JURAGAN ARJUNA

BAB 85



BAB 85

0Aku diam, benar-benar merasa bersalah karena telah menghakimi Biung, juga Romo Adrian. Seharusnya aku ndhak menjadi egois, dan menjadi pembela antara salah satu dari ketiganya. Sebab ketiganya memiliki cintanya masing-masing, pada masa, dan sesuai dengan porsinya masing-masing. Biung, betapa beruntungnya dirimu, bisa menemukan dua cinta yang begitu indah. Bisa memiliki dua cinta yang begitu tulus terhadapmu. Pasti Biung dulu adalah seorang yang sangat baik, dan berjasa. Itu sebabnya di kehidupan sekarang Biung diberikan banyak cinta, dan kebahagiaan dari banyak orang.     
0

"Di mata Biung, Romomu Adrian adalah laki-laki sempurna yang ndhak akan pernah digantikan dengan siapa pun itu," kata Biung dengan bijaksana.     

"Maaf...," kataku pada akhirnya. "Aku benar-benar ndhak tahu jika cinta Biung kepada Romo Adrian bisa sedahsyat itu. Aku kira, jika saja dulu Biung tahu kalau Romo Nathan telah melihat Biung maka mungkin akan berubah. Biung mungkin ndhak jadi bersama dengan Romo Adrian, dan memutuskan langsung jatuh hati kepada Romo Nathan. Terlebih jika mengingat wajah Romo Nathan, dan Romo Adrian mirip, sementara Romo Adrian usianya jauh di atas Biung."     

"Ada kalanya bagi seorang perempuan memiliki dua cinta pada dua masa yang berbeda, Arjuna. Cinta pada pandangan pertama, dan cinta karena terbiasa bersama. Dan tentu, keduanya memiliki takaran, dan tempat yang berbeda pula. Ndhak bisa dibandingkan, juga dipertaruhkan. Karena sejatinya rasa cinta bukanlah ajang siapa yang lebih berharga, melainkan bagaimana kita mampu untuk menjaga, dan merawatnya."     

Lagi, Biung tampak terdiam beberapa saat. Seolah mengingat kenangan yang lalu. Ini semua salahku, rupanya aku telah mengungkit, hal yang seharusnya ndhak pernah kuungkit.     

"Romomu Nathan adalah pecinta yang ulung. Dia selalu bersama Biung saat dulu Biung hancur. Dia dengan telaten merawat Biung saat dulu Biung gila. Dan yang lebih penting dari itu adalah, dia tetap setia menjaga raga dan hatinya meski dulu Biung belum mencintainya. Lantas, bagaimana bisa Biung ndhak bangga telah jatuh hati, dan cintai oleh laki-laki seperti Romomu Nathan?"     

"Ndhak usah membicarakan tentang kebagusanku. Kebagusanku itu ndhak akan luntur dimakan waktu," Romo Nathan datang, dengan segala kepercayaan dirinya. Duduk di samping Biung, kemudian memeluknya dengan begitu mesra.     

Ndhak hanya sekali kedua orangtua ini saling menceritakan kehebatan-kehebatan satu sama lain, bagaimana mereka jatuh hati dulu, dan bagaimana beruntungnya mereka telah memiliki satu sama lain. Terlebih, melihat kemesraan mereka seperti ini, di usia hampir senja mereka. Rasanya, sebagai anak muda aku benar-benar iri. Ingin benar aku bisa merasakan juga cinta yang seperti itu. Namun kurasa aku harus belajar seribu tahun lagi untuk bisa mendapatkan yang sama.     

*****     

"Hey, Juragan!"     

Aku menoleh mendengar sumber suara, seorang laki-laki tua tampak melambaikan tangannya padaku. Wajahnya yang bercampur peluh itu tampak sumringah, dia duduk di tepi kebunnya     

"Sedang panen, Mbah?" tanyaku. Ikut duduk di sampingnya sambil melihat beberapa buah keranjang yang di dalamnya berisi mentimun, dan wortel.     

Simbah itu mengangguk, sambil menyesap kopi hitamnya. Sesekali matanya menyipit, kemudian lengannya mengusap peluh yang tertus bercucuran dari keningnya.     

"Panen, Juragan. Meski kemarin sempat ada hama, tapi syukur, panennya lumayan. Nanti, yang sekeranjang itu untuk Ndoro Larasati. Biar bisa dimasak, dijadikan acar," dia bilang.     

"Walah, dapat rejeki, ini. Terimakasih, lho, Mbah,"     

Simbah itu kembali tertawa, kemudian menepuk-nepuk bahuku. Kusuruh Paklik Junet untuk membawa keranjang itu dan membawanya pulang lebih dulu.     

"Untung berapa, Mbah, untuk panen kali ini?" tanyaku. Sebab yang kulihat kebunnya ndhak terlalu luas, dan mendapatkan hanya beberapa keranjang seperti ini pastilah uangnya ndhak begitu banyak.     

"Ya, syukur, Juragan, seendhaknya bisa digunakan untuk makan. Ya beginilah seorang petani. Bertani itu sama seperti sebuah pertaruhan...," katanya kepadaku. "Kita mempertaruhkan semua modal kita untuk bertani. Kemudian kita mnenyerahkan hasilnya kepada Gusti Pangeran, kalau tani kita gagal, maka hilanglah semua modal yang telah kita pertaruhkan. Tapi, kalau tani kita berhasil kita mendapatkan untung berkali-kali lipat. Bukankah seperti itu rumusnya, Juragan?"     

"Benar sekali, Mbah. Kurasa Simbah ini telah sangat lama bertani, dan berkebun, toh,"     

"Lha, tentunya. Nenek moyangku adalah petani, Juragan."     

"Sama, Mbah," kubilang.     

Kami pun tertawa, setelah itu Simbah memberiku secangkir kopi. Yang sebelumnya cangkir itu dibersihkan entah berapa kali. Aku sungguh merasa tersanjung untuk itu.     

"Mbah, bagaimana jika hasil kebunmu ini dijual kepadaku? Aku akan membayarnya dengan harga yang pantas," kataku memberi ide. Simbah itu tampak kaget, tapi kemudian dia kembali tertawa karena ucapanku.     

"Lantas, mentimun, dan wortel sebanyak itu mau Juragan apakan nanti di rumah? Jangan hanya bermodal kasihan, lantas Juragan berlaku seperti ini. Aku ndhak suka, jika diremehkan seperti ini, lho."     

"Endhak, endhak...," kataku menerangkan, sebab memang benar ndhak ada niat sama sekali untuk meremehkannya. Yang ada adalah, aku benar-benar ingin membantunya. "Aku akan membeli mentimun, dan wortel-wortelmu ini dengan harga pantas. Kemudian, aku akan menjualnya kembali ke kota. Simbah tahu, pasar di kota memberikan harga cukup tinggi untuk sayur-sayuran segar seperti punya Simbah. Jadi, aku dapat untung, Simbah juga dapat untung, toh?"     

"Benar seperti itu, Juragan? Kamu ndhak membodohiku, toh?"     

"Limaratusrius ndhak bohong, Mbah."     

Senyum itu kembali mengembang di wajah tua Simbah. Kemudian, dia tampak mengangguk-anggukkan kepalanya.     

"Ya sudah, Juragan beli semuanya. Berikanlah harga yang pantas. Ndhak kurang, ndhak lebih. Itu sudah cukup untuk laki-laki tua sepertiku ini,"     

"Siap. Nanti akan kusuruh Paklik Sobirin memberikan uang beserta mengambil keranjang-keranjang ini. Jika Simbah sudah hilang lelahnya, Simbah boleh bali ke rumah. Aku pamit dulu, Mbah. Terimakasih telah memeberiku sekeranjang mentimun, dan wortelnya."     

Setelah berbasa-basi sebentar, aku pun undur diri. Sambil menaiki ontel Paklik Junet yang ditinggal tadi. Menanggapi sapaan demi sapaan warga kampung, yang rupanya benar, jika enam bulan ini telah menghapus pandangan buruk mereka terhadapku.     

"Lihat, lihat! Bu Dokter Manis sudah bali dari Jakarta! Hayow yang sakit kita periksa ke Bu Dokter biar diberi obat!"     

Seruan salah satu warga kampung itu, seolah menghantam jantungku. Mendengar nama Manis disebut, seolah telah membekukan hatiku. Manis... dia telah kembali.     

Seketika tubuhku terasa kaku, mendengar nama itu seperti mendengar sebuah mantra ajaib yang bahkan mampu membuatku merinding. Pelan aku memutar tubuhku, memandang kerumunan warga Kampung pada satu titik itu.     

Kulihat dari ujung mataku gerombolan Bulik-Bulik kampung, mengerumuni seorang perempuan muda dengan penampilan bergayanya. Rambutnya yang panjang kini dikuncir kuda, wajahnya yang manis kini dipoles dengan begitu nyata, serta penampilannya... benar-benar seperti anak-anak kota. Matanya menangkapku yang berjalan melewatinya, kemudian tampak menyipit, senyuman indah itu ia tampilkan untukku dengan begitu nyata. Kemudian mulutnya mengeluarkan kata rindu tanpa bersuara. Aku rindu kamu, itu kira-kira yang dikatakan oleh mulutnya tanpa bersuara. Sejenak senyumku merekah melihat dia mengatakan itu dengan isyarat, kemudian kubuka tanganku lebar-lebar kepadanya, kemudian aku pun berkata kepadanya, "ya, aku rindu kamu juga."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.