JURAGAN ARJUNA

BAB 69



BAB 69

0"Arjuna...," ucap Biung. "Kamu tahu, bagaimana khawatirnya Biung tatkala melihatmu sekarat untuk kedua kalinya? Bahkan, bahkan nyawa Biung rasanya telah melayang karena mengkhawatirkanmu. Kamu bisa, toh, ndhak melakukan ini lagi? Kamu harus tahu, selain Manis, ada Biung yang juga ndhak mau kehilanganmu. Selain Manis—"     
0

"Biung mulai cemburu dengan Manis?" godaku. Biung tampak tersenyum malu-malu. "Arjuna janji, jika anak Biung yang paling bagus (ganteng) ini, ndhak akan pernah menduakan Biung sampai kapan pun itu, oleh siapa pun itu."     

"Janji?"     

"Janji, Biung. Arjuna sayang sama Biung."     

"Biung juga sayang sama kamu, Sayang," Biung lantas mengecup puncak kepalaku, kemudian dia menangis. "Harus kamu ketahui, Nak. Sebagai orangtua, terlebih seorang Biung, bahkan nyawanya akan ditukarkan dengan suka rela asalkan anaknya bisa selamat dan baik-baik saja. Lebih baik, seorang Biung yang sakit, dan menderita, dari pada dia harus ndhak berdaya melihat anak-anaknya yang menderita. Biung, sangat menyayangimu, Arjuna. Biung ndhak mau kehilanganmu."     

Aku diam, ndhak mengatakan apa pun. Kulihat langit yang sudah mulai menguning. Mataku tiba-tiba terasa panas dan berair karena ucapan dari Biung. Biung maafkan aku, sudah berapa kali aku membuat Biung khawatir seperti ini. Andai saja bisa, aku ndhak ingin, Biung. Aku selalu ingin membuat Biung bahagia, dan selalu menjaga senyuman Biung akan tetap indah selamanya. Maafkan aku, Biung. Sekali lagi, maafkan aku.     

*****     

"Jadi, di mana kontrakanmu itu, Dik?" tanyaku.     

Saat ini aku, dan Rianti sudah ada di Jakarta. Dan sialnya, adik kecilku ini terus mengajakku berputar-putar ndhak jelas sama sekali. Dan tentu, sembari bergelayut manja di lenganku. Meski aku sebal, aku pun tersenyum. Sudah lama kami ndhak menghabiskan wakti berdua seperti ini. Rasanya benar-benar sangat rindu.     

"Kita ndhak akan ke kontrakan dulu, Kangmas. Kita akan mengurus beberapa hal di Universitas," jawab Rianti dengan senyuman lebarnya. Jika dihitung-hitung, bukankah seharusnya dia ini sudah lulus kuliah? Lantas kenapa dia bersikeras untuk kembali lagi di Jakarta? Apakah ada hal-hal yang harus diselesaikan di sini?     

"Bukannya kamu ini sudah lulus, toh? Seharusnya tinggal wisuda, toh?" tanyaku yang semakin bingung.     

Sepertinya aku benar-benar ndhak tahu jika Rianti ini belum lulus, atau sudah lulus. Kangmas macam apa, toh, aku ini? Selama ini yang kupikirkan apa? Sepertinya aku terlalu sibuk dengan Manis hingga lupa dengan adik cantikku ini sama sekali. Maafkan aku, Rianti, ndhak seharusnya aku bisa ndhak tahu perkembangan tentang dirimu. Apa pun itu.     

"Kangmas, aku itu kuliah enam tahun, lho, kalau pinter bisa lulus tepat waktu. Dan kemarin aku cuti kuliah," marah Rianti. Rupanya dia mulai jengkel karena pertanyaanku.     

"Kamu kemarin cuti itu, alasannya karena apa? Kamu ndhak sedang melahirkan, toh? Apalagi sedang perang," ejekku. Sebab aku baru tahu kalau dia ini sedang mengambil cuti kemarin. Lantas cuti apa yang ia ambil? Toh kemarin dia pulang, ndhak ada suatu hal yang berarti yang ia lakukan. Selain mengolok-olokku dan membuatku sebal bukan main.     

"Kangmas!" marahnya. Lho, kenapa dia harus marah? Benar, toh, apa yang baru saja kukatakan? Di mana letak kesalahanku? "Sudah-sudah ayo berhenti di sini, Kangmas. Ayo turun!" katanya lagi.     

Kuturuti saja perintah tuan putri yang paling cantik sedunia ini, dari pada dia akan terus memarahiku sepanjang waktu. Bisa-bisa orang-orang akan berpikir jika kami ini adalah pasangan suami istri yang ndhak harmonis sama sekali.     

"Kangmas tunggu di sini, ya," kataku. Rianti mengangguk kuat. Mulai berjalan menjauh ke arahku kemudian dia menghentikan langkahnya dan menoleh ke arahku lagi.     

"Ndhak usah kemana-mana, biar ndhak susah nyarinya!" katanya memperingati.     

Aku kembali mengangguk, untuk kemudian dia tampak pergi. Sementara aku mencari tempat yang teduh, sekadar duduk di sana untuk menunggu adik tercintaku itu kembali ke sini. Kupandang Universitas yang megah ini, seharusnya aku sekolah di sini saja. Pasti kawanku banyak, terlebih pasti bahasaku ndhak akan medok seperti ini. Dasar aku ini, kenapa memikirkan perkara-perkara yang benar-benar ndhak jelas sekali. Seharusnya yang kupikirkan adalah, jika benar Manis ada di Universitas ini, aku harus mencari cara untuk membujuk Rianti agar bisa mengatakan di mana Manisku berada. Tapi kalau dipikir-pikir, pasti Manis tinggal serumah dengan Rianti. Ndhak mungkin endhak, toh.     

"Hey, Manis!"     

Lamat-lamat kudengar nama itu dipanggil oleh seorang pemuda. Saat kutahu, ada sosok yang selama ini kurindu. Manis, dengan jaket rajut berwarna merahnya. Sedang berjalan sendirian sambil memawa buku. Dia tampak berhenti, melihat ke arah sumber suara yang memanggilnya. Sementara si pemuda itu, tampak berlari dengan sebongkah senyuman. Dan tatapannya itu, benar-benar menjijikkan. Jenis tatapan pemuda dengan penuh cinta yang membara. Tatapan yang benar-benar ndhak aku suka!     

"Ada apa?" tanya Manis yang terdengar di telingaku. Tatapannya datar, memandang pemuda itu dengan bingung.     

"Kamu mau kemana? Bukankah kuliah masih ada sebentar lagi? Tinggallah sebentar di sini, temani aku untuk makan di warung sana," ajak pemuda itu. Dasar! Mau cari kesempatan dalam kesempitan, rupanya! Ndhak tahu apa, kalau perempuan yang digoda telah memiliki pujaan hati.     

Manis yang hendak dipegang tangannya pun menghindar, kemudian dia menunduk. Dari bahasa tubuhnya, tampak benar kalau dia sedang gusar.     

"Maaf, aku ndhak bisa,"     

"Ayolah, kenapa kamu susah sekali diajak makan? Aku ini mahasiswa paling kaya, dan paling disegani di sini. Apalagi, aku adalah mahasiswa paling tampan di sini. Kamu tidak punya hak untuk menolakku berkali-kali, lho," kata pemuda itu lagi dengan percaya diri, dengan sedikit memaksa dia terus merangsek maju mendekat ke arah Manis. Rahangku benar-benar mengeras melihat semua ini. Aku harus cari perhitungan, agar dia cukup tahu diri tentang di mana posisinya berada.     

"Maaf—"     

"Kata siapa Manis tidak punya hak untuk menolakmu? Bahkan wajahmu saja jauh lebih buruk dari pada kerbau-kerbau di rumahku. Berani-beraninya kamu mendekati perempuanku. Apa kamu mau cari mati?" ketusku.     

Manis tampak kaget melihatku sudah berdiri di sampingnya, sementara pemuda itu benar-benar marah denganku. Kupicingkan mataku, memandang matanya kemudian kutarik tangan Manis untuk pergi. Tapi, pemuda itu agaknya keras kepala. Sebab, dia memegang lengan Manis yang tengah aku pegang. Dasar, pemuda ndhak tahu diri!     

"Siapa kamu ini? Berani sekali memegang tangan Manis? Manis adalah temanku, dan kamu tidak memiliki hak apa pun untuk menyentuhnya."     

Aku diam mendengar ucapannya, tapi kupicingkan mataku menatapnya dengan tajam. Sialan orang ini, ingin rasanya kurobek-robek saja mulutnya agar bisa tahu diri.     

"Aku—"     

"Maaf, aku ingin pergi. Dan aku tidak bisa untuk makan siang. Sekali lagi, aku minta maaf," kata Manis dengan intonasi yang sangat halus, kemudian dia menarik tanganku untuk pergi dari sana. Dasar begundal satu itu, lihat saja jika nanti aku bertemu dengannya lagi. Akan kugergaji gigi kuningnya yang besar-besar itu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.