JURAGAN ARJUNA

BAB 95



BAB 95

0Sore ini aku sudah berada di Universitas Manis. Menurut Paklik Sobirin, Dosen Kepala jurusannya sedang mencari-cari Manis, dan dia harus sudah ada di Universitas siang tadi karena suatu hal yang sangat mendesak. Pantaslah dia tampak terburu, sampai-sampai ndhak mengabariku. Atau mungkin, dia ndhak tega membangunkanku, karena melihatku terlelap semalam? Entah, aku hanya mencoba berpikir positif, sebab jika pikiranku sekalut tadi, yang ada semuanya akan menjadi bubrah, dan akan membuat hal-hal yang ndhak karuan terjadi. Yang ada nanti, aku malah emosi dengan Manis, dan membuat Manis semakin marah. Aku ndhak mau kami bertengkar, terlebih hanya perkara sepele seperti ini. Sebisa mungkin akan kukendalikan emosiku, untuk hubungan kami. Yang bahkan belum genap seminggu usianya.     
0

"Heh, ada pemuda ganteng banget!"     

"Mana sih?"     

"Itu!"     

Lihatlah bagaimana karisma dari seorang Arjuna Hendarmoko, dan dari semua perempuan di dunia ini, kurasa hanya Manis satu-satunya makhluk berjenis kelamin perempuan yang pura-pura sok jual mahal. Jadi, jangan salahkan aku ketika dulu aku ndhak tahu kalau dia telah lama jatuh hati denganku. Ini juga aku beritahu kepada kalian yang berjenis kelamin perempuan, ya. Bahwa semua laki-laki di dunia ini bukan dukun, bukan orang sakti, yang akan tahu, dan pandai dalam urusan menerawang isi hati. Jadi seumpama kalian telah jatuh hati kepada laki-laki, ada baiknya kalian jujur untuk sekadar mengutarakan isi hati. Ndhak perlu gengsi, terlebih berpikir, bagaimana caranya menaruh muka tatkala cinta ndhak terbalas, atau... cinta ditolak mentah-mentah. Lebih-lebih berpikir, jikalau perempuan itu pantang untuk maju dulu, dan harusnya laki-laki dululah yang harus memiliki inisiatif untuk mengutarakan cinta mereka. Hey, Mbakyu, Bulik, dan semuanya... ini zaman apa, toh? Ini adalah zaman maju, di mana emansipasi wanita telah dijunjung tinggi-tinggi. Jadi kurasa, semua memiliki hak yang sama untuk mengutarakan pendapat dan isi hati mereka, tanpa terkecuali siapa pun. Dan ndhak hanya masalah hati saja, maksudku masalah jatuh hati. Tapi masalah apa pun itu, lebih baik utarakan. Baik kepada laki-laki, pasangan, atau semua orang. Diam, dan berkoar-koar dengan hatimu saja, ndhak setuju dengan hatimu saja, itu benar-benar suatu perkara yang paling merugikan, dan ndhak dibenarkan oleh semua orang.     

"Abang ganteng mau ke mana? Nyari siapa, sih?" sapa salah satu mahasiswi yang ada di sana. Rambutnya sebahu, keriting, warna kulitnya putih bersih.     

Dandannya khas dandanan orang-orang kota, memakai rok pendek benar. Kalau di Kemuning, pasti pakaian, dan dandanannya sudah menjadi bahan cibiran. Oh, bukan di Kemuning saja, tapi di seluruh kampung negeri ini. Sebab bagaimanapun, baik di kampung-kampung, terlebih beberapa kampung di kota yang menjunjung adat istiadatnya, jangankan memakai rok sependek itu. Menggerai rambutnya saja dulu menjadi perkara yang akan disidangkan di mana-mana.     

"Aku sedang mencari seseorang, apa kalian ini mahasiswa baru, Dik?" kutanya. Mereka tampak tersenyum malu-malu, sambil memelintir rambutnya.     

Bisa ndhak, ya, seorang perempuan tatkala malu itu melakukan hal lain selain mengeluarkan gaya lenggak-lenggok seperti ulat keket, sembari memilin rambut seperti itu? Bukannya gemas, aku malah kepingin muntah melihat perempuan berlagak seperti itu. Benar-benar menganggu pemandanganku.     

"Kenapa harus mencari orang lain, Bang? Di sini sudah ada aku, lho," ucapnya lagi, seraya merayu. Benar-benar perempuan yang ndhak tahu malu. Melihat perempuan seperti ini, membuatku teringat dengan Puri.     

Andai dia tahu kalau aku mencari istriku yang lari saat malam pengantin, pastilah perempuan-perempuan ini malu karena tingkah kecentilannya sendiri.     

"Masalahnya yang kucari itu istriku. Bukan dirimu," ketusku. Berjalan mendahuluinya kemudian mendekat ke arah Manis yang kutangkap mataku baru saja keluar dari ruang Dosen. Mimik wajahnya tampak lelah, bahkan aku ndhak melihat senyum, atau pun semangat di sana. Aku yakin dia kurang tidur, kurang istirahat, dan banyak pikiran. Melihatnya seperti itu membuatku ndhak tega juga, ingin sekali kurengkuh tubuhnya ke dalam dekapanku, dan menyuruhnya untuk sekadar memejamkan mata barang sesaat.     

Namun kemudian, aku melihatnya menjadi pusat perhatian para pemuda, membuatku ndhak suka. Rasanya, ingin kubungkus kepalanya menggunakan kantung plastik warna hitam biar wajahnya ndhak dilihat orang-orang. Tapi, mau bagaimana lagi, tentunya aku ndhak bisa melakukan semua itu. Sebab aku pasti akan menyakiti Manis sekali, dan aku ndhak ingin dia tersiksa karenaku. Ah, Arjuna... Arjuna, kenapa kamu sok manis benar, sejak kapan?     

Aku berjalan mendekatinya, tepat saat ia ingin melangkah kukunci langkahnya dengan merentangkan tanganku ke tembok. Manis tampak kaget, matanya melotot ke arahku seolah ndhak percaya. Tentu saja, pasti dia pikir bagaimana bisa aku secepat ini menyusulnya ke sini. Terlebih, di tempat terbuka seperti ini, aku malah mengunci tubuhnya. Bisa-bisa ndhak hanya kumpulan pemuda yang sedang melihat ke arahnya saja, melainkan para Dosen akan tahu apa yang hendak aku lakukan padanya nanti.     

"K... kamu...." cicitnya, yang benar-benar ndhak lucu! Kenapa pula dia kaget seperti itu? Terlebih, mimik ndhak sukanya itu, lho. Benar-benar menyebalkan!     

"Meninggalkan suami yang baru saja dinikahi secara diam-diam, apa itu pantas bagi seorang istri?" marahku. Dia tampak menelan ludahnya. Wajahnya yang tegang kini agaknya mengendur, kemudian mata bundarnya mengerjap memandang ke arahku.     

"A... aku...." katanya tergagap, sepertinya suaranya telah hilang di tenggorokan, tatkala ia berusaha mengatakan sesuatu, yang ada hanya angin. Ndhak terdengar apa pun lagi.     

"Baru kemarin menikah bahkan aku belum merasakan malam pengantin, tapi kamu sudah pergi saja ke Jakarta. Apa itu pantas?" tanyaku lagi, sedikit menekannya lagi, sedikit menyalahkannya lagi. Aku penasaran bagaimana ekspresinya sekarang, terlebih apa yang hatinya rasakan sekarang. Aku ingin dia merasa menyesal, karena telah mengabaikanku sebagai suaminya.     

"Ak—"     

Aku langsung mengunci bibirnya, ndhak tahan dengan ekspresi imutnya itu. Manis, kamu ini peka apa endhak, toh. Aku ini pingin, tapi kamu seolah menarik ulurku. Berlari menjauh saat kukejar. Tapi, tenang, aku adalah Arjuna Hendarmoko. Jika kamu lari, pasti akan kutangkap bagaimanapun caranya. Dan untuk mendapatkanmu untuk menjadi istriku, aku telah melakukan banyak hal sampai sejauh ini. Jadi, kumohon, jangan lari-lari lagi, jangan pergi-pergi lagi. Cukup di sini, di sisiku, ndhak perlu ke mana-mana, temani aku sampai aku menua, dan menutup mataku.     

"Ada banyak orang, ndhak sopan, Kangmas," katanya, setelah mendorong tubuhku, dan melepaskan bibirnya dari kecupanku. "Lihat, banyak benar orang-orang yang ada di sini, tapi kamu melakukan hal ndhak senonoh seperti ini. Bagaimana nanti jika ada yang lapor Dosen? Terlebih, bagaimana nanti jika ada Dosen yang tahu. Nanti aku pasti akan disidang, Kangmas. Aku ndhak mau itu terjadi,"     

Aku pun mengendarkan pandanganku, ada beberapa mahasiswa memandang ke arah kami, saling berbisik perihal yang aku ndhak mengerti. Tapi, aku sama sekali ndhak peduli!     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.