JURAGAN ARJUNA

BAB 94



BAB 94

0Pagi ini tampaknya akan menjadi pagi yang panjang, setelah siang sampai malam rencana malam pengantinku telah gagal. Ningrum pasti sudah kembali ke kamarnya, dan giliranku kini yang meminta peluk istriku tercinta. Tapi, saat tanganku mencari-cari dan ndhak ada apa-apa membuat keningku berkerut. Mataku langsung terbuka melihat ranjang sudah ndhak ada siapa-siapa. Ndhak ada Ningrum, juga ndhak ada Manis. Ke mana gerangan istriku berada? Apa dia bangun pagi untuk membantu para abdi dalem memasak? Oh tentu saja endak, ini baru jam 03.00 masak iya dia sudah bangun? Ataukah dia sedang mandi? Barangkali dia butuh mandi untuk melayani suaminya tercinta ini. Tapi, ini masih terlalu dini untuk seorang mandi. Aku segera bangkit dari tempat tidurku, kemudian kupertajam pendengaranku. Ndhak ada suara gemercik air, ndhak ada suara gaduh apa pun di luar, di dalam kamar, dan di mana pun. Di mana gerangan istriku tercinta ini? apakah dia sedang berada di balai kerjaku? Lantas, untuk apa dia berada di sana sepagi ini? Kurasa, dia cukup punya banyak kerjaan di malam pengantinnya untuk ke sana?     
0

Aku langsung beranjak dari ranjang, kemudian kubuka pintu, untuk sekadar menyisiri beberapa balai yang terdekat dari kamar. Memastikan, di mana gerangan istriku tercinta berada sekarang. Namun, di mana pun tampak sepi. Ndhak ada siapa-siapa, yang ada hanya beberapa abdi dalem yang kebetulan baru bangun, sembari mengucek matanya mereka langsung menundukkan pandangannya, sembari menunduuk mereka menyapaku. Mungkin dalam pikiran mereka aku ini aneh, sebab seorang pengantin baru di jam seperti ini malah keluar dari kamar. Atau malah, mereka telah menangkap sosok Manis? Ah, entahlah... aku benar-benar ndhak tahu dengan perkara itu.     

Kuembuskan napasku tatkala ndhak kudapati Manis di mana pun, kemudian kuputuskan untuk kembali ke kamar. Barangkali, nanti Manis akan kembali. Biarlah, aku akan menunggunya saja, dengan manis di dalam kamar. Ndhak mau banyak ucap, terlebih banyak tanya sebab jika endhak, yang ada nanti, Manis masuk kamar, dan akan menjadi sebuah perdebatan yang amat panjang.     

"Mencari istrimu tercinta, ya?"     

Suara itu?     

Aku yang hendak masuk ke dalam kamar pun mengurungkannya, kemudian aku tersenyum kecut sembari melangkah masuk. Aku langsung duduk, rupanya Romo sudah berdiri di ambang pintu, dengan senyuman kemenangannya itu. Andai orangtua satu itu bukan romoku, pastilah sudah kupotong-potong burungnya. Dan kuberikan kepada burung jalak, biar dia ndhak bisa sok berkuasa seperti ini lagi kepadaku. Duh Gusti, melihat wajahnya yang senyam-senyum itu, benar-benar menyiksa batinku.     

"Yee kasihan yang ndhak bisa malam pengantin," ledeknya lagi. Kok ada, toh, seorang Romo seperti ini. Kenapa gemar benar dia membuatku merasa sakit hati seperti ini.     

"Aku pikir-pikir, mungkin dulu Romo diabaikan oleh Biung. Jadi Romo merana sendirian saat malam pengantin, iya, toh? Itu sebabnya Romo menaruh dendam terhadapku, karena Romo ndhak mau menjadi laki-laki merana seorang diri. Oh ya, lupa... Romo kan pernah bilang kepadaku, kalau Romo dan Biung dulu bahkan ndhak bisa merasakan malam pengantin," ketusku, lalu berdiri kemudian memungut kausku, memakainya kemudian duduk di dipan sambil mengambil beberapa buah buku.     

Romo tampak hanya mengamatiku, sembari menyilangkan kakinya, dia pun bersedekap. Sembari menebarkan pandangannya ke arah kamarku. Yang seharusnya, kamar ini telah menjadi kamar pengantinku. Semua gara-gara Romo, apa yang telah kurencanakan masak-masak harus rela hancur berantakan. Dan aku ndhak akan pernah memaafkan Romo untuk perkara ini!     

"Ck! Aku ini Nathan Hendarmoko, laki-laki yang paling perkasa sejagat ini. Memangnya perempuan mana yang sanggup menolak pesonaku? Asal kamu tahu, biungmu malam meminta lagi, dan lagi!" sombongnya, percaya diri sekali dia. Kuabaikan saja keberadaannya, sudah kuanggap dia sebagai lelembut sawah, atau bahkan lelembut penghuni gunung lawu. Lebih baik aku meminta kopi sama Bulik Sari, dari pada menanggapi Romo Nathan yang menyebalkan ini. Sebab jika aku lama-lama di sini, bisa-bisa aku lah yang akan mati gantung diri karena sikap menyebalkannya Romo Nathan.     

"Yee kasihan yang ditinggal pergi ke Jakarta istrinya tanpa melakukan malam pengantin,"     

Aku langsung berhenti, melotot ke arah Romo ndhak percaya. Apa? Manis ke Jakarta? Bagaimana bisa dia pergi meninggalkanku begitu saja? Ndhak bisakah dia menungguku bangun terlebih dahulu? Aku ini suaminya, bagaimana bisa dia seorang istri pergi tanpa pamit begitu saja? Memangnya, dia memanggapku apa, toh? Kenapa dia lancang sekali pergi dengan cara seperti ini? Apa dia ndhak cukup paham tentang keadaan ini sekarang? Apa dia ndhak cukup paham tentang amanat, dan tugas barunya sekarang? Sebagai seorang pengantin perempuan, sebagai seorang istri, dan dia telah benar-benar berlaku amat menyebalkan.     

"Romo jangan bercanda? Aku sedang ndhak ingin bercanda," ketusku. Rasanya benar-benar lelah dengan semua ini, rasanya aku ingin kembali tidur saja.     

"Tanyakan kepada biungmu kalau kamu ndhak percaya,"     

"Perempuan itu...." geramku emosi.     

Aku langsung membuka lemari kamar, mengambil jaket, serta kunci mobilku. Setengah berlari keluar dari kamar, mengabaikan keberadaan Romo yang masih duduk manis di dalam kamarku.     

"Kamu mau ke mana, Arjuna!" teriak Romo, yang berhasil membuatku berhenti. Setengah tergopoh dia mengejarku, kulirik Romo sekilas tatkala dia berusaha mengambil napas dalam-dalam. Yang namanya orangtua, memang ndhak bisa dikelabuhi, toh. Meski wajah Romo Nathan benar-benar ndhak menunjukkan usianya sekarang, tapi tenaganya tampak jelas menunjukkan berapa usianya sekarang. "Kamu ini, lho, main lari-lari begitu saja! Memangnya di pagi buta seperti ini, bahkan fajar saja belum menyingsing, mau ke mana kamu membawa kunci mobil, dan berjalan keluar, heh?"     

"Aku mau menagih malam pengantiku ke Jakarta!" kujawab. Berlari cepat-cepat kemudian mengendarai mobilku untuk pergi menemui Manis.     

Awas saja perempuan itu, akan kubuat nanti ndhak bisa keluar dari dalam kamar, dan meminta ampun-ampun kepadaku. Ya, lihat saja!     

Aku yang hendak melajukan mobilku pun terpaksa berhenti, tatakala melihat Suwoto, dan Paklik Junet menghadang mobil tepat di depanku. Untuk apa mereka menghadang mobilku? Apa yang keduanya hendak lakukan sekarang? Sepagi ini, ini benar-benar perkara yang menyebalkan.     

"Lho, Juragan?" tanya Suwoto.     

"Ada apa?"     

"Sudah bangun?"     

"Ada apa?!" tanyaku sedikit menaikkan intonasi suaraku.     

Keduanya ini menepikan tubuh mereka, berdiri tepat di jendela tepat di mana aku pegang setir kemudi.     

"Ada beberapa hama tikus yang telah merusak perkebunan tembakau di Berjo, Juragan. Jadi, kami habis bermalam di sana untuk sekadar melihat-lihat, separah apa, dan sebanyak apa hama-hama itu menyerang perkebunan."     

Aku mengangguk mendengar penjelasan dari Suwoto, rupanya mungkin kali ini tanaman tembakau ndhak akan panen. Dan itu pasti akan membuat para pekerja perkebunan akan resah luar biasa. Aku harus mencari cara untuk mengeluarkan mereka dari masalah. Namun demikian, bukan saat ini. Karena aku harus sesegera mungkin menemui Manis, dan membuat perhitungan dengannya agar dia tahu, siapa laki-laki yang telah dinikahinya ini!     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.