JURAGAN ARJUNA

BAB 86



BAB 86

0"Jadi, kira-kira aku ini sakit apa, toh, Manis?"     
0

Langkahku kembali terhenti, saat mendengar nama Manis disebut. Dan rupanya benar, di ruang tengah, sudah ada kerumunan abdi dalem, yang tengah sibuk mengantree untuk mendapatkan pemeriksaan dari Manis. Mereka tampak sangat antusias, lihat saja, bahkan beberapa pekerjaan mereka langsung ditinggal begitu saja.     

"Haduh, Bulik-Bulik, aku ini belum menjadi Dokter, lho. Bahkan kuliah saja, baru satu semester. Kok ya ditanyain penyakit ini bagaimana, toh. Nanti kalau aku salah diagnosa, aku kalian marahin lagi."     

"Sudahlah, Manis. Kamu ini calon Dokter, perkara penyakit, pastilah kamu lebih paham dari pada kami. Iya, toh?"     

Manis tampak menghela napas, tapi senyuman manisnya itu masih tertata rapi di kedua sudut bibirnya.     

"Ya sudah, tak kasih vitamin saja, ya? Kalian minum ini dijamin penyakit-penyakit kabur semua," katanya kemudian. Sudah seperti seorang dokter sungguhan saja, toh, calon istriku ini. Memberi petuah-petuah kepada para warga kampung dengan sangat sabar, dan telaten. Juga memeriksa mereka satu persatu. Andai kalau aku, pasti sudah kumarahi semua, karena telah menganggu. Terlebih, mengangguku untuk melepas rindu dengan pujaan hatiku.     

Semua orang langsung mengangguk semangat, kemudian Manis membagikan beberapa kaplet vitamin kepada mereka. Setelah mereka mendapatkannya, mereka langsung berpamitan dan kembali pada pekerjaan mereka masing-masing.     

"Jadi, bagaimana dengan obatku?" kubilang, setelah kupastikan tempat ini sepi. Hanya aku berdua dengan Manis, yang kebetulan aku sudah berada di belakangnya, sementara wajahku menyamai wajahnya.     

Manis memekik, dia menoleh ke samping kanan, dan nyaris mencium pipiku. Dan itu terasa begitu menyenangkan. Rasanya ingin sedikit kutekan kepalanya, agar bibir ranum itu bisa benar-benar mencium pipiku. Agar aku bisa memiringkan wajahku, kemudian kubalas ciumannya dengan ciumanku yang ndhak kalah manisnya dengan wajahnya.     

"Memangnya kamu menderita sakit apa? Kukira kamu baik-baik saja di sini," katanya, jelas benar kalau sedang menyindirku. Sebab selama satu semester kuliahnya, aku ndhak menjenguknya sama sekali. Sepertinya dia sedang nesu (marah), toh. Ya sudah, kugoda sedikit dia agar nesunya lekas hilang. Menimang-nimang dia seperti seorang anak perempuan sepertinya sangat menyenangkan.     

"Aku sedang sakit rindu, sudah kuobati ke mana pun tapi ndhak ada obat yang mampu menyembuhkannya. Lalu, aku harus bagaimana?" kutanya, sembari menggodanya. Dia tampak berpikir keras. Entahlah, mimik wajahnya yang tadi kesal tampaknya telah menghilang, setelah mendengar ucapanku itu. Sepertinya, dia sudah ndhak marah lagi denganku. Iya, aku yakin itu,     

"Kukira kamu ndhak rindu, obatnya ada di Jakarta kamu ndhak mendatanginya," sindirnya lagi. Lihatlah wajahnya yang cemberut itu, benar-benar tampak lucu. Dan rupanya, dia masih benar-benar marah. Sebentar, aku harus berpikir keras untuk mencari ide yang lebih brilian, agar dia bisa percaya dan luluh dengan rayuan mautku.     

"Aku sibuk, Sayang...," kubilang, setelah mencium pipinya. "Banyak hal terjadi di sini, dan aku harus mengurusi semuanya. Calon suamimu ini, kan, calon Juragan Besar. Jadi, tugas yang diemban juga sangat besar,"     

"Iya, iya aku ngerti, Bawel," katanya, sambil mencubit hidungku kuat-kuat.     

"Bagaimana kalau sebagai gantinya besok kita pacaran?"     

"Pacaran? Di mana? Ndhak minta kelon, toh?" selidiknya, yang berhasil membuatku tersedak mendadak. Bahas apa dia ini, kenapa sampai sejauh itu? Apa dia pikir, saat aku ingin pacaran dengannya, pasti minta jatah seperti itu? Apa dia pikir aku ini pemuda yang semesum itu? Gusti!     

"Ya endhak, toh, pacaran... pacaran saja," kubilang untuk meyakinkannya. Dia tampak mengangguk-angguk.     

"Ya sudah, sebelum fajar kutunggu kamu di kebun teh dekat dengan gubug yang ndhak jauh dari rumah Simbah Romelah, bagaimana?" katanya memberi ide.     

"Kenapa sebelum fajar?" tanyaku penasaran. Tapi dia malah mencubit pipiku, beranjak dari tempatnya dengan herlingan nakal. Dasar, sudah pandai rupanya dia menggodaku sekarang.     

*****     

Kupeluk tubuhku sambil terus melangkahkan kakiku di antara perkebunan teh yang membentang. Aku benar-benar ndhak paham, bagaimana bisa Manis mengajak bertemu di waktu seperti ini? Bukankah lebih bagus kalau malam, atau siang saja, toh? Udaranya sangat dingin, benar-benar dingin.     

"Manis...," gumamku. Melihat sosok Manis yang tengah memunggungiku, mengenakan rok selutut berwarna abu-abu. Untuk dia ndhak mengenakan rok putih panjang, dan menggerai rambutnya yang hitam itu. Kalau sampai dia melakukan itu, pasti aku akan lari terbirit-birit. Karena kukira dia bukan manusia, tapi lelembut.     

"Manis!" panggilku padanya, dia pun membalikkan badannya. Tapi, melarangku untuk mendekat.     

Dia lantas mengambil suatu kotak yang dibungkus kain hitam, kemudian membuka kotaknya. Di sana ada toples, dan penuh dengan kunang-kunang. Dari mana dia mendapatkan kunang-kunang sebanyak itu?     

Dengan senyuman lebarnya, Manis melepas kunang-kunang itu. Sehingga mereka berterbangan di antara kami. Melihat Manis di antara kunang-kunang itu, benar-benar seperti melihat bidadari yang turun dari langit. Cantik... benar-benar sangat cantik.     

Aku pun mendekat ke arahnya, memandangnya dengan seksama sampai aku puas. Manis, tampak kembali tersenyum, kemudian dia menggenggam kedua tanganku erat-erat.     

"Seribu kunang-kunang. Katanya, barang siapa yang bisa menangkap seribu kunang-kunang, dan menerbangkannya bersama seseorang yang kita sayang, maka satu permintaan akan dikabulkan," dia bilang.     

"Lantas, permintaan apa yang ingin terkabul sampai kamu susah payah mengumpulkan seribu kunang-kunang, Sayang? Itu bukanlah jumlah sedikit, dan hampir mustahil,"     

Lagi Manis kembali tersenyum, kemudian dia mencium tanganku. Aku sama sekali ndhak pernah merasa tersanjung seperti ini. Manis benar-benar memperlakukanku dengan sangat manis.     

"Arjuna, bukankah kamu merasa jika hubungan ini terjalin sudah terlalu lama? Bahkan, kita telah melewati banyak masalah berdua. Lalu, apa yang kita tunggu setelah ini? Aku sudah cukup dewasa untuk memulai sebuah pernikahan."     

"Lalu?" tanyaku. Penasaran dengan apa yang hendak ia sampaikan.     

"Lalu...," katanya, sejenak dia terdiam sambil memandang wajahku dengan malu-malu. "Lalu, maukah kamu menikah denganku?"     

Mataku melebar mendengar ucapan Manis seperti itu. Bagaimana bisa Manis melamarku? Bukankah seharusnya, aku yang melamarnya terlebih dulu? Duh Gusti, bodoh benar aku ini yang ndhak peka dengan keinginan seorang perempuan. Sampai Manis memiliki inisiatif duluan.     

Kupeluk tubuh Manis erat-erat, kemudian kukecup keningnya dengan sayang. Rasanya benar-benar sangat nyaman bisa bersamanya seperti ini, seolah dunia hanyalah milik kami.     

"Tentu, aku akan menikahimu. Dan aku sudah merencanakan sebelum kamu kembali ke Jakarta, kita sudah dalam hubungan pernikahan."     

"Apa?!" tanyanya kaget. Aku tersenyum melihat ekspresinya itu. "Aku bali ke Jakarta seminggu lagi, lho. Jangan bercanda," katanya.     

"Maka, kurang seminggu lagi kita akan menikah."     

"Tapi—"     

Ucapan Manis terhenti, saat kukecup bibir lembutnya. Dan membiarkan rasa rinduku mengalir di dalamnya. Manis, tahukah kamu, sebenarnya telah lama aku menginginkan kamu untuk selamanya berada di sisiku, dalam sebuah ikatan pernikahan yang tampaknya telah lama kamu tunggu-tunggu. Hanya menunggu waktu, dan akan kutepati semua janjiku kepadamu. Ya... semua janji-janjiku.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.