JURAGAN ARJUNA

BAB 76



BAB 76

0Kuatur fokusku sebelum benar-benar mengetuk pintu kamar Puri, kulihat Manis memberiku seulas senyuman seolah dia ingin mengatakan jika ia benar-benar percaya denganku kali ini.     
0

"Biung, dan Romo, mana?" tanyaku lagi. Bulik Sari, dan Bulik Amah tampak melotot.     

"Mereka ikut dengan Junet menjemput orangtua Ndoro Puri. Biar bagaimana pun, ndhak elok rasanya kalau hanya Junet yang bertandang sendiri. Ndoro Puri adalah putri dari kawan baik Ndoro Larasati."     

"Pusing," ujarku, mengetuk pintu kamar Puri. Ndhak lama pintu itu pun terbuka, menampilkan sosok Puri yang tampak begitu rapuh. Matanya sembab, pipinya basah, pipinya tirus, ia memelukku dengan begitu erat sambil berteriak histeris. Sungguh sangat pilu melihat pemandangan seperti ini. Tapi mau bagaimana lagi, hati tetaplah hati. Hati memiliki nyawa sendiri untuk memilih siapa yang ingin dicintai. Aku ndhak bisa memaksakan cinta kepada siapa dia hendak bertahta, karena sejatinya yang diinginkan cinta adalah, bersatu dengan yang dicinta agar menjadi bahagia. Bukan memaksa lantas semuanya malah akan berakhir duka. Itu, bukanlah perkara yang dibenarkan oleh siapa pun.     

Kupaksa kedua tangan Puri melepaskan tangannya kepada tubuhku, aku pun bergegas duduk di salah satu kursi yang ada di sana. Puri bersimpuh di kakiku, memeluk kakiku dengan begitu erat. Gusti, kenapa harus seperti ini?     

"Kangmas, Kangmas datang karena ingin menikahiku, toh? Kangmas datang demi aku, toh?" tanyanya dengan histeris. Harapannya, terlalu tinggi untuk itu.     

Aku diam, rasanya mulutku benar-benar kelu. Aku ndhak tahu harus memulainya dari mana, untuk mengatakan kenyataan ini. Apakah dia ndhak apa-apa jika aku mengatakan yang sebenarnya? Sungguh, aku bukanlah Romo Nathan yang bisa tegas menghadapi perempuan. Melihat perempuan seperti ini karenaku membuatku ndhak tega. Benar mungkin ada darah Romo Adrian yang mengalir padaku.     

"Puri, dengan melakukan hal seperti ini, apa kamu ndhak rugi? Sebenarnya apa tujuanmu dengan berlaku seperti ini? Uang, atau kedudukan? Apakah begitu membanggakan jika bisa menikahi seorang Arjuna Hendarmoko, sampai kamu ndhak mempedulikan rasa malu, dan harga dirimu sebagai perempuan barang sebentar?"     

Puri tampak kaget, mata sembabnya memandang ke arahku tampak kebingungan, lalu dia memaksakan seulas senyum kaku. Senyum yang aku tahu untuk menutupi sebuah kebohongan.     

"Apa yang Kangmas katakan? Aku... aku melakukan ini semua karena aku telah jatuh hati denganmu. Aku melakukan sejauh ini karena aku ingin berada di sampingmu, Kangmas."     

"Jatuh hati kamu bilang?" aku tertawa sinis mendengar ucapan Puri seperti itu. "Sudalah, Puri, berhenti berlakon seperti ini. Aku sudah sangat lelah karena masalah percintaanku sendiri yang berlarut-larut baru saja menemukan jawabannya. Aku sudah ndhak mau lagi memikirkan hal-hal ndhak penting lainnya. Jadi kumohon, berhentilah menyiksa, dan mempermalukan dirimu sendiri."     

"Tapi—"     

"Bukanlah lebih baik kamu menemukan pemuda yang mencintaimu juga? Untuk ukuran perempuan sepertimu, kurasa bukanlah hal yang mudah untuk melakukannya,"     

"Kamu... kamu boleh mencobaku kalau ndhak percaya. Jika kamu puas denganku, maka menikahlah denganku. Aku jamin, aku jamin kamu ndhak akan pernah menyesal untuk itu."     

"Puri!" sentakku. Aku benar-benar ndhak habis pikir apa gerangan yang ada di otaknya. Apakah isi otaknya telah habis dimakan cacing tanah sehingga menjadi bangkai busuk semua?     

Terlebih, sudah berapa kali, toh, dia melakukan ini? Dulu, waktu pertama kali dia ke kediamanku, beberapa waktu yang lalu, kemudian sekarang? Apakah dia pikir, berhubungan badan bisa menjawab semuanya? Apakah cinta akan tumbuh hanya dengan mencicipi tubuhnya? Aku benar-benar ndhak habis pikir, dengan apa yang ada di otak Puri. Dia ini sebenarnya perempuan macam apa, toh? Hal ini yang ndhak malah membuatku iba kepadanya, malah-malah membuatku memandang rendah kepada dirinya.     

"Kangmas—"     

"Kamu hanya jatuh hati dengan kedudukanku, toh? Jika kamu benar-benar jatuh hati denganku, maka kamu ndhak mungkin berlaku buruk waktu pertama kali kita bertemu. Memangnya, perempuan mata duitan sepertimu aku ndhak akan tahu bagaimana tabiat aslimu?"     

Puri kembali diam, dia ndhak mengatakan apa pun lagi. Sepertinya dia telah hilang akal untuk membuatku luluh atau terjerat olehnya.     

"Sampai kapan pun aku akan tetap mencintai Manis. Sampai kapan pun tubuh perempuan yang akan kusentuh hanyalah tubuh Manis. Meski pun toh berkali-kali aku harus mengalami kesulitan, kesialan, aku akan tetap berjuang untuk mendapatkannya lagi, dan lagi. Sebab bagiku, duniaku adalah dia. Bukan yang lainnya. Dan aku ndhak akan bisa hidup tanpa Manis."     

Lagi Puri menangis, sepertinya dia teramat kecewa dengan apa yang telah kukatakan. Ndhak apa-apa. Lebih baik dia kecewa sekarang dari pada harus kecewa nanti. Lebih baik dia sakit sekarang dari pada harus sakit nanti.     

"Ndhak apa-apa jika kamu mau menikahi Manis. Tapi, bukankah seorang Juragan berhal memiliki istri lebih dari satu?" ucapnya masih bersikeras mencari celah. "Jadikan aku yang kedua, Kangmas. Aku rela."     

"Ndhak akan ada yang kedua, ketiga, dan seterusnya. Sebab Manis adalah satu-satunya...," aku berdiri, kemudian memunggunginya, melirik sekilas dia yang tampak menundukkan wajahnya. "Sebentar lagi orangtuamu akan datang, nanti aku akan bicara langsung dengan mereka. Berkemaslah, kemudian segera pergi dari tempat ini karena ini bukan rumahmu. Dan satu lagi, di mana pun kamu nanti, jangan lagi melakukan hal bodoh seperti ini hanya untuk mendapatkan perhatian laki-laki. Katakanlah kamu ndhak peduli jika dianggar rendah, seendhaknya kasihanilah dirimu sendiri. Ndhak pantas bagi seorang perempuan merendahkan diri hanya untuk mengemis cinta seorang laki-laki."     

Aku segera keluar dari kamar Puri, tampak Bulik Sari, Bulik Amah, dan Manis memandangku dengan penuh tanda tanya.     

Kuulaskan seutas senyum kepada mereka, sambil mengangkat kedua jempol tanganku kemudian aku berkata, "misi selesai,"     

Ketiganya tampak tersenyum, segera kuhampiri Manis dan memeluknya erat-erat. Mendapat perlakuan seperti itu, agaknya dia sungkan, dan berusaha melepaskan pelukanku namun segera kutahan.     

"Biarkan sebentar seperti ini. Aku lelah," kubilang.     

Ya, aku benar-benar sangat lelah dengan semua ini. Rasanya, aku ingin berhenti sejenak. Dan ndhak memikirkan apa pun. Rasanya, begitu terasa sesak untuk menyandang nama Hendarmoko. Seolah, aku menjadi pemuda jahat, yang menyakiti banyak perempuan. Gusti, andai bisa, aku ingin sekali lahir sekali lagi dan ingin menjadi pemuda biasa-biasa saja. Bukan terlahir dari keluarga Hendarmoko yang kaya raya. Agar aku bisa mendapatkan perempuan yang kucinta, ditambah pasti ndhak akan ada perempuan-perempuan yang akan menangis karenaku.     

Sorenya, orangtua Puri datang. Keduanya ndhak mengatakan apa pun yang buruk terhadapku tapi aku tahu betul, di mata mereka menyimpan banyak kepedihan. Mereka terluka, dan itu karenaku. Terlebih, aku telah membuat putri semata wayang mereka menjadi seperti ini. Setelah kucoba terangkan dengan berbincang bertiga dengan mereka, mereka tampak mulai paham, jika sejatinya cinta ndhak akan pernah bisa untuk dipaksakan.     

"Juragan, apakah Juragan ingin berbicara denganku?"     

Kutoleh asal suara, rupanya Suwoto sudah berada di sampingku. Tersenyum tipis sambil ikut menyaksikan kepergian Puri, dan orangtuanya.     

"Ya," kujawab. Berjalan mendahuluinya masuk ke dalam ruang kerjaku.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.