JURAGAN ARJUNA

BAB 90



BAB 90

0Pagi ini agaknya hujan rintik-rintik. Sehingga meninggalkan sebuah jejak kaki bagi setiap tamu yang hadir dalam acara pernikahan kami. Tanah andosol tampaknya enggan pergi dari karpet berwarna merah ini, selain menunjukkan kuasanya, bahwa ia juga ingin menjadi saksi jika hari ini aku akan bahagia. Memulai langkah baru dengan status baru sebagai seorang suami dari seseorang, yang akan mengemban tanggung jawab, dan amanah yang ndhaklah ringan. Amanah yang ndhak hanya diberikan oleh orangtuaku, diberikan olehnya, atau orangtuanya. Akan tetapi, amanah baru ini diberikan oleh Gusti Pangeran kepadaku. Dan di atas semua hal yang saat ini membuat jantungku kembang-kempis adalah, semoga semuanya dilancarkan, aku dan dia benar-benar bisa bersatu selamanya. Saling mengukir rasa suka-cita, dan perlahan menghapus semua rasa sedih yang dulu selalu terukir pada wajah ayunya (cantik). Aku ingin membuat kenangan-kenangan indah bersamanya, meski setapak demi setapak, meski setetes demi setetes aku percaya, jika kebahagiaan yang akan kuberikan akan mampu membuatnya ndhak akan memikirkan semua derita yang dulu pernah dirasa. Manis... perempuan yang kini sudah duduk di sampingku dengan malu-malu, perempuan yang kini tampak sangat cantik melebihi bidadari-bidadari di surga loka benar-benar akan menjadi istriku selamanya. Sungguh, aku benar-benar ndhak menyangka, jika hari yang sangat membahagiakan ini benar-benar akan terjadi di dalam hidupku. Jika aku telah sah menjadi suami dari Manis. Ehm, sepertinya akan banyak hal yang akan terjadi setelah ini, setelah Manis dan aku melangkah pergi dari ruangan ini.     
0

Aku tersenyum, sambil menundukkan pandanganku. Entah bagaimana, rasa haru dan bahagia bercampur menjadi satu. Ndhak pernah terpikirkan olehku sedari dulu, jika aku akan benar-benar berada di jenjang seperti ini. Melakukan sebuah ikatan pernikahan, atau malah yang ndhak terpikirkan olehku adalah, Manis... dia adalah yang menjadi istriku.     

Aku sangat ingat waktu dulu, tatkala pertama kali aku bertemu dengannya. Seorang gadis kecil yang cantik, yang mampu membuatku tersipu meski sekadar melihatnya. Gadis yang membuatku mengaburkan perasaanku, sehingga mudah berbelok ke tempat-tempat lain yang ndhak semestinya, hingga akhirnya aku sendiri tahu perasaan apa yang kurasa untuknya yang sebenarnya. Sungguh, aku ini menjadi manusia benar-benar yang sangat bodoh! Bagaimana bisa aku ndhak peka kepada diriku sendiri? Bagaimana bisa aku ndhak menyadari, jika rasa yang kurasakan kepada Manis adalah cinta. Andai aku tahu, andai aku ndhak menjadi pemuda yang bodoh, semua sakit ndhak akan terlalu lama kami alami. Pasti, hari indah ini telah kami lewati beberapa waktu yang lalu. Jauh... jauh tanpa perlu ada pertumpahan darah. Jauh... jauh, atau bahkan mungkin Simbah Manis juga bisa menyaksikan tatkala cucunya kupinang dengan cara seperti ini.     

Gusti... kenapa hatiku terasa perih, tatkala mengingat Simbah Manis. Rasanya benar-benar sesak dan ngilu bercampur jadi satu. Jujur, meski Simbah Manis bersikap ketus, dan jahat kepadaku. Tapi biar bagaimanapun, Simbah Manis adalah satu-satunya keluarga yang punya, dan aku pun berharap jika di hari bahagia ini, Manis bisa membaginya dengan keluarganya. Gusti, apakah aku berdosa jika telah melenyapkan nyawa simbahnya? Jika iya, maka apa yang harus kulakukan untuk peleburan dosa.     

Manis, aku sangat mencintaimu. Jatuh hati padamu bahkan sampai ribuan tahun kemudian. Mulai sekarang aku akan terus menggenggam tanganmu, ndhak akan pernah kulepaskan. Dan semoga rasa cintaku ini akan terus memberimu rasa bahagia, tanpa ada sedikit pun rasa derita. Jika nanti aku telah kalah dengan egoku, ingatkanlah aku dengan cintamu, agar aku bisa kembali ke jalanku. Manis, aku ndhak ingin kamu sedih, aku ndhak mau kamu menangis. Akan kujaga kebahagiaanmu, akan kujaga senyummu. Agar ndhak ada satu orang pun termasuk aku, yang bisa mengecewakanmu. Terlebih, sampai membuatmu menangis.     

"Nah, sekarang kalian sudah sah menjadi suami—istri, dan mulai sekarang kalian ndhak boleh hanya memikirkan ego kalian seorang diri saja. Rumah tangga itu milik berdua, jadi kalian harus bisa menjadi tim yang solid untuk menyelesaikan semua masalah yang nanti akan rumah tangga kalian hadapi nantinya. Paham?" kata Romo membuyarkan lamunanku.     

Aku langsung terkesiap, memandang Romo kemudian tersenyum kaku. Duh Gusti, bagaimana bisa di saat yang seperti ini aku bisa-bisanya memikirkan begitu banyak hal. Dan lebih parahnya lagi, hal-hal itu adalah, ndhak hanya hal-hal bahagia. Akan tetapi, hal-hal buruk juga. Seharusnya aku ndhak boleh memikirkan masalah-masalah seperti itu. Karena memikirkan hal buruk di hari bahagia adalah pantangan. Ndhak ilok, ndhak baik kalau kata orang-orang.     

Saat ini Romo berada di depanku, setelah aku sungkemi bersama dengan Biung. Sementara Manis masih tampak malu-malu, mengangguk lemah dalam pelukan biungku. Biung, kutatap wajah ayunya, dia tampak menitikan air mata bahagia. Entah sedari kapan ia telah memimpikan ini, ketika putranya memiliki seorang istri. Biung, maafkan aku, aku berjanji kepadamu untuk menjaga kebahagiaanmu itu. Dan aku berjanji, ndhak akan pernah membuatmu, Romo Nathan, serta Romo Adrian kecewa.     

"Jaga Manis baik-baik, ya, Arjuna. Sejatinya semua perempuan selalu mendambakan sosok pendamping yang menyayanginya, mencintainya sepenuh hati, dan mampu melakukan apa pun untuk istrinya. Jangan pernah menduakannya, jangan pernah kasar kepadanya, jangan pernah membuatnya kecewa, dan jangan pernah merampas kebahagiaannya. Biar bagaimanapun, orangtuanya mempertaruhkan nyawa untuk kebahagiaan Manis. Kamu, jangan mengecewakan Biung, juga Romo," kata Biung menasehatiku.     

Hatiku terasa menghangat tatkala Biung mengatakan hal itu. Pasti, pasti aku akan membahagiakan Manis. Aku ndhak bisa mengatakan ini langsung kepada orangtuanya karena telah tiada. Namun kemarin, aku sempatkan diri untuk sekadar berkunjung ke pusara orangtua Manis. Dan di sana, aku berjanji. Terlebih kepada Emak Manis, jika aku akan selalu melindungi, dan ndhak akan pernah menyakitinya. Sebab bagaimana pun, Manis adalah anak dari seseorang. Anak dari orangtua yang sayang dengannya. Terlebih, anak yang telah dikandung oleh seorang Emak selama sembilan bulan, melahirkan Manis mempertaruhkan nyawa, mengurusnya sampai dewasa juga bukanlah perkara yang main-main. Jadi, mana mungkin Manis yang seberharga itu oleh orangtuanya akan aku sia-siakan begitu saja.     

"Iya, Biung. Aku ndhak akan mengecewakan Biung. Aku memiliki dua Romo yang sangat hebat dalam menjaga istrinya. Jadi, mana mungkin aku akan menyakiti istriku. Iya, toh?" jawabku sambil tersenyum. Lagi kulihat mata Biung semakin berkaca-kaca, ia tersenyum kemudian dipeluk Romo dengan begitu mesra. Sungguh, bagaimana aku bisa ndhak iri melihat dua pasang sejoli ini, menua dengan penuh cinta. Menua dengan romansa yang begitu membara, yang bahkan mengalahkan pemuda—pemudi yang sedang jatuh hati.     

"Percaya pada putramu, dia bukan anak kecil lagi," ucap Romo, sembari menepuk bahu Biung dengan begitu lembut, kemudian Romo tersenyum simpul ke arahku. Seolah, jika benar ia mempercayakan semuanya untukku. Tanggung jawabku mengemban amanah baru, dan semuanya.     

"Jangan kecantol istri orang lagi. Kalau sampai berani ndhak akan tak ampuni!" kini Rianti menyindirku, sambil menyentil keningku. Duh Gusti, adik perempuanku yang satu ini. kenapa dia harus merusak kebahagiaanku, toh? Aku sedang mengharu biru dengan Romo, dan Biung. Merayakan kebahagiaan yang ndhak terperi ini. Tapi, bagaimana bisa ada curut jelek ini tiba-tiba datang dengan ucapan yang ndhak mengenakkan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.