JURAGAN ARJUNA

BAB 91



BAB 91

0Dasar adik perempuanku satu ini, bagaimana bisa mengungkit masalah itu di hari bahagiaku. Bagaimana jika nanti Manis marah? Bisa-bisa malam pertamaku yang indah, aku ndhak dapat jatah! Duh Gusti, benar-benar bisa-bisa karatan nanti pusaka paling berhargaku ini. Sudah berapa lama aku ndhak mengasah pusakaku. Dan ini, nyaris saja dirusak oleh perempuan cerewet bernama Rianti. Aku doakan, dia ketemu pemuda yang menyebalkan. Biar kapok dia!     
0

"Dia sahabatku, dia sudah kuanggap saudraku. Menyakitinya sama halnya dengan menyakitiku. Paham?" tantangnya kemudian. Tanpa dia berkata seperti itu pun aku paham. Lagian, laki-laki mana toh yang punya cita-cita menyakiti istri yang ia cinta? Dasar Rianti ini!     

"Memangnya aku ini ndhak saudaramu?" emosiku. Tapi, melototnya lebih mengerikan dari pelototanku. Matanya saja selebar cobek, pantaslah mataku yang ndhak bisa melek ini kalah kalau urusan saling melotot sama dia.     

"Tapi dia lebih berharga dari pada Kangmas!"     

"Duh Gusti, ada adik perempuan seperti dia. Kalau bisa tak jual di pasar rebo, kamu. Biar tak rongsokan, sama radio bekas Romo Nathan!"     

Pasar rebo itu, ada di perempatan jalan masuk Kecamatan Ngargoyoso, pasar itu terkenal dengan pasar untuk jual-beli barang bekas. Biarkan jika mungkin kalau Rianti ndhak terima. Memangnya, siapa yang akan peduli dengannya? Toh pasti, Romo dan Biung akan membelaku. Bukan membelanya.     

"Sudah, sudah... apa-apaan, toh, kalian ini. Ada tamu banyak ini, lho...," kata Biung memeringati. "Kamu juga, Ndhuk. Ndhak boleh seperti itu kepada Kangmasmu. Seharusnya di hari bahagianya ini berdoanya yang baik-baik, memberi selamat. Bukan malah seperti itu. Kamu tahu, pantangan bagi seseorang yang mendoakan keburukan, di hari kebahagiaan orang lain. Itu sama halnya dengan kutukan. Katanya, Manis berharga, toh? Jadi, kalau dia berharga, kok tega kamu mengutuk kawan berhargamu itu dengan kutukan buruk yang seperti itu?"     

"Iya, ini... kamu itu anak Romo apa bukan, toh. Jangan-jangan kamu ini anak titipan," imbuh Romo Nathan.     

Aku nyaris tertawa mendengar ucapan dari Romo Nathan. Mendengar langsung tatkala Rianti dipedasi oleh Romo Nathan adalah sesuatu yang sangat lucu. Sebab selama ini, Rianti itu bagaikan anak emas Romo, selalu disayang-sayang. Jarang benar dipedasi seperti ini. Terlebih, dikata-katai sebagai anak titipan. Sungguh, ini adalah perkara yang sangat menyenangkan. Aku yakin, pasti Rianti akan marah sekarang. Atau bahkan, akan menangis karena ucapan Romo Nathan.     

Rianti langsung cemberut. Tapi aku ingin sekali tertawa karenanya. Jarang-jarang Romo Nathan membelaku, biasanya dia akan ikut meledekku.     

"Biung, Romo... aku, dan istriku sangat lelah. Jadi, bolehkah kami ke kamar untuk beristirahat lebih awal?" kubilang. Mata Rianti semakin melotot, tapi aku malah ingin membuatnya marah. Melihat adik perempuanku marah, itu sangat menyenangkan. Terlebih marahnya sampai membuat dia menangis meraung-raung. Ah, itu seperti halnya saat aku mendapatkan juara satu di sekolah.     

"Tamu masih banyak, kenapa kamu ndhak bisa di sini sebentar. Kamu ini kan seorang Juragan, toh," Manis tampaknya sungkan. Sepertinya dia takut akan pradigma banyak orang kepada kami. Lebih-lebih itu kepada orangtuaku. Kentara sekali kalau kami ndhak betah, untuk melaksanakan malam pengantin kami.     

"Mereka bukan kolega kerjaku. Mereka kerabat jauh dari Romo, yang bahkan dulu ndhak pernah peduli saat kami mengalami banyak masalah. Aku ndhak suka mencari muka dengan mereka," bisikku kepada Manis. Sedikit memaksanya agar dia percaya, dan mau menuruti permintaanku.     

"Tapi yang mengundang, kan, Romo Nathan," katanya lagi. Ternyata dia ndhak mau kalah juga rupanya. Masih kekeh dengan pendiriannya yang selalu sungkanan selangit itu. Hari ini masih berpatokan dengan sungkan? Akan ketinggalan dengan banyak hal. Apalagi, sungkan dalam urusan ranjang. Wah, bisa bahaya sekali itu. Benar-benar sebuah perkara yang ndhak bisa dibiarkan.     

"Bukan... mereka dengan cara ndhak tau malu bertandang sendiri ke sini tanpa diundang. Toh, aku juga sudah bercakap-cakap sebentar dengan kolega Romo, kawan-kawannya, dan kurasa itu sudah cukup. Ayo, masuk ke kamar. Kita ada pekerjaan yang lebih penting dari pada pamer gusi. Kering gusiku nanti, karena harus mengsam-mengsem ndhak jelas seperti ini. Kita ini bukan topeng monyet, lho, apalagi kita bukan lakon dari sebuah pewayangan. Yang disuruh duduk manis, ya duduk, terus kita mengsam-mengsem dengan cara ndhak jelas seperti ini," kubilang lagi.     

Manis tampak menahan tawanya, sementara Rianti malah sudah terkekeh kemudian dia buru-buru pergi. Kenapa dia ikut tertawa? Apakah ucapanku itu sangat lucu, sampai-sampai membuat manusia antik satu itu yang awalnya berniat mencibirku malah tertawa dengan cara sangat jelek seperti itu?     

"Gusimu kering nanti tak siram air," imbuh Romo.     

Rupanya suaraku cukup kencang juga, sampai-sampai orang-orang disekitarku mendengarnya. Aku mendengus, Biung langsung mencubit hidungku.     

"Sana, istirahat. Ndhak ada yang melarang," kata Biung sembari mengibaskan tangannya. Pertanda aku disuruh untuk cepat-cepat pergi.     

Dengan senyum sumringah aku hendak berdiri, sembari menarik tangan Manis untuk kuajak cepat-cepat pergi.     

"Awas, jangan ritual dulu. Masih siang," sindir Romo. Yang berhasil membuat langkahku terhenti. Aku langsung memutar tubuhku, memandang ke arah Romo, dan Biung secara bergantian.     

"Siap, Juragan!" kataku. Kemudian mengajak Manis untuk segera kembali ke kamar. Sesegera mungkin kembali ke kamar, adalah suatu perkara yang harus kulakukan sekarang. Sebelum ada tamu yang baru datang, dan menggagalkan rencana kami.     

Bukan apa-apa, hanya saja, karena semalaman aku terlalu gugup. Aku ndhak sempat tidur. Jadi jadwal siang ini aku akan tidur dengan sangat nyenyak, untuk kemudian malam nanti siap tempur dengan semangat empat lima.     

Dan rupanya, angan yang telah kususun dengan sedemikian rupa berantakan semua. Melihat Manis terlelap di sampingku membuatku untuk enggan menutup mata. Seolah pemandangan itu adalah harta karun yang sangat berharga. Sehingga begitu sayang untuk aku lewatkan barang sebentar saja. Padahal tadi di pelaminan, aku sangat mengantuk. Kelopak mataku malah terasa begitu berat untuk sekadar kubuka lebar-lebar. Tapi sekarang mataku ini, entah mendapatkan kekuatan dari mana, bisa sesegar ini. Memandang Manis yang tidur saja, bisa membuatku ndhak ngantuk lagi.     

Dan entah mulai kapan aku terlelap, sampai pada akhirnya kesadaranku kembali bangkit tatkala sebuah tangan tengah mengusap-usap kepalaku dengan lembut. Dan saat kubuka mata, senyum manis dari wajah yang cantik itu pun seolah memberikan ucapan salam kepadaku.     

"Sudah bangun?" tanyanya. Aku pun tersenyum, meraih tangannya kemudian kukecup tangannya itu. "Tak pikir kamu ndhak sadarkan diri tadi," imbuhnya lagi.     

Aku bergeliat untuk sekadar meregangkan otot-otot punggung, kemudian aku mengambil posisi miring, sembari menjadikan lenganku bantal. Lalu memandangi Manis yang tampak masih ayu itu.     

"Karena sedari tadi aku sibuk," kubilang. Dia tampak mengangkat sebelah alisnya. "Sibuk mengagumi kecantikan istriku ini."     

"Pandai benar kamu merayu sekarang," katanya, sambil menunduk malu-malu. "Belajar dari mana, toh, kamu itu? Sampai bisa berkata-kata semanis madu."     

Kuangkat dagunya agar ia menatap ke arahku, kemudian kukecup bibirnya sekilas. "Memang benar aku pandai merayu. Namun yang kurayu hanyalah kamu, Istriku," imbuhku.     

Lihatlah, bagaimana wajahnya tampak bersemu merah, dan itu benar-benar membuatku gemas ingin segera menerkamnya.     

"Aku mau mandi dulu, kamu jangan kemana-mana. Jangan bergerak seincipun dari ranjang, apalagi sampai keluar kamar. Oke?" ancamku, beranjak dari ranjang untuk bergegas ke kamar mandi.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.