JURAGAN ARJUNA

BAB 73



BAB 73

0"Oh, jadi ini, toh, alasan kenapa Kangmas ndhak datang menjemputku sampai aku pulang kemalaman. Karena kalian pacaran? Kalian kangen-kangenan dan melupakan aku?" dengus Rianti. Berdiri di antara aku, dan Manis.     
0

Duh gusti, kenapa aku sampai lupa dengan Rianti? Padahal tadi, dia mewanti-wantiku untuk ndhak pergi ke mana pun, dan menunggunya di parkiran. Bahkan, aku ia larang bergerak barang sedikit saja.     

Sepertinya dia benar-benar sedang marah besar sekarang, lihatlah bagaimana wajah ayunya itu tampak ditekuk. Mata bulatnya melotot, dan wajahnya yang memang sudah bersemu merah, semakin terlihat merah.     

Gusti, maafkan aku karena telah melupakannya. Sungguh, aku benar-benar merasa bersalah sekarang. Bukan maksud hatiku untuk sengaja, hanya saja kenyataan yang diungkapkan Manis benar-benar membuatku lupa segalanya.     

"Dik Rianti, ndhak usah marah begitu, toh. Maaf, kalau Kangmas telah lupa menjemputmu. Nanti-nanti ndhak akan Kangmas ulangi lagi," rayuku. Berharap dia mungkin akan luluh dengannya. Aku jadi merasa bersalah, telah membuatnya kecewa sampai di titik seperti ini.     

Tapi wajahnya semakin tampak ditekuk, alisnya bertaut. Dan itu pertanda jika Rianti benar-benar marah sekarang.     

"Ndhak ada nanti-nanti, sebab aku ndhak mau lagi diantar dan dijemput Kangmas!" marah Rianti. Mengabaikanku, berjalan ke arah dapur dan mengambil air yang ada di kendi.     

"Rianti, tolong maafkan kami, toh. Tadi Arjuna tak ajak berbincang perkara yang benar-benar serius. Mungkin itulah kenapa dia sampai lupa untuk menjemputmu. Sungguh, ini adalah salahku. Nanti ayumu hilang, lho, kalau kamu cemberut terus," kata Manis ikut merayu Rianti. Dia terus berjalan di belakang Rianti, mengekorinya, sampai membuat keduanya hampir benturan tatkala Rianti balik badan mendadak dan hendak melangkah. "Maaf, ya?" kata Manis lagi. Sambil menyodorkan jari kelingkingnya di depan Rianti.     

"Ndhak boleh terulang lagi. Janji?" kata Rianti pada akhirnya.     

Cih, keduanya ini benar-benar. Lihatlah, berapa coba umur mereka sekarang? Bagaimana bisa mereka memainkan permainan anak kecil seperti itu? Memangnya dengan mengaitkan jari kelingking masing-masing maka semua amarah akan terselesaikan begitu saja? Baru tahu ini, aku. Jika benar seperti itu, maka perkaraku dengan Minto dulu seharusnya bisa terselesaikan hanya dengan mengaitkan kelingking sialan itu.     

Kucubit kedua pipinya sampai dia tampak mengeluh kesakitan. Dan itu benar-benar semakin lucu. Tumben benar adikku satu ini bersikap manis, biasanya akan marah-marah dan mengataiku yang bukan-bukan.     

"Sakit, Kangmas!" marahnya. "Awas saja, nanti aku akan mengadu kepada Biung kalau kalian di sini isinya pacaran terus," nah, toh! Baru saja kupuji-puji dia sudah bersikap seperti itu lagi. Awas saja nanti kalau dia punya kekasih hati, akan kubuat kekasihnya itu menangis darah, dan akan kusiksa habis-habisan. Kalau akhirnya dia menyerah, dan mundur atas adikku, siapa peduli. Toh aku ndhak ikut patah hati.     

"Rianti!"     

Sementara Manis hanya memilih tertawa melihat perikaianku dengan Rianti. Sama seperti dulu, dia selalu menjadi pemerhati kelakuanku dan Rianti tatkala bertengkar. Ah, rupanya kita bertiga pada akhirnya akan selalu ditakdirkan seperti ini. Saling terikat dengan cara berbeda. Untuk saling memiliki satu sama lainnya.     

"Manis...," kataku padanya, yang berhasil membuat Manis memandangku, dengan dahi yang sedikit berkerut. "Aku mencintaimu," kubilang.     

Manis langsung menunduk dengan wajah yang tampak memerah itu. Aku yakin, dia sedang malu, terlebih ada Rianti di sini. Tapi, siapa yang akan peduli? Sebab aku, ndhak akan peduli sama sekali. Semakin mengumbar cintaku, maka itu akan semakin baik untukku, karena aku bisa pamer di depan perawan yang ndhak laku-laku itu. Sementara Rianti, langsung mencubit pinggangku.     

"Kamu ini, Kangmas! Ndhak lihat apa, kalau di sini, ada satu makhluk yang ndhak punya kekasih dan kamu dengan jahatnya membuatku menjadi seorang perawan kesepian yang mengenaskan!"     

Gusti, rasanya aku ingin terbahak tatkala dia mengatakan hal itu. Perawan kesepian, katanya. Bahkan dia mengakui sendiri kalau dia sedang kesepian.     

"Salah siapa ndhak kawin-kawin? Sana kawin, sama Paklik Sobirin!"     

"Kangmas!"     

"Hahaha!"     

*****     

"Pagi ini aku ada urusan sebentar, nanti sore kamu harus ikut pulang ke Kemuning denganku barang seminggu," kataku, saat ini aku tengah mengantar Manis, dan Rianti pergi ke Universitas. Tapi Rianti sudah pergi terlebih dahulu karena mengurus beberapa hal sebelum dia benar-benar kembali pulang. Nah, toh, pulang lagi. Rasanya ndhak betah benar dia ini kalau berada di Jakarta, lantas siapa yang suruh dia kuliah sampai sejauh ini? Kayak di Jawa tengah ndhak ada Universitas saja.     

"Tapi—"     

"Pagi, Manis,"     

Aku, dan Manis berhenti tatkala mendengar suara sok seksi itu. Seorang pemuda yang kemarin telah menganggu pandanganku dengan wajah busuknya, dan sepagi ini sudah berada di hadapanku lagi. Tersenyum lebar sampai gigi-gigi kuningnya tampak begitu nyata.     

Kuembuskan napasku, sepertinya aku akan ndhak nafsu makan nanti siang karena melihat pemandangan menyebalkan ini. Perasaan semalam aku mimpi kelon (tidur) dengan Manis, lho. Kenapa bisa paginya aku sial tujuh turunan karena melihat wajah sialan ini.     

"Kamu mau ke kelas, kan? Ayo bareng, ada beberapa buku yang igin kubahas denganmu," katanya lagi. Preeet! Hanya orang bodoh yang akan percaya dengan mudahnya dengan akal bulus pemuda buluk rupa itu. Mau ada buku yang dibahas? Iya kawan sekelasnya hanya Manis saja. Dasar, kalau mau pendekatan dengan perempuan mbok ya logikanya dipakai. Lebih-lebih mbok ya ngaca dulu, apa sudah pantas itu lho, wajah yang minus semua mau dekat-dekat dengan Manisku.     

"Maaf, apa matamu katarak? Atau minus parah?" tanyaku, dia menarik sebelah alisnya yang seperti cicak menempel itu, seolah-olah menampilkan ekspresi kagetnya. "Apa kamu tidak bisa melihat jika di samping Manis sekarang ini ada pemuda yang sangat tampan rupawan ingin mengantarnya ke depan kelasnya?" kubilang.     

Dia tertawa, dan itu benar-benar menyebalkan. Pemuda kok tertawanya seperti togek kejepit pintu, yang berpadu dengan ndhak selaras dengan petir menggelegar disiang bolong. Andai ada anak kecil di sini, aku yakin, anak kecil itu langsung kena sawan karena mendengar rertawanya.     

"Oh, memangnya kamu ini siapa? Kamu bukan mahasiswa sini, kan? Ini adalah fakultas kedokteran. Sementara kamu hanya seorang... pengangguran," katanya.     

Wah... wah... wah, nantangi ribut pemuda ini, toh! Dia mengataiku apa, tadi? Pengangguran? Apa dia ndhak mikir bagaimana ada seorang pengangguran yang wajahnya sebagus (tampan) wajahku? Apa ada pengangguran yang pakaiannya semahal pakaianku? Kurasa pemuda ini bodohnya ndhak ketulungan, bagaimana bisa pemuda dungu seperti ini diterima di Fakultas Kedokteran, toh? Aku yakin, tes saja ndhak akan lulus, atau jangan-jangan dia nyogok!     

Manis tampak merengkuh lenganku, kemudian memicingkan matanya kepada pemuda ndhak tahu diri itu. Aku senang jika dia berbuat seperti ini, sebab aku merasa jika dia benar-benar menganggapku ini adalah miliknya.     

"Asal kamu tahu, dia ini adalah calon suamiku!" ketusnya. Sambil menarik tanganku untuk melangkah pergi.     

Aku tersenyum lebar, tatkala melihat wajah merah dari pemuda ndhak tahu diri itu. Kemudian kulambaikan tanganku kepadanya, seolah-olah tengah menertawakan kekalahannya. Rasakan! Dah, pecundang, sampai bertemu lagi! Kalau nanti aku bertemu denganmu, dengna senang hati akanku lecehkan harga dirimu sampai kamu bahkan ndhak berani memandang mata kakiku lagi.     

"Aku suka kamu seperti ini. Sering-sering, ya," bisikku kepada Manis, seraya menyyenggol bahunya dengan jahil.     

Dia langsung melotot, kemudian mencubit pinggangku gemas. Kemudian kurengkuh tubunya untuk segera masuk ke mana pun dia mau. Bahkan masuk ke dalam pelaminan saat ini pun, aku akan mau. Asalkan itu dengan Manis!     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.