JURAGAN ARJUNA

BAB 96



BAB 96

0Kulihat Manis yang wajahnya sudah memerah, dia memalingkan wajahnya padaku. Pasti, saat ini dia sedang marah karena perlakuanku yang kurang ajar kepadanya. Kuhela napas panjang, mengontrol emosi yang seolah ingin naik ke ubun-ubun. Sabar... sabar, kali ini aku memang yang salah. Kali ini memang aku yang ndhak tahu tempat.     
0

"Ayo ke kontrakan," ajakku, menarik tangannya untuk pergi, tapi dia enggan. Apa dia benar-benar marah karena perlakuanku sekarang? Jika iya, maka matilah aku sekarang.     

"Masih ada urusan yang belum kuselesaikan, Kangmas. Nanti, ya," mendengar dia mengatakan itu dengan nada lembut, agaknya aku tahu, jika saat ini dia ndhak dalam keadaan marah. Tapi, aku tetaplah aku, aku ndhak mau mengulur-ngulur waktu dalam hal apa pun itu.     

"Ayo bali, sekarang!" perintahku yang sudah ndhak sabaran. "Apa mau kuajak kamu malam pengantin di sini? Jika iya, maka aku sama sekali ndhak masalah."     

"Tapi urusanku benar-benar—"     

"Aku sudah menyelesaikan semua urusanmu. Ayo bali! (pulang/kembali),"     

Setengah kupaksa, kubopong tubuhnya, berjalan tergesa ke arah mobil, dan membawanya melaju pergi. Memangnya, siapa sekarang yang ingin main-main. Menahan sesuatu, ndhaklah seenak itu. Dan persetan dengan semua orang yang ada di sini, mau mereka melihat, mau mereka mencibir, siapa yang peduli? Tentu, aku ndhak akan peduli dengan semua itu.     

Setelah melakukan perjalanan yang ndhak cukup jauh, kami sama-sama diam membisu di dalam mobil. Suasana hening, dan tiba-tiba rasa kaku menyelimuti tubuh kami. Kami sudah berada di kontrakkan, meski kami masih berada di dalam mobil yang sudah kuparkir di samping kontrakan. Lantas setelah ini, apa yang seharusnya kita lakukan? Bagaimana cara memulainya? Apakah Manis akan mau? Sesaat semua pikiran-pikiran itu menghantuiku, dan membuat dadaku semakin terpacu luar biasa.     

"Kangmas, maafkan aku. Tadi aku benar-benar tergesa-gesa. Melihatmu tidur, aku ndhak tega untuk membangunkan. Jadi, kutulis surat dan kutaruh di meja samping ranjang kita. Kepala Jurusanku sedang meninjau beberapa hal tentang mahasiswa barunya, dan aku adalah salah satu yang harus ke Universitas segera, hari ini juga. Aku—"     

Ucapannya terhenti, tatkala kukecup lembut bibirnya. Kemudian, kupandang bola mata indahnya, sambil kubelai wajah mulusnya itu.     

"Ayo kita coba di mobil,"     

"Apa?" tanyanya tampak bingung.     

"Malam pengantin di mobil," bisikku, sambil meniup-niup telinganya, kemudian menggigitnya pelan.     

"Tapi, nanti kalau dilihat banyak orang gimana, toh?"     

"Ndhak akan. Di depan rumah kita sepi," bujukku lagi, "setelah itu di ruang tamu, di kamar, di kamar mandi, di dapur. Kita tandai setiap sudut rumah kita dengan... cinta,"     

Setelah mengatakan itu, aku langsung menyambar bibirnya. Menuntunya berpindah ke kursi bagian belakang. Melepaskan setiap helai pakaiannya, dan menenggelamkan wajahku ke dada besarnya. Aku rindu setiap inci tubuh polos istriku, aku rindu wangi khas istriku yang akan selalu kuhirup kuat-kuat tatkala kami bercumbu. Terlebih, aku rindu desahan-desahan manis istriku, tatkala kita sedang bercinta. Dan yang lebih dari itu semua adalah, melihat wajah istriku yang cantik luar biasa, dengan rona pipi merah padamnya, dengan peluh yang membanjiri wajahnya, dan itu karenaku, karena cinta kami telah bersatu.     

Sedikit demi sedikit kukenali semua yang ada pada dirinya, manisnya, harumnya, dan apa pun yang melekat pada tubuh istriku. Membawa ke tempat-tempat sesuai apa yang telah kukatakan padanya, sampai dia ndhak mampu mengatakan apa-apa. Selain kedua bola matanya yang tampak penuh kasih, tampak bahagia, seolah hubungan resmi kita adalah penghargaan terbesar yang telah ia punya.     

"Arjuna Hendarmoko... aku jatuh hati kepadamu. Jatuh hati sejatuh-jatuhnya, sampai aku ndhak tahu lagi bagaimana bisa bangkit dari jatuh yang indah ini," bisiknya di telingaku. Sebelum ia benar-benar terlelap di dalam dekapanku, karena telalu lelah dengan ulahku hari ini.     

Manis perlu kamu ketahui, aku juga telah jatuh hati kepadamu. Jatuh yang sejatuh-jatuhnya, jatuh yang beribu kali lebih jatuh dari apa yang kamu rasa. Memang benar aku ndhak pernah gamblang mengutarakannya, tapi percayalah hati, dan jiwaku telah lama mengabdi kepadamu sampai mati. Jikalau nanti aku tua, atau bahkan aku telah tutup usia, ingatlah jika dulu pernah ada satu pemuda yang mencintaimu sampai tergila-gila.     

Manis, mari kita ciptakan banyak kenangan indah. Agar memori kita penuh dengan rasa bahagia, tanpa duka dan air mata. Dan berjanjilah untuk selalu menemaniku, sampai nanti mau datang menjemputku.     

"Kangmas Arjuna!" teriakan itu, langsung menghancurkan mimpi indahku. Aku langsung bangkit, tatkala mendengar suara Rianti menjerit, lolongannya seolah menembus penjuru kota. Bahkan bisa-bisa merusak gendang telingaku.     

Aku langsung mengambil sarung, sembari melihat ke arah Manis sekilas yang masih terlelap di sampingku. Setelah aku berdiri, aku langsung keluar, melihat Rianti sudah berkacak pinggang, sembari melotot. Dan di tangannya dia menenteng sebuah... benda.     

"Apa maksud semua ini? Kenapa mulai dari ruang tamu sampai dapur, pakaian-pakaian menjijikkan ini tercecer di mana-mana!" marahnya.     

Aku melirik saja dengan malas, kemudian kututup pintu rapat-rapat dari luar. Aku ndhak mau membuat istriku tercinta terbangun, karena suara cempreng dari Rianti.     

"Jangan-jangan, kalian mengotori rumahku dengan perbuatan mesum kalian dari ruang tamu sampai dapur? Iya?!" selidiknya lagi.     

"Kamu ini, kamu ini, Dik," kataku pada akhirnya. Kemudian kukucek mataku, melihat beberapa barang yang baru saja dimasukkan oleh Paklik Sobirin.     

"Juragan...," sapanya. "Maaf, ini ada beberapa barang yang disuruh Ndoro Larasati bawa, Juragan. Untuk persediaan di sini, dan untuk cemilan,"     

Ada beberapa jajanan dari acara pernikahanku kemarin yang dibawa sampai banyak sekali. Sementara Rianti, buru-buru memunguti pakaianku, dan manis, agar ndhak dilihat oleh Paklik Sobirin.     

Aku kemudian berdiri, mendekat ke arah Paklik Sobirin. "Ohya, Paklik ndhak menginap? Nanti, pulang bareng," ajakku kemudian.     

"Iya, Juragan."     

"Sekarang, pergilah ke warung cari kopi. Aku hendak bicara berdua dengan Adik cantikku ini," kataku lagi.     

Ndhak perlu basa-basi, Paklik Soborin pun langsung keluar dari rumah, menyisakan aku dan Rianti yang tampaknya masih marah. Kemudian, kutarik tubuh Rianti ke dalam pelukannya, dia agaknya meronta untuk kulepaskan dari dekapanku.     

"Pikiranmu ini, lho, kok ya kotor sekali," kataku kemudian. "Coba sekarang lihat, bagaimana kondisi kausku itu,"     

"Kenapa?" tanyanya yang agaknya bingung. Kemudian, dia merentangkan kausku, matanya melotot melihat jika ada tanda robekan-robekan di sana.     

"Manis melakukannya tatkala kalian sedang bercumbu?" selidiknya, yang berhasil mendapatkan tempelengan dariku. Dia mengaduh kesakitan, kemudian mencubit perutku dengan begitu kencang.     

"Jadi perawan mbok ya ndhak usah berpikiran mesum! Oh, apa karena kamu ndhak laku-laku, lantas hasrat terpendammu itu ndhak tersampaikan, sampai-sampai kamu harus berkhayal seperti itu, toh?" kataku yang mulai kesal. "Jangan-jangan, setiap malam kamu berkhayal kalau melakukan hubungan yang endhak-endhak dengan pemuda? Ayo ngaku!"     

"Kangmas!" teriak Rianti dengan wajah memerahnya. Entah kenapa, akhir-akhir ini dia lebih sering marah-marah kepadaku. Terlebih tatkala aku menyinggung perkara pemuda. Kenapa dengan adikku? Apakah dia diam-diam telah memiliki pujaan hati di belakangku?     

"Kaus-kaus itu digondol tikus, dan disembunyikan di beberapa tempat, jadi selamanan aku dan Manis lembur buat mengusir tikus di rumah busukmu ini."     

"Tikus? Jadi Kangmas ndhak jadi malam pengantin?"     

"Ya jadilah, kami melakukannya di mobil, lalu di kamar," jawabku penuh semangat. "Kenapa kamu tanya-tanya? Pingin tahu? Penasaran? Atau malah, pingin juga ada yang mengajakmu malam pengantin?"     

"Kangmas!" teriak Rianti lagi. Matanya sudah berkaca-kaca, kemudian dia pergi begitu saja masuk ke dalam kamar.     

Tawaku langsung pudar, tatakala melihat Rianti jadi sentimentil seperti itu. Apa dia benar-benar marah? Apa dia benar-benar tersinggung dengan ucapanku? Padahal, sedari dulu dia ndhak pernah seperti itu. Ndhak pernah yang namanya tersinggung dengan ucapanku yang mana pun. Gusti, sepertinya aku telah melakukan kesalahan besar. Aku harus meminta maaf kepadanya jika dia benar-benar marah sekarang.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.