurasa, namun kumohon, sekali lagi... sekali lagi kita harus melakukannya bersama-sama.     

"Arjuna... aku c... cinta kamu...," katanya, dan itu benar-benar membuatku semakin sakit.     

Gusti, bagaimana bisa harus seperti ini. Tatkala aku mengetahui fakta bahwa Manis telah mengandung buah hatiku. Kenapa harus ada kejadian ini? Gusti, apakah aku ndhak ditakdirkan untuknya? Itu sebabnya setelah adanya Minto, engkau ciptakan lagi ujian yang sangat menyakitkan hati ini, Gusti?     

"Juragan, gawat, Juragan!" Paklik Sobirin masuk ke dalam kamar Manis, dia tampaknya kaget dengan apa yang terjadi di dalam sini. Banyak sosok yang terkapar, banyak darah, dan itu benar-benar sangat mengerikan. "Polisi... ada polisi menuju ke sini, Juragan!"     

*****     

Pagi ini rasanya begitu nikmat, indera penciumanku dipenuhi oleh wanginya bau embun yang menetes dari pucuk-pucuk dedaunan. Aku tebak ini telah memasuki musim penghujan kembali. Mataku terasa sangat berat untuk sekadar kubuka, sementara jemariku hanya bisa bergerak dengan sangat lemah. Rasanya, ingin sedikit lebih lama aku memejamkan mata. Untuk sekadar berkhayal jika saat ini aku sedang berbaring di sebuah tanah yang lapang. Menikmati tiap tetesan embun yang jatuh pada permukaan kulitku. Segarnya, begitu menusuk sampai ke dalam dada. Dan menarik kewarasanku untuk sekadar menjadi jauh lebih tenang dari apa yang kubayangkan, dan menghempaskan semua masalah duniawi barang sekejap saja. Tapi....     

Sebenarnya, apa yang telah terjadi denganku? Dan....     

Manis!     

Kesadaranku langsung terkumpul sempurna, aku nyaris terduduk dari tidurku. Sebelum rasa sakit dari sebuah pukulan menghantam kepalaku. Sialan, siapa yang berani memukul kepalaku ini?!     

"Romo!" jengkelku.     

Romo tampak melotot sambil menyilangkan kedua tangannya di dada. Kemudian dia memicingkan matanya sambil tersenyum sinis. Mimik wajah galaknya benar-benar kentara, seperti aku telah melakukan sebuah kesalahan fatal yang benar-benar ndhak bisa termaafkan. Tunggu, benar... aku memang telah melakukan kesalahan fatal itu. Jadi, apakah Romo ke sini untuk menguliti dan menghakimiku atas apa yang telah kuperbuat kepada Minto, dan antek-anteknya?     

"Berani sadarkan diri, kamu? Ndhak mati sekalian sana? Biar Romo yang menggali kuburanmu dan menendangmu masuk ke kuburan?" katanya.     

Benar-benar sangat kejam dan ndhak punya perasaan. Bagaimana bisa, dia berkata sekasar itu kepada putranya sendiri. Memangnya, jika benar aku mati dia ndhak akan merasa sekadar kehilangan, atau sedih, toh? Aku yakin, itu karena dia jengkel, dan kata-kata itu bukan keluar dari mulutnya. Aku yakin akan hal itu, kalau endhak aku pasti akan mengundurkan diri menjadi putranya. Dasar!     

"Kangmas ini apa, toh? Anak baru sadar kok ndhak ditanya bagaimana keadaannya, adakah yang masih sakit atau bagaimana? Kok ya malah dikata-katain, disumpah-sumpahi? Kamu ndhak sayang ya sama putraku? Kamu ndhak sayang sama anakku!" marah Biung kepada Romo. Tuh, kan, malah sekarang ganti saling menyalahkan, dan salah paham, sudah tahu kalau Biung itu teramat sangat sensitif terlebih jika masalah itu tentang aku, tapi Romo selalu mencari gara-gara dengan Biung. Biarkan mereka bertengkar, aku ndhak peduli lagi dengan mereka.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.