JURAGAN ARJUNA

BAB 83



BAB 83

0Pagi ini adalah hari ke dua di bulan Oktober. Musim ternikmat bagi para pekerja untuk mencari banyak upah dengan kerja kerasnya. Dan seperti halnya di pagi-pagi biasanya, Kemuning masih tetap sama. Dipenuhi dengan nuansa hijau, dengan beberapa perempuan yang sedang sibuk dengan caping dan tenggok mereka. Sementara bagi yang lainnya, sibuk menernak hewan-hewan mereka. Melewati jalanan yang terjal, naik-turun, dan berkelok. Endhaklah merasa jemu, jika di setiap kanan kiri yang mereka lihat hijaunya kebun teh, dan suasana yang cukup asri. Terlebih bunga-bunga liar yang tumbuh hampir di sepanjang perjalanan seolah menjadi keindahan tersendiri, penyempurna hijaunya hamparan kebun yang sangat luas. Aku yakin, siapa pun pasti akan menikmati tempat ini, siapa pun akan rindu ketika jauh dari tempat ini. Siapa pun, ya... termasuk aku.     
0

Untuk urusan memasak, ini adalah waktu yang cukup siang bagi warga kampung. Jadi, memasak pasti sudah mereka kerjakan tadi pagi-pagi sekali. Disiplin atas waktu, adalah hal berharga yang benar-benar harus ditiru oleh yang muda agar mereka memiliki jiwa pejuang seperti tedahulunya. Sebab bagi mereka, waktu adalah anugerah dari Gusti Pangeran yang harus digunakan dengan baik di setiap detiknya.     

"Bagaimana, toh, kenapa celengan jelek seperti ini harganya mahal sekali! Lima ratus rupiah, kalau ndhak mau aku ndhak jadi beli!" kudengar suara sayup-sayup di ujung jalan, tengah menawar dengan cara ndhak sabaran.     

Aku tersenyum melihat seorang Bulik tampak ngotot dengan sebuah celengan dari tanah liat berbentuk ayam-ayaman itu. Anaknya menangis, meminta celengan itu. Tapi emaknya bersikeras dengan sebuah jurus andalan, menawar dengan sangat ndhak wajar. Dan berakhir, Bulik itu dan penjual saling debat dan adu argumen. Benar-benar pemandangan pagi di Kemuning yang sangat menyenangkan. Sementara penduduk lewat yang lain, biasanya akan ikut berhenti, berkerumun. Ada yang mendukung penjual karena telah memberi harga yang pantas untuk celengan itu. Atau malah, ada di pihak Bulik itu karena merasa jika celengan dari tanah itu ndhak ada harganya. Tanpa mereka berpikir, bagaimana cara pengrajin membuat celengan itu, penuh usaha. Bagaimana mereka membuat setiap detilnya sehingga tampak sangat nyata. Namun mereka selalu memandangnya sebelah mata. Lantas apakah semua yang berasal dari tanah liat ndhak ada harganya?     

"Jadi, kenapa sepagi ini kamu tampak bahagia sekali, Arjuna?"     

Aku menoleh, Biung sudah menggandeng tanganku dan mengajakku untuk melangkah keluar rumah. Sekadar jalan-jalan, mengusir penat yang kian merapat. Biung memang sudah cukup tua, sekarang. Meski paras ayunya seolah ndhak akan pernah pudar, bagaimana pun usia ndhak bisa ditipu dengan begitu nyata. Namun begitu sosoknya sangat memesona, sosoknya selalu membuat siapa saja yang memandang akan terkagum-kagum karenanya.     

"Aku membayangkan, bagaimana jika Bulik tadi adalah Biung. Pasti tampak sangat lucu, tatkala Biung marah-marah menawar sebuah barang, karena enggan melepaskan uang barang serupiah pun," kubilang. "Apalagi, Biung menawar itu karena ingin membelikanku atau Rianti celengan dari tanah liat itu."     

"Tapi, bagaimana lagi, toh. Semua perempuan memiliki fitrah yang sama. Sebisa mungkin mendapatkan barang bagus, dengan harga yang minim. Lebih-lebih tatkala mereka sedang ndhak memiliki cukup uang. Jika meminta bukanlah perkara memalukan, pasti mereka akan melakukannya."     

Lagi aku kembali tersenyum mendengar jawaban Biung. Memang benar, kami memiliki sudut pandang yang berbeda. Mungkin karena aku laki-laki, jadi aku ndhak bisa mengerti pola pikir perempuan. Dan terlebih, menurut kepercayaan orang Jawa, seorang perempuan terlebih Ibu rumah tangga itu adalah daringan (tempat beras terbuat dari tanah liat) bagi keluarganya. Boros, dan iritnya pengeluaran sebuah keluarga, jadi sesuatu apa endhaknya penghasilan suami, itu semua tergantung dari sebagai mana seorang istri pandai dalam mengelola keuangan keluarga. Padahal aku pikir, jika sebuah keluarga ndhak mampu membeli apa-apa, jika sebuah keluarga masih merasa kekurangan, bukan menjadi patokan jika istri yang harus disalahkan. Bisa jadi jika penghasilan suaminya ndhak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga, bisa jadi karena ada hal lain yang memang memaksa untuk melakukan pengeluaran yang besar. Jadi kurasa, pendapat itu sangat keliru. Jika aku salah, maaf, ini hanya pendapatku saja sebagai seorang laki-laki, sebagai calon kepala rumah tangga. Sebab menurutku, tercukupinya kebutuhan keluarga sepenuhnya adalah tanggung jawab suami. Itu saja, ndhak lebih.     

"Namun begitu, Biung. Membuat sebuah celengan dari tanah liat dengan bentuk sebagus itu bukankah perkara yang mudah. Jika seribu rupiah bisa membayar jasa, dan jerih payah untuk membuatnya, bukankah itu masih terlalu murah?" kubilang. "Lima ratus bahagia, Biung. Itu benar-benar ndhak ada harganya sekarang, terlebih untuk sebuah celengan dari tanah liat seperti itu."     

Biung kembali tersenyum, kemudian dia membingkai wajahku dengan kedua tangannya. Pandangannya yang teduh itu, tampak semakin teduh dan menenangkan.     

"Kamu benar, dari sudut pandang seorang pedagang kamu memang benar, Nak. Akan tetapi, Biung pun ndhak salah...," katanya. Aku mengangguk, sebab benar kata Biung, dari sudut pandang mana pun, ndhak ada yang patut disalahkan untuk itu. "Omong-omong, Ningrum sebentar lagi telah dewasa, dia akan menginjak bangku sekolah menengah pertama. Apa rencanamu setelah ini?" tanyanya kemudian.     

Omong-omong tentang anakku satu itu, aku sangat bangga kepadanya. Selalu mendapat peringkat pertama tatkala di sekolah, dan dia tipikal gadis yang ndhak neko-neko. Cita-citanya cukup mulia, yaitu untuk menyenangkan dan berbakti kepada romonya. Sungguh aku terharu, dan berharap jika saat besar nanti dia menemukan dambaan hati yang sangat mencintainya.     

"Aku ingin menyekolahkannya yang tinggi, Biung. Aku ingin membuatnya menjadi perempuan terhormat, dan dihormati. Sampai ndhak ada satu manusia pun di bumi ini yang berani menghinanya," kubilang. "Berkaca kepada perempuan-perempuan hebat yang ada di sekitarku, aku ingin Ningrum tumbuh besar menjadi sosok yang ndhak hanya ayu (cantik), tapi juga berpendidikan tinggi, sosok kuat, yang hebat, layaknya seorang Srikandi. Ningrum akan menjadi putri kebanggaanku, Biung. Dia akan menjadi seorang Srikandi untuk romonya."     

Lagi Biung tersenyum, kemudian berjalan ke arah bagian sisi kanan pelataran rumah, sambil memetik beberapa bunga melati yang tengah mekar. Aromanya yang wangi, semerbak menyelimuti panca inderaku dengan begitu nyata. Diselipkan beberapa pucuk bunga melati itu di celah-celah sanggulnya, membuat sanggul Biung tampak lebih indah dan manis dengan aksen putih dari bunga melati di sana. Terlebih aromanya, melebihi wanginya parfum dari tubuh Biung sendiri.     

"Kalau kamu sudah memiliki rencana sebagus itu untuk Ningrum, lantas kapan kamu memiliki rencana untuk dirimu sendiri, Arjuna?" tanya Biung yang berhasil membuatku tersadar dari lamunanku.     

"Maksud, Biung?" kutanya. Rencana untuk diriku sendiri? Apa? Aku bahkan ndhak paham dengan pertanyaan Biung itu.     

Apakah pertanyaan Biung ini, ada hubungannya dengan masalah hubunganku dengan Manis, toh? Jika iya maka mungkin akan panjang lagi cerita pembahasannya nanti. Duh Gusti, Manis... kukira setelah semua itu, kita akan langsung bersatu. Tapi nyatanya, hanya sekadar bersatu saja, ndhak semudah membalikkan telapak tangan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.