JURAGAN ARJUNA

BAB 68



BAB 68

0Hari ini aku sudah bisa duduk di belakang rumah, sekadar makan mangga yang baru saja dipetikkan oleh Bulik Sari. Kata Bulik mangga di kebun belakang rumahku adalah yang terbaik. Itu sebabnya beberapa warga kampung berusaha mengambilnya dengan cara sembunyi-sembunyi. Dan kurasa letaknya di sini adalah bukan perkara rasanya, tapi perkara siapa pemiliknya. Kalian juga pasti pernah, toh, waktu dulu berusaha mengambil buah di pekarangan rumah orang-orang kaya, karena setelah mendapatkan itu, ada rasa puas luar biasa. Bahkan kalian akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan buah tersebut. Mulai dari melemparnya dengan sendal, batu, atau memakai kayu untuk mengambilnya. Bahkan, ada yang nekat, mengendap-endap sekadar naik ke atas pohon untuk mengambil buahnya. Atau bahkan ndhak pernah? Ah, aku ndhak terlalu peduli tentang itu.     
0

"Kamu ini, toh, Jun... Jun," kulirik rupanya Biung, duduk di sampingku sambil membawa pisau dan sayur bayamnya. Memandangku berkali-kali kemudian berdecak. "Kamu tahu, di mata Biung kamu ini masih anak Biung yang masih kecil. Biung sama sekali ndhak menyangka jika rupanya kamu memiliki hubungan asmara seperti ini. Memangnya, siapa yang mengajarimu untuk membuat anak di luar nikah seperti itu, toh? Dan siapa yang mengajarimu ndhak jujur kepada orangtua seperti itu?" Biung kembali menghela napas, sembari memotong helaian daun bayam dengan pisaunya. "Biung benar-benar ndhak menyangka. Begitu susah Biung menerka-nerka siapa gerangan pemilik hatimu. Tapi rupanya, pemiliknya adalah Manis. Orang yang selalu ada di sampingku, orang yang selalu menemaniku kemana-mana. Dan, orang itu adalah kawan baikmu. Sedekat itu, Arjuna. Sedekat itu, dan kamu benar-benar ndhak mau mengabari biungmu sendiri?"     

"Biung," jawabku hati-hati. Biung tampak melotot, aku langsung dilempar bayam olehnya. Kemudian aku tersenyum saja. Dasar Biung ini, memangnya aku ini kambing apa, toh? Kok ya dilempar bayam segala. Aku ini, kan, anaknya. Putra semata wayangnya yang bagusnya tiada tara.     

"Apa pun, apa pun hal yang buruk dari Biung mbok ya ndhak usah ditiru, toh? Biung adalah contoh yang buruk dan ndhak patut ditiru. Kamu tahu akan hal itu?" kata Biung, sudah ndhak dapat dihitung berapa jumlahnya Biung memarahiku setelah kejadian itu. Andai kalau dikumpulkan, dan andai jika itu adalah mata uang, bisa untuk beli kerbau sekampung.     

Aku pun mengangguk saja. Toh percuma, Biung memarahiku berkali-kali hal itu tetap saja ndhak ada gunanya. Semua sudah terlanjur juga. Aku bukan Gusti Pangeran yang bisa mengulang waktu, pun kalau bisa, aku juga ndhak akan melakukan kesalahan yang sama. Sehingga, hal-hal tragis, dan menyakitkan dalam hidupku ndhak akan terjadi. Entah itu antaraku dan Manis, atau tentang Muri, dan Arni. Gusti, jujur... hal yang benar-benar kusesalkan selain pertumpahan darah untuk memperjuangkan cintaku adalah kepergian Muri, dan Arni. Seolah aku mungkin bisa melakukan sesuatu, tapi nyatanya ndhak bisa sama sekali. Andai saja waktu itu aku lebih peka, andai saja waktu itu aku bisa menjadi penengah di antara mereka. Pasti, semuanya ndhak akan seperti ini. Pasti saat ini mereka masih ada di sampingku, menjadi kawan baikku.     

"Besok Rianti akan bali merantau, mengemban ilmu. Apa kamu ndhak ada niatan untuk mengantarkannya ke kontrakan?" tawar Biung. Kutarik sebelah alisku, tumben benar, Biung menyuruhku untuk mengantarkan Rianti. Biasanya, Biung akan menyuruh Paklik Sobirin untuk mengantar.     

Aku belum bilang pada kalian, jika saat ini Paklik Sobirin sudah bisa menyetir mobil. Dia terpaksa belajar menyetir karena sepeninggal Simbah Marji ndhak ada lagi abdi dalem yang mumpuni untuk mengendarai kendaraan beroda empat itu. Jadi, mau ndhak mau, untuk mengantar Romo, Biung, Rianti, atau aku dia wajib bisa menyetir mobil.     

"Endhak, ah, Biung. Nanti Dik Rianti pasti akan nangis manja, memelukku, dan melarangku pulang. Aku sudah bisa menebak itu, jadi malaslah," tolakku. Aku ndhak mau direpotkan oleh sifat anak kecilnya Rianti. Terlebih dari itu adalah, sebenarnya aku juga ndhak tega melihat Rianti kutinggal di kota. Iya, aku ini aneh. Ketika dekat dengannya kami ribut, tapi ketika hendak berpisah, dan jauh dengannya, hatiku ada yang kosong, ada sesuatu seperti beton yang mengganjal dadaku sampai aku ndhak bisa bernapas karenanya.     

Terlebih, dulu waktu pertama dia berangkat kuliah di Universitas seperti itu. Bahkan sampai kawan-kawannya berpikir jika Rianti ini adalah kekasihku. Sungguh, aku ndhak peduli dengan anggapan itu. Hanya saja, yang kawan-kawannya pikirkan adalah, aku adalah kekasih yang menghamilinya dan ndhak mau bertanggung jawab. Sejak saat itu aku ndhak mau lagi mengantarkan Rianti. Meskipun setiap kali dia hendak pergi, selalu memohon untuk diantar. Sungguh, hal itu adalah kejadian yang benar-benar memalukan.     

"Apa kamu ndhak rindu Manis?" tanya Biung lagi yang berhasil membuatku menoleh ke arahnya. Apakah itu artinya, jika Manis saat ini tengah kuliah di tempat yang sama dengan Rianti berada? Jika iya, pantas saja kedua orangtuaku tampak begitu tenang sekali.     

Rindu? Bagaimana aku ndhak rindu kepada perempuan satu itu. Bahkan setelah dia terluka, aku benar-benar ingin memeluknya, memandang wajahnya, kemudian bertanya apakah dia telah baik-baik saja. Namun nyatanya, rindu sepertinya adalah takdir yang telah terpatri rapi dengan diriku. Itu sebabnya rindu ndhak akan bisa lepas sampai kapan pun itu.     

"Kamu ndhak mau menemui Manis?" tanya Biung lagi. Aku tahu sekarang, alasan Biung menyuruhku mengantar Rianti. Sebab dengan alasan ini, jika aku nanti bertemu dengan Manis, maka adalah hal kebetulan. Dan Romo ndhak akan pernah memarahi Biung karena telah menuntunku bertemu dengan Manis. Dasar Biung, aku sangat menyayangimu.     

"Rindu, tapi nanti dulu," kubilang, sambil melahap buah manggaku yang tadi telah dikupaskan oleh Bulik Sari.     

"Kenapa seperti itu, toh? Apa kamu telah memiliki perempuan lain?" tanya Biung tampak gusar.     

Aku pun mengangguk, dan itu berhasil membuat Biung melotot ke arahku. Kepeluk saja tubuhnya, kemudian kucium pipinya. Kalau saja ada Romo Nathan, pasti Romo akan marah. Sebab Romo Nathan adalah pencemburu yang ulung, meskipun itu kepada putranya sendiri. Dan aku adalah putra yang paling gemar menggoda Romo Nathan, melihatnya marah dan cemburu, itu benar-benar sangat lucu.     

"Perempuan yang telah merebut hatiku itu namanya Larasati. Memangnya siapa lagi?" godaku. Biung langsung tersenyum, kemudian dia memeluk tubuhku erat-erat. "Aku sedang mengurusi beberapa perkara perkebunan, Biung. Sabarlah sebentar lagi, aku akan membawa bali menantumu yang nakal itu. Pasti aku akan menikahinya, aku telah janji itu kepada diriku sendiri akan hal itu," ini bukan sekadar janjiku kepada Biung, akan tetapi ini adalah janjiku kepada diriku sendiri. Sebab ndhak ada perkara lain yang akan membuat Manis pergi. Aku janji, aku akan membuat Manis kembali, dan aku janji aku ndhak akan pernah menyia-nyiakan, dan menyakitinya lagi. Sebab bagaimanapun, aku juga ingin menjalin hubungan dengannya dengan ikatan resmi. Ikatan yang penuh cinta tanpa ada dosa di dalamnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.